Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Megaproject in Africa: Blessing or A Curse

Diperbarui: 5 Desember 2017   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Building today, a better Africa tomorrow” begitulah slogan yang digaungkan oleh African Development Bank pada tahun 1974 dan sekarang, hal itu benar-benar terjadi. Afrika sedang giat-giatnya membangun. Mulai dari infrastruktur seperti jalan, bandara, hingga kereta cepat sedang dibangun di benua hitam. Seperti di negara Kenya, pembangunan kereta cepat di negara tersebut memakan biaya hingga US$4 miliar atau setara dengan Rp54 triliun. Pembangunan kereta tersebut pada nantinya akan menyambungkan Kenya dengan tiga negara di Afrika Timur yaitu Uganda, Sudan Selatan, Rwanda dan Burundi. Lain halnya dengan Mozambik  yang membangun Mphanda Nkuwa Dam dan Hydroelectric station project, yaitu bendungan sekaligus PLTA dengan anggaran sebesar US$3.1 milliar.

Sebenarnya megaproyek yang sedang dibangun terlalu membebani anggaran pemerintah. Mengingat, anggaran pengeluaran di dua negara tersebut tidak lebih dari US$10 miliar. Akibatnya pembangunan megaproyek tersebut membutuhkan bantuan dari pihak eksternal. Melihat kondisi tersebut, China pun hadir membantu mereka. China hadir dan memberikan pinjaman kepada Kenya sebesar 90% dari biaya pembangunan kereta cepat tersebut. Sedangkan di Mozambik, proyek pembangkit listrik mendapatkan pinjaman sebanyak US$2,3 miliar yang termasuk alat-alat pelengkap untuk kebutuhan proyek tersebut. Melihat proyek yang besar yang berbanding terbalik kemampuan dalam teknologi maupun finansial. Mengapa pemerintahan Kenya dan Mozambik bersikeras membangun infrastruktur raksasa tersebut dan apakah urgensi pembangunanya?

Kenya sebenarnya sedang membangun besar-besaran. Total US$2,7 miliar dana dikeluarkan untuk infrastruktur yang berfokus kepada modernisasi dan ekspansi di jaringan transportasi. Sebenarnya pembangunan megaproyek kereta ini selaras dengan tujuan dari masterplan pembangunan Kenya dan dapat memberi efek positif terhadap ekonomi negara itu sendiri. Karena, pembangunan ini tidak hanya memudahkan perpindahan barang dari kota industri seperti Nairobi menuju Mombasa yang berada dipinggir laut tempat pelabuhan Kenya berada. Lebih jauh lagi, megaproyek ini dapat dijadikan sebagai bentuk integrasi dari Afrika timur karena menghubungkan empat  negara seperti Sudan Selatan, Rwanda, Uganda dan Burundi yang pada akhirnya akan menjadikan pelabuhan di Kenya sebagai lokasi akhir perdagangan. Selain dari masalah perdagangan, pembangunan infrastruktur tersebut  dapat menaikan ekonomi via pariwisata.

Di balik keuntungan ekonomi yang diperkirakan akan membuat Kenya menjadi pusat ekonomi Afrika Timur. Ternyata menyimpan sebuah fakta yang menarik. Fakta tersebut adalah dimana setiap tahunnya, Kenya mengalami defisit perumahan sebesar 150.000 rumah. Selain itu, Kenya juga mempunyai masalah lain, di mana terdapat keterbatasan aksesibilitas air dan sanitasi yang cukup besar. Tercatat 40% warga Kenya mengalami kelangkaan dalam mengakses kebutuhan dasar tersebut dan masalah dasar lainnya seperti akses listrik yang harus segera dibenahi. Dampak minimnya aksesibilitas tersebut, mengakibatkan lebih dari 40% atau sebesar 19,2 juta masyarakat di Kenya hidup di bawah garis kemiskinan. Sudah seharusnya pemerintah sebagai representasi rakyat lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan. Minimal, pemenuhan kebutuhan dasar seperti aksesibiltas air dan pemenuhan kebutuhan rumah harus menjadi agenda penting dari pemerintah.

Lain halnya dengan Mozambik. Negara dengan 28 juta penduduk ini telah menganggarkan lebih dari $962 juta atau 19.7% dari anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunannya pun dibagi ke dalam dua sektor, yaitu : transportasi dan energi . Di mana, Mozambik berambisi untuk membangun sebuah pembangkit dalam rangka unyuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Pembangunan pembangkit listrik ini kemudian diimplementasikan ke dalam megaproyek Mphanda Nkuwa Dam and Hydroelectric station project. Megaproyek ini digadang-gadang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan defisit listrik di Mozambik dengan menghasilkan energi listrik kurang lebih sebesar 1.500MW.

Lebih lanjut lagi, pembangunan Mphanda Nkuwa direncanakan bisa memenuhi kebutuhan listrik untuk pembangunan industri dan bisa diekspor kepada negara Afrika yang saat ini juga sedang mengalami defisit, seperti Afrika Selatan. Namun, dilema yang terjadi ialah kembali ke permasalahan defisit rumah yang mencapai angka dua juta rumah. Lalu diperparah dengan aksesibilitas air bersih yang hanya mencapai 6,5% dari 28,7 juta penduduk  Selain dari masalah internal, eksternal mozambik pun terdapat masalah. Foreign aid  yang menyumbang APBN Mozambik sebesar US$300 juta terpotong.

Berkaca dari situasi yang menimpa kedua negara di timur Afrika ini, maka muncul sebuah pertanyaan, mengapa kedua negara tersebut menerima pinjaman untuk membangun megaproyek, padahal mereka sendiri belum dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Lalu di lain pihak, masifnya China dalam memberi pinjaman menimbulkan pertanyaan tersendiri. Mengapa China mau memberi pinjaman kepada Mozambik dan Kenya padahal kedua negara tersebut masih mengalami kesulitan ekonomi dan mengapa Kenya serta Mozambik mau menerima pinjaman untuk membangun proyek yang bisa dikatakan mercusuar  atau hanya ingin terlihat mempunyai infrastruktur yang canggih, ketika masyarakatnya sendiri tidak memiliki kesanggupan untuk memakai atau menikmatinya?

Jawaban yang tepat ialah karena China, sebagai negara  pemberi pinjaman, tidak pernah menyampuri urusan dalam negeri debiturnya. Tidak seperti negara barat yang menginginkan beberapa hal sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan maupun pinjaman. China melihat hal-hal tersebut sebaliknya. Negeri Tirai Bambu tersebut memandang kreditur seharusnya tidak mencampuri kondisi negara peminjam dan hanya berfokus di ekonomi. contoh konkritnya  ialah Kenya, di mana negara tersebut memiliki diktator bernama Daniel arap Moi yang menjabat selama 25 tahun. Namun China tidak menghiraukan persoalan tersebut dan tetap memberikan pinjaman. Lalu, bagaimana dengan sudut pandang China yang mau memberi pinjam beresiko tinggi tersebut ?

Alasan mengapa China mau memberi pinjaman tersebut ialah karena berlebihnya ketersediaan bahan konstruksi. Berlebihnya ketersediaan bahan tersebut, terjadi karena pembangunan infrastruktur China sudah mencapai titik akhir. Dampaknya, China harus mendapatkan pembeli baru yang mampu menyerap hasil industrinya ,dan Afrika adalah tempat pelabuhan hasil produksi tersebut. Alasan mengapa Afrika dipilih menjadi sasaran China adalah karena,  ekonomi di negara tersebut sedang bertumbuh secara masif dan pembangunan sedang marak dilaksanakan. Pembangunan yang marak tersebut tentunya melahirkan celah yang akhirnya dimasuki oleh China untuk memasarkan produknya melalui pinjaman tersebut. Namun, pinjaman tersebut telah menimbulkan masalah baru bagi negara debitur, yaitu ketergantungan.

Ketergantungan yang dimaksud adalah kondisi di mana negara yang mengajukan pinjaman akan terus bergantung pada negara yang memberi pinjaman sehingga menciptakan situasi ekonomi yang memburuk. Contoh negara yang sekarang terlilit utang dan mengalami ketergantungan terhadap China ialah Sri Lanka. Dimana, bukan kemajuan ekonomi yang didapatkan namun malah kemunduran ekonomi yang dirasa. Mengapa hal tersebut bisa terjadi bisa terjadi? Alasannya ialah karena pinjaman yang dilakukan oleh China di dunia sebenarnya memiliki syarat tersendiri, seperti: material harus dibawa dari China, dan pekerjanya pun didatangkan dari China. Hal ini mengakibatkan pembangunan infrastruktur yang mendapat pinjaman tidak menghasilkan penigkatan, baik di kegiatan maupun nilai ekonomi bagi masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline