Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Indonesia's Commodity Curse: Next Norway or Venezuela?

Diperbarui: 6 Desember 2016   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.123rf.com

Hasil tambang, perikanan, hingga rempah-rempah telah menjadi tumpuan perekonomian Indonesia sejak puluhan tahun. Nyatanya, sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, banyak contoh yang membuat Indonesia wajib waspada dengan kekayaannya. Salah satu peringatan bagi Indonesia belum lama ini muncul dari pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani; tentang banyaknya negara yang justru hancur karena kekayaan yang dimilikinya. Pertanyaanya, kemanakah sumber daya akan membawa perekonomian Indonesia? Mengikuti Norwegia yang sukses, atau Venezuela yang hancur karenanya?

Norwegia dan Venezuela: Serupa, tapi (Sayangnya) Tak Sama

Masalah commodity curse tentu menarik jika melihat dua kasus – Norwegia dan Venezuela – yang bertolak belakang. Sebelum masuk ke studi kasus Norwegia dan Venezuela, penting untuk mengetahui arti dari commodity curse. Commodity cursedidefinisikan sebagai kutukan yang dialami negara-negara dengan sumber daya melimpah. Kutukan tersebut muncul dalam bentuk ketergantungan terhadap SDA dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung lebih rendah dari negara yang tidak memiliki SDA.[1]

 Venezuela merupakan contoh tragis dari commodity curse.Pada tahun 2015, Venezula merupakan eksportir minyak terbesar ke 9 di dunia dengan nilai ekspor sebesar US$27.8 miliar (3,5% total ekspor minyak secara global)[2]. Sebagai perbandingan, nilai ekspor Indonesia hanya seperenam nilai ekspor minyak Venezuela. Akan tetapi, besarnya ketergantungan terhadap minyak (95% GDP berasal dari ekspor minyak) menyebabkan perekonomian Venezuela hancur ketika harga minyak anjlok. Pasca penurunan harga minyak, Venezuela menjadi negara dengan pertumbuhan GDP (-8%) dan tingkat inflasi (481% per tahun) terburuk di dunia[3].
             Di sisi lain, Norwegia merupakan contoh dari negara yang berhasil mengelola SDA-nya dan menjauh dari commodity curse. Sampai saat ini, Norwegia merupakan pengekspor minyak terbesar ke 11 di dunia
[4].  Nyatanya, meskipun minyak berkontribusi lebih dari 50% terhadap GDP Norwegia, penurunan harga minyak tidak terlalu mengganggu perekonomian Norwegia. Meskipun tingkat pengangguran di Norwegia juga meningkat dan pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan, setidaknya hal tersebut tidak membawa Norwegia ke dalam sebuah krisis.

Mengapa Nasib Norwegia dan Venezuela berbeda?

Perbedaan paling mendasar antara kedua negara terlihat dengan membandingkan GDP per capita (tentu tidak adil membandingkan GDP karena penduduk Venezuela 6 kali lebih besar dari Norwegia). Pada tahun 1960, GDP per capita Norwegia “hanya” 40% lebih besar dari Venezuela, sedangkan di tahun 2014 GDP per capita Norwegia hampir 6 kali lebih besar dari Venezuela[5]. Angka ini menjadi indikasi bahwa Venezuela gagal memanfaatkan SDA-nya dan terjebak dalam commodity curse.Pertanyaannya, mengapa?

fandy-584670ddbb22bd3d156748bd.png

Gambar 1. GDP (per capita, dalam US$ juta) Norwegia dan Venezuela

Alasan pertama adalah kualitas institusi politik di kedua negara tersebut. Secara umum, negara yang demokratis dan memiliki kualitas institusi yang lebih baik memiliki peluang lebih rendah untuk terkena commodity curse[6].Melihat dari bentuk pemerintahannya, secara teoritis Venezuela harusnya lebih demokratis dari Norwegia (Venezuela menganut republik federal sedangkan Norwegia menganut monarki konstitusional).

Nyatanya, kondisi pemerintahan Venezuela lebih tepat dikatakan menganut sistem otoriter dibanding demokrasi. Keputusan-keputusan pemerintah untuk menekan suara oposisi merupakan salah satu bukti buruknya demokrasi di Venezuela[7]. Selain itu, maraknya korupsi di lingkaran pemerintahan semakin menunjukkan rendahnya kualitas institusi politik. Hal ini berbanding terbalik dengan Norwegia, dimana Norwegia sudah memiliki sistem demokrasi yang stabil sejak awal kemerdekaannya dan institusi politik yang berfungsi dengan baik serta dengan tingkat korupsi yang rendah[8].

Kedua adalah adanya fenomena “Dutch Disease”. ”Dutch Disease” adalah istilah untuk masalah munculnya satu komoditas yang menjadi “primadona”, sehingga menarik arus modal ke dalam negeri.  Peningkatan arus masuk modal menyebabkan mata uang sebuah negara terapresiasi. Akibatnya, daya saing ekspor bagi komoditas lainnya melemah. Ketika komoditas atau sumber daya tersebut sudah habis, perekonomian berada dalam kondisi yang lebih buruk karena tidak ada sektor lain yang menjadi tumpuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline