Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Efektifkah Tax Amnesty?

Diperbarui: 26 September 2016   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://sumutpos.co/wp-content/uploads/2016/07/Amnesti-Pajak.jpg

Tentu kita masih ingat akan permasalahan Panama Papers yang ramai dibicarakan bulan Maret lalu. Panama papers merupakan sebutan dari sebuah skandal dimana data para “konglomerat” yang ramai menyimpan dananya di Panama, sebuah negara bebas pajak, bocor dan tersebar luas di seluruh dunia. Tercatat terdapat kurang lebih 800 nama pengusaha dan politikus Indonesia yang masuk dalam listtersebut. Seperti yang telah ramai dibicarakan, mayoritas motif penyimpanan dana di “tax haven” tersebut merupakan aksi pengemplangan pajak dan transaksi keuangan ilegal. Aksi tersebut tidak mustahil dilakukan karena hukum bisnis panama yang “bersahabat” dalam pendirian perusahaan serta persoalan pajak.

Walau bukan satu-satunya alasan, skandal panama papers disebut-sebut sebagai pendorong terbesar kebijakan tax amnesty yang sedang berjalan di Indonesia.  Berbagai kalangan yang bukan merupakan wajib pajak tentu tidak merasakan secara langsung akan dampak dari pemberlakuan tax amnesty tersebut. Namun, berita mengenai kelanjutan tax amnesty ini mulai menarik perhatian masyarakat luas saat  melihat banyaknya akun media sosial twitter yang menyuarakan masyarakat untuk berhenti membayar pajak.

Dari awal Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai tax amnesty mulai dibentuk, mantan menteri keuangan Republik Indonesia Bambang Brodjonegoro telah menjelaskan bahwa terdapat empat tujuan utama dari pembentukan RUU tax amnesty tersebut. Pertama, untuk repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Kedua, untuk meningkatkan pertumbuhan nasional. Ketiga, meningkatkan basis perpajakan nasional. Keempat, untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini.

Namun, keresahan masyarakat dalam negeri kian muncul. Hal disebabkan oleh ketidakpastian dari Undang – Undang yang mengatur kebijakan tax amnesty tersebut. Masyarakat kecil yang pada dasarnya telah taat membayar pajak tahunan, PBB, PKB, dan sebagainya merasa diharuskan membayar pajak tambahan terhadap suatu aset apabila mereka belum mencantumkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Hal ini tentu mengakibatkan mereka membayar pajak ganda. Dana tebusan tax amnesty sampai saat ini baru mencapai Rp 3,69 triliun, angka yang masih sangat jauh dari target 165 triliun. Ditambah lagi, setelah dua bulan, dana repatriasi baru mencapai Rp 10,9 triliun. Angka tersebut sangat minim jika dibandingkan dengan deklarasi dalam negeri yang mencapai 142 triliun.

Masih minimnya dana tebusan membuat masyarakat menduga bahwa pemerintah justru mendorong masyarakat dalam negeri berpartisipasi dalam kebijakan tax amnesty untuk mencapai target penerimaan pajak karena gagal mendorong dana warga Indonesia yang disimpan diluar negeri. Hal ini ditambah dengan perilaku petugas pajak, yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, terindikasi melakukan pemerasan terhadap masyarakat sehingga masyarakat merasa enggan membayar pajak.

Menanggapi keresahan masyarakat dalam negeri, pemerintah menegaskan bahwa hal tersebut hanya merupakan hasil dari kurangnya sosialisasi tax amnesty. Sosialisasi yang dilakukan dirasa kurang menjelaskan bahwa tax amnesty merupakan hak, dan bukan merupakan kewajiban. Masih terdapat banyak cara diluar tax amnesty untuk menebus pajak atas hak yang belum tercantum dalam SPT tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Pajak mengenai kelompok masyarakat yang tidak wajib menggunakan hak kebijakan tax amnesty.

 Kelompok masyarakat tersebut adalah masyarakat berpenghasilan Rp4,5 juta per bulan, penerima harta warisan yang memiliki penghasilan di bawah atau sebesar Rp4,5 juta per bulan, wajib pajak yang memilih membetulkan surat pemberitahuan tahunan, wajib pajak yang hartanya sudah dilaporkan dalam SPT tahunan, dan WNI yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam setahun dan tidak punya penghasilan dari Indonesia. Maka dari itu, pemerintah menganjurkan agar masyarakat Indonesia tidak merasa dibingungkan oleh kebijakan tax amnesty.

Meskipun pemerintah telah melakukan usaha untuk memperjelas tujuan tax amnesty pada masyarakat luas, belum dapat dibuktikan bahwa tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah yang tepat untuk dilaksanakan. Masih banyak pihak yang merasa kebijakan tax amnesty merupakan aksi pengampunan para “mafia pajak”. Seperti yang dikatakan Ketua Umum FSP BUMN, Arief Poyuono, bahwa tax amnesty diduga merupakan ajang para koruptor untuk melakukan pencucian uang hasil korupsi dengan hanya membayar 1.5% dari harta yang dikorup, dan dengan begitu harta tersebut akan menjadi legal. Lagipula ,Dirjen Pajak turut dengan jelas memaparkan bahwa dana yang diikutsertakan dalam kebijakan tax amnesty tidak akan diperiksa asal-usulnya.

Selain itu, salah satu pendorong disahkannya kebijakan tax amnesty adalah untuk mengatasi defisit Negara dalam APBN 2016. Kegagalan pencapaian target penerimaan pajak dalam APBN 2015 tidak membuat pemerintah menurukan target penerimaan pajak dalam APBN 2016. Target penerimaan pajak tahun 2016 naik menjadi Rp 1.539 triliun dari Rp 1.240 Triliun di tahun 2015. Ekonom Faisal Basri menyatakan, Menteri Keuangan tampak ragu atas target penerimaan pajak tersebut. Hingga bulan Mei 2016, penerimaan pajak hanya sebesar Rp 321 triliun, atau seperlima dari target penerimaan pajak dalam APBN 2016. Banyak pihak yang berpendapat bahwa kebijakan tax amnesty bukan merupakan solusi dari penutupan defisit APBN 2016. Defisit APBN 2016 akan tetap berada di level 2,35% jika memasukkan dana hasil tebusan tax amnesty sebesar Rp 165 triliun. Bahkan apabila kebijakan tax amnesty gagal, defisit APBN 2016 akan berada pada level 2,48%.

Isu kebijakan tax amnesty hingga saat ini memang masih menjadi isu problematik, ditambah lagi dengan ketidakpastian kesuksesan pelaksanaan kebijakan tersebut. Namun, masyarakat harus tetap optimis dan percaya kepada pemerintah, serta mendukung pemerintah dalam memenuhi target penerimaan pajak. Bagaimanapun juga, pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara untuk melakukan pembangunan. Di sisi lain, selain memperbaiki undang-undang tax amnesty yang sudah berlaku serta melakukan sosialisasi, pemerintah juga harus melakukan perbaikan sistem administrasi penerimaan pajak. Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencapai perbaikan tersebut, diantaranta dapat dilakukan dengan cara meningkatkan teknis pelayanan penerimaan pajak agar tidak berbelit-belit dan lebih efisien, serta meningkatkan kinerja teknologi penerimaan pajak. Selain itu, pemerintah juga dapat merevisi Undang-Undang Lalu Lintas Devisa, agar dana yang telah masuk ke dalam negeri tidak “lari” kembali ke luar negeri.

Selain itu, jika bertujuan mengurangi dana yang tersimpan diluar negeri, pemerintah harus meningkatkan tindakan preventif. Diantaranya adalah dengan meningkatkan kinerja PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), yaitu lembaga yang berperan dalam mengawasi pengiriman dana ke luar negeri melalui transaksi perbankan apabila uang tersebut pada dasarnya merupakan uang yang didapatkan secara legal. Selain itu, bila uang didapatkan secara ilegal seperti korupsi dan pedagangan illegal, pemerintah dapat melakukan tindakan preventif dengan memperbaiki aturan hukum seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemerintah juga dapat memberikan kewenangan lebih terhadap KPK dalam menindaklanjuti terduga korupsi serta menetapkan UU Perampasan Aset terhadap tersangka korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline