Disclaimer: Penulis tidak memiliki afiiliasi apapun dengan pihak-pihak yang terkait aksi terorisme dan tulisan ini tidak bertujuan untuk mempromosikan atau membenarkan aksi teror dalam bentuk apapun
Terorisme telah menjadi berita buruk yang selalu muncul di media massa. “Bom Sarinah”, penembakan klub malam di Orlando, dan pembunuhan masal menggunakan truk di Nice saat Bastille Day hanyalah sebagian kecil dari ratusan aksi terorisme yang terjadi sepanjang tahun 2016 saja[1]. Pertanyaan tentu muncul di benak kita. “Kenapa sih, terorisme engga pernah berhenti?” “Memangnya teroris untung apa sih?”. Melalui tulisan ini, penulis akan mencoba menjabarkan apa yang menjadi rasionalitas para pelaku terorisme dalam sebuah tindakan yang terlihat sangat irrasional.
Aksi Teroris yang Berkelanjutan
Menurut Caplan, terorisme bisa dibagi ke dalam 3 kategori, yakni simpatisan, teroris aktif, dan pelaku bunuh diri[2]. Berlawanan dengan apa yang mungkin kita sadari, pelaku bunuh dirihanya sebagian kecil dari teroris yang ada. Data dari tahun 1981 sampai 2006 menunjukkan “hanya” ada 1200 aksi teror yang disertai bunuh diri atau 4% dari total aksi teror dalam periode tersebut[3]. Fakta ini menunjukkan bahwa aksi teror yang terjadi di seluruh dunia jauh lebih banyak dari yang mungkin kita ketahui.
Pertanyaannya, meskipun aksi bunuh diri hanya sedikit, mengapa aksi teror tetap berjalan? Hal ini disebabkan oleh banyak simpatisan yang berpotensi menjadi teroris. Dengan menggunakan analisis ekonomi sederhana, perbedaan antara simpatisan dengan teroris aktif dapat dijelaskan dengan teori “permintaan dan penawaran”.
Dalam kurva diatas, teroris aktif ditunjukkan dengan kurva S sementara simpatisan teroris ditunjukkan kurva S’. . Secara sederhana, yang membedakan teroris aktif dengan simpatisan (atau calon teroris) adalah biaya yang rela dibayarkan. Asumsikan harga yang harus dibayarkan untuk melakukan terorisme adalah sebesar P, setara dengan ancaman hukuman mati (“harga” dari terorisme bisa berasal dari biaya untuk menerobos keamanan, peluang tertangkap, beratnya hukuman, dan lain-lain). Pada tingkat harga tersebut, hanya teroris aktif yang bersedia menjalankan aksinya. Sementara, simpatisan tidak akan melakukan aksi teror karena harga yang harus dibayarkan terlalu mahal.
Melalui teori ini, kita juga dapat melihat mengapa kontrol pemerintah dan masyarakat atas aksi teror menjadi hal yang penting. Jika biaya dari terorisme turun menjadi P’, misalnya karena pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah mengendur. Mengendurnya pengamanan akan menurunkan peluang tertangkapnya seorang teroris. Akibatnya, tingkat harga akan turun menjadi P'. Pada tingkat harga P’, simpatisan akan ikut menjalankan aksi teror karena harga untuk menjalankan teror lebih murah. Sehingga, aksi teror tidak hanya bertambah menjadi T’’ (semakin aktifnya teroris aktif), namun juga bertambah sebesar T’ (simpatisan yang menjadi teroris aktif).
Jika mengacu pada kasus Indonesia, survei SMRC menunjukkan bahwa setidaknya 0,8% masyarakat Indonesia setuju dengan apa yang diperjuangkan ISIS atau dapat digolongkan sebagai simpatisan[4]. Angka 0,8% memang terlihat tidak besar. Akan tetapi, 0,8% penduduk Indonesia setara dengan hampir 20 juta jiwa. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan, atau setidaknya menjaga “harga” terorisme sangat krusial untuk mencegah berubahnya 20 juta rakyat Indonesia menjadi teroris aktif.
Mengapa Pemberantasan Terorisme Tidaklah Mudah
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah rasional bagi seorang teroris untuk mempertaruhkan nyawa dalam menjalankan aksinya? Jawabannya adalah ya, dengan catatan. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah, secara teori, konsep rasionalitas tidak sama bagi setiap teroris. Idealnya, rasionalitas teroris untuk menjalankan aksi teror didasari atas 4 hal, yakni motivasi untuk mengubah struktur politik, memperkaya diri, memperkuat hubungan antar kelompok, atau menyerang kestabilan ekonomi[5].
Karena motivasinya berbeda-beda, tidak ada satu cara yang berlaku secara universal untuk melawan aksi terorisme. Sebagai contoh, negosiasi mungkin dapat digunakan untuk menghadapi teroris yang termotivasi untuk memperjuangkan struktur politiknya, namun tidak untuk mereka yang bertujuan menyerang stabilitas perekonomian.