Brasil, negara yang akrab disebut “Negeri Samba” ini pada 5 Agustus 2016 akan menjadi penyelenggara ajang olahraga terbesar seantero dunia, yaitu Olimpiade. Akan tetapi kesiapan Brasil sebagai penyelenggara sangat diragukan oleh karena permasalahan politik yang bahkan memaksa Presiden Brasil, Dilma Rousseff diberhentikan sementara oleh parlemen.Tidak hanya sampai disitu. Permasalahan lain seperti kesehatan dan kriminalitas juga turut mengusik, dan tentunya permasalahan yang akan diulas, yaitu permasalahan ekonomi.
Pada tahun 2009, prospek ekonomi Brasil menunjukkan masa depan yang cerah. Pada kenyataannya, kondisi saat ini justru berbanding terbalik dengan prospek yang ditunjukkan pada tahun 2009.
Hal tersebut dapat diamati pada grafik[1] diatas, dimana GDP Brasil tahun 2009 - 2011 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Namun, tren GDP Brasil pada tahun 2011 - 2016 cenderung stagnan atau menurun. Bahkan, menurut data dari Banco Central do Brasil atau bank sentral Brasil, penurunan GDP Brasil sebesar -3.8% pada akhir tahun 2015 merupakan penurunan GDP Brasil yang terburuk dalam rentang waktu 80 tahun terakhir.
Salah satu dari penyebab luluh lantaknya perekonomian Brasil adalah adanya penurunan harga komoditas non-energi seperti bijih besi, kedelai, dan gula yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Brasil.
Berdasarkan grafik diatas, dapat diamati ketika harga komoditas non-energi seperti bijih besi, gula, dan kedelaimeningkat, pertumbuhan ekonomi Brasil mengalami kenaikan. Namun, ketika harga komoditas tersebut mengalami penurunan mulai dari tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Brasil juga mengalami penurunan. Keadaan ini semakin diperburuk dengan permasalahan struktural terkait ekonomi Brasil yang memengaruhi ekspor, seperti infrastruktur yang buruk dan bea ekspor yang tinggi (USTR,2011).[2]
Kebijakan makroekonomi Brasil juga berperan dalam memperburuk perekonomian Brasil. Sebagai contoh, Banco Central do Brasil menaikkan suku bunga menjadi 14,25% demi membatasi arus modal keluar. Memang, kebijakan tersebut berhasil dalam mengurangi arus modal keluar, karena tingkat suku bunga yang tinggi merepresentasikan “return” yang akan didapat oleh investor asing[3]. Namun, kebijakan tersebut juga meningkatkan “cost of borrowing” yang semakin tinggi, sehingga dapat mempersulit bagi pengusaha - pengusaha Brasil untuk melakukan ekspansi bisnis mereka[4]
Sementara itu, kebijakan fiskal yang diambil pemerintah Brasil adalah meningkatkan rasio penerimaan pajak kepada PDB menjadi sebesar 36% (rata-rata negara berkembang adalah 21%), membatasi program pinjaman bersubsidi, dan menurunkan subsidi untuk komoditas dasar, seperti air dan listrik (2/3 kebutuhan listrik Brasil dipenuhi oleh PLTS)[5]. Kebijakan ini diambil demi mengurangi permintaan dan menekan tingkat inflasi. Namun, kebijakan tersebut justru berdampak negatif kepada perekonomian Brasil, karena penurunan subsidi pada komoditas & kebutuhan menaikkan biaya bagi perusahaan untuk berproduksi sehingga menyebabkan terjadinya cost - push inflation[6].
Kebijakan - kebijakan diatas berdampak pada meningkatnya hutang publik hingga mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah Brasil (63% dari GDP), dan meningkatnya tingkat inflasi hingga mencapai 10,67% pada akhir 2015. Selain itu, kenaikan tingkat inflasi dan kebijakan - kebijakan yang “mempersulit” perusahaan di Brasil untuk berkembang memaksa perusahaan untuk menurunkan tingkat gaji dan mengurangi jumlah tenaga kerja sehingga terjadi penurunan tingkat output secara keseluruhan. Penurunan tingkat output secara keseluruhan ini menyebabkan penurunan tingkat GDP, yang dapat diamati pada grafik dibawah ini.
Dibalik semua permasalahan ekonomi yang ada, Brasil memiliki dua potensi yang dapat dimanfaatkan demi memulihkan kembali perekonomian. Potensi yang pertama adalah sektor agrikultur yang menyumbang 36% dari seluruh total ekspor Brasil dan 17% dari GDP (OECD, 2014). Selain itu, proyeksi dari subsektor yang terdapat pada sektor agrikultur (pertanian, peternakan, dan perikanan) secara keseluruhan memiliki prospek yang cerah, dimana hal tersebut dapat dimanfaatkan bagi Brasil karena kebutuhan pangan dunia yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Potensi kedua yang dapat dimanfaatkan Brasil adalah status Brasil sebagai tuan rumah Olimpiade 2016. Seperti yang kita ketahui, pelaksanaan Olimpiade selalu menyedot wisatawan dari seluruh penjuru dunia sehingga dapat meningkatkan pariwisata, paling tidak dalam jangka pendek. Pajak penerimaan Brasil juga turut meningkat dalam jangka pendek. Sementara itu, dalam jangka panjang, pelaksanaan Olimpiade dapat memicu perkembangan infrastruktur, terutama dalam sektor transportasi publik dan mobilitas urban[7]. Aspek lainnya yang tidak dapat dipandang sebelah mata adalah pelaksanaan Olimpiade yang dapat menjadi momentum untuk menghidupkan kembali citra Brasil di mata dunia.
Akan tetapi, segala potensi tersebut tidak dapat menyelematkan perekonomian Brasil apabila pemerintah tidak menerapkan kebijakan yang tepat, terutama dari sektor investasi. Walaupun Banco Central do Brasil telah meningkatkan tingkat suku bunga demi meningkatkan arus dana masuk, rasio investasi Brasil terhadap GDP masih berada dibawah rata - rata negara Amerika Latin lainnya[8]. Oleh sebab itu, pemerintah Brasil harus mengeluakan kebijakan seperti peningkatan infrastruktur dan menciptakan suatu iklim yang ramah terhadap investor. Terutama dari sektor politik dan korupsi Brasil yang masih sangat mengkhawatirkan[9]. Apabila pemerintah Brasil berhasil berbenah, maka bukan tidak mungkin perekonomian Brasil akan kembali membaik seperti pada tahun 2009.