Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Era Kebijakan Nonkonvensional: Wacana Helicopter Money untuk Eurozone

Diperbarui: 4 Juni 2016   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pertumbuhan perekonomian global telah mengalami perlambatan sejak beberapa tahun terakhir. Tercatat bahwa sejak tahun 2010, pertumbuhan ekonomi global menurun dari 4.9% ke 2,47% di tahun 2014[1]. Hal ini semakin parah jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi di eurozone – area yang mencakup negara-negara Uni Eropa –, dimana pertumbuhannya tidak pernah melebih 1% sejak tahun 2007[2]. Untuk mengatasi perlambatan yang terjadi di eurozone, berbagai kebijakan sudah diterapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB). Nyatanya, kebijakan konvensional maupun nonkonvensional, seperti Quantitative Easing(QE)dan suku bunga negatif, tidak dapat mengatasi permasalahan ini jika melihat tren pertumbuhan ekonomi Eropa yang masih negatif[3]. Sebagai upaya untuk mendorong perekonomian, muncullah ide untuk menerapkan Helicopter Money.Apakah yang dimaksud dengan Helicopter Money?

Helicopter Moneymerupakan istilah dari kebijakan yang dikemukakan oleh Milton Friedman untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ketika kebijakan fiskal dan moneter konvensional tidak berhasil mendorong perekonomian. Helicopter Money merupakan kebijakan fiskal ekspansif berupa peningkatan pengeluaran pemerintah atau mengurangi penerimaan pajak, yang disertai dengan peningkatan suplai uang beredar secara permanen[4]. Dibandingkan kebijakan fiskal konvensional, kebijakan ini memiliki kelebihan tersendiri karena dapat dilakukan saat hutang sebuah negara sudah terlalu tinggi.

Sebagai ilustrasi, asumsikan pemerintah ingin mendorong perekonomian dengan menambah pengeluaran pemerintah, misalnya sebesar US$1 juta. Dengan kebijakan fiskal ekspansif, peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dengan menerbitkan obligasi ke publik. Permasalahannya adalah penerbitan obligasi sulit dilakukan pada tingkat hutang yang tinggi. Selain itu, penerbitan obligasi akan mendorong kenaikan tingkat bunga, yang pada akhirnya akan mengurangi investasi (investasi berbanding terbalik dengan suku bunga) dan menahan pertumbuhan GDP.

Sementara itu, dengan Helicopter Money, pemerintah akan memperoleh pendanaan dengan cara menjual obligasi ke bank sentral. Secara teoritis, penjualan hutang dalam bentuk obligasi ke pasar akan mendorong kenaikan suku bunga sehingga mengurangi nilai investasi[5]. Oleh karena itu, bank sentral wajib memegang obligasi selama-lamanya untuk mempertahankan dampak dari kebijakan fiskal ekspansif[6]. Dengan tingkat pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi dan faktor lain (konsumsi, investasi, ekspor-impor) bernilai konstan, maka nilai GDP akan meningkat.

Jika dikaitkan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di Eurozone, Helicopter Moneytentu dapat menjadi sebuah solusi brilian. Dibandingkan dengan dua kebijakan pendahulunya – QE dan suku bunga negatif – yang sifatnya temporer, kebijakan ini dapat menjadi sebuah solusi yang lebih permanen. Sebagai contoh, implementasi QE tidak dapat dilakukan secara terus menerus karena ada batas maksimal mengenai hutang pemerintah. Hal ini berbeda dengan Helicopter Moneyyang dapat berlangsung terus menerus (selama Bank Sentral tidak menjual obligasi pemerintah ke pasar). Selain itu, dengan komposisi hutang negara-negara di eurozone yang sudah mencapai 93,5% dari GDP di tahun 2015[7], kebijakan fiskal ekspansif yang akan meningkatkan hutang pemerintahan tentu sulit untuk dilaksanakan.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan kebijakan ini. Pertama adalah sulitnya melakukan koordinasi kebijakan antara pemerintah dengan bank sentral. Dalam ilustrasi yang dijelaskan sebelumnya, syarat agar Helicopter Moneydapat dilaksanakan adalah dengan memastikan bahwa bank sentral tidak melakukan kebijakan yang menetralisasi dampak dari kebijakan fiskal. Nyatanya, hal ini sulit untuk direalisasikan. Salah satu contoh yang merepresentasikan sulitnya koordinasi antara bank sentral dan pemerintah adalah penentuan batas hutang di Amerika Serikat (AS). 

Pada tahun 2013, terbentuklah keputusan untuk memotong pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal kontraktif) agar perekonomian lebih stabil. Akan tetapi, hal ini ditanggapi oleh The Fed (Bank sentral AS) dengan kebijakan moneter ekspansif, karena The Fed menganggap bahwa pemotongan pengeluaran akan berimbas pada lambatnya pemulihan perekonomian[8]. Akibatnya, dampak yang ingin dicapai oleh pemerintah “ternetralisir” oleh kebijakan The Fed.

 Kedua adalah potensi penyimpangan oleh pemerintah. Dalam Helicopter Money, peningkatan pengeluaran dapat dilakukan tanpa menambah hutang. Hal ini tentu menjadi opsi yang lebih atraktif jika dibandingkan dengan kebijakan fiskal ekspansif, dimana pemerintah harus menambah hutangnya. Akibatnya, ada kecenderungan ketergantungan pemerintah yang menyebabkan independensi dari bank sentral terganggu, karena bank sentral harus selalu mengikuti kebijakan pemerintah dan sebaliknya. Hilangnya independensi bank sentral inilah yang dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh pemerintah untuk menciptakan uang dengan jumlah yang terlalu besar[9].

Dampak lanjutannya adalah sesuai mekanisme pasar, suplai yang terlalu besar akan mengurangi nilai dari barang tersebut. Dalam kasus ini, suplai uang yang terlalu banyak akan mengurangi nilai dari uang secara drastis[10]. Padahal, salah satu fungsi uang adalah penyimpan nilai. Dengan hilangnya fungsi tersebut, maka orang-orang akan beralih ke bentuk uang lainnya. Peralihan ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap uang. Apabila masyarakat tidak percaya dengan nilai dari uang yang beredar, transaksi akan lebih sulit terjadi, sehingga kesejahteraan masyarakat akan menurun.

Dengan berbagai pertimbangan yang ada, apakah yang seharusnya dilakukan oleh ECB? Jika dianalisa lebih lanjut, fokus utama dari kebijakan Helicopter Moneyadalah mendorong sisi permintaan. Ingat kembali bahwa Helicopter Moneyakan mendorong pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang memengaruhi permintaan agregat. Perubahan dalam permintaan agregat akan memengaruhi tingkat output riil. Apabila output riil lebih besar dari level naturalnya, akan terjadi penyesuaian dalam bentuk kenaikan harga.

Ilustrasinya, jika permintaan terlalu besar, maka produsen akan sadar bahwa mereka dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar dengan menaikkan harga. Untuk menaikkan harga, mereka harus mengurangi suplai – dalam kasus ini, berkurangnya suplai menyebabkan tingkat output keseimbangan kembali ke level naturalnya. Hal ini disebut juga sebagai teori netralitas uang, dimana faktor-faktor nominal (tingkat harga, suku bunga) tidak dapat memengaruhi faktor riil (GDP, pengangguran, dll.) dalam jangka panjang.[11]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline