Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Potensi Resesi Global 2016: Sejarah 2008 Terulang?

Diperbarui: 22 Mei 2016   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

endoftheamericandream.com

Resesi global merupakan penurunan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) negara-negara di dunia secara bersamaan, atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun[1]. Menurut Elfa Bartsch, wakil kepala ekonomi global Morgan Stanley (bank investasi yang berbasis di Amerika Serikat), GDP per kapita tumbuh negatif bila pertumbuhan ekonomi dunia dibawah 2.5%. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Baru-baru ini, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan adanya potensi akan terulangnya kekacauan pasar saat masa resesi 2008. Lalu, apakah penyebab dari potensi terulangnya sejarah tersebut?

Pada awal tahun, tanggal 19 Januari 2016, IMF memangkas perkiraan pertumbuhan perekonomian dunia pada tahun tersebut dari 3,6% menjadi 3,4%[2]. Selain itu, Morgan Stanley juga merilis angka probabilitas terjadinya resesi ke level 20%. Kedua perkiraan tersebut, menurut masing-masing perilis, merupakan perkiraan yang mendukung terjadinya resesi dunia karena menandakan turunnya pertumbuhan perekonomian global. Bila kita telusuri lebih lanjut, resesi global pada dasarnya terjadi karena penurunan pertumbuhan perekonomian suatu atau beberapa negara ataupun kawasan yang menjadi pemicu terjadinya “efek domino” atau perambatan terhadap turunnya pertumbuhan perekonomian negara lainnya.  Menurut IMF, terdapat dua pemicu utama yang mengakibatkan dunia berada di ambang resesi. Pemicu tersebut merupakan krisis ekonomi Eropa serta kondisi perekonomian China yang sedang buruk.

Krisis ekonomi Eropa dimulai dari krisis keuangan salah satu negara yang tergabung dalam Uni Eropa yaitu Yunani. Yunani bergabung dengan Uni Eropa dan mengganti mata uangnya dari mata uang Drachma menjadi Euro pada tahun 2001, serta besedia berbagi kebijakan moneter dengan negara-negara Eropa tersebut. Namun, Yunani merupakan salah satu negara paling miskin dengan banyak hutang bertumpuk. Ketika Eropa dilanda krisis finansial pada tahun 2008, Yunani merupakan salah satu Negara yang paling terkena imbasnya, dengan hutang yang meningkat dari 107% hingga 177% dari pendapatan nasional. Untuk membayar hutang tersebut, Yunani selanjutnya meminta bantuan finansial kepada Troika, yaitu gabungan dari Bank-bank Uni Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF. Namun, Yunani tetap tidak dapat memperbaiki kondisi finansialnya. Hal ini ditandai dengan ketidakmampuan Yunani membayar salah satu hutangnya yaitu kepada IMF sebesar 22 triliun rupiah saat hutang tersebut jatuh tempo pada tanggal 30 Juni 2015.  

Padahal, total hutang Yunani mencapai 5000 triliun rupiah yang sebagian besar didapat dari Bank-bank Uni Eropa, IMF, serta bank sentral Eropa[3]. Ketidaksanggupan Yunani dalam membayar hutang ini tentu sangat merugikan negara pemegang hutang Yunani yang mayoritas merupakan anggota Uni Eropa dan akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi negara pemegang hutang tersebut bilahutang tersebut memiliki jumlah yang signifikan. Untuk dapat melunasi utangnya yang telah jatuh tempo, Troika menawarkan bantuan finansial dengan syarat bahwa Yunani harus melakukan reformasi ekonomi yaitu dengan cara memangkas dana pensiun pegawai negeri sipil yang diketahui selama ini membebani perekonomian Yunani, serta menaikkan pendapatan dari pajak. Tetapi, rakyat Yunani menolak penawaran tersebut dan memilih untuk menyelesaikan persoalan utangnya secara mandiri. Sampai sekarang, Yunani belum dapat membayar utang-utang tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor utama lain yang menyebabkan dunia berpotensi mengalami resesi ekonomi adalah perlambatan pertumbuhan perekonomian China. Hal tersebut dapat kita lihat dari grafik di bawah ini, yang menunjukkan pertumbuhan GDP China dari pertengahan bulan Juli 2013 hingga akhir bulan Januari 2016. Pada akhir bulan Januari 2016, pertumbuhan GDP China menunjukkan angka 6,7% yang merupakan angka pertumbuhan terendah dalam tiga tahun terakhir dalam data tersebut, dan bahkan terendah dari tahun 1990 jika dikutip dari data Bloomberg.

sasha-5741a1d21197730d090090cb.png

Pertumbuhan perekonomian China yang terus meningkat sejak tahun 1990 tersebut lambat laun menyebabkan harga aset seperti saham, properti, serta komoditas menjadi lebih tinggi dari nilai intrinsiknya. Harga tersebut terus naik hingga sampai pada suatu titik harga di mana jumlah investor yang berinvestasi pada aset tersebut berkurang, sehingga harga aset tersebut akan turun. Hal ini merupakan hal yang terjadi di China pada tahun 2015. Sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak, tentu perlambatan pertumbuhan China berdampak sangat besar bagi dunia. Dengan menurunnya harga penjualan aset, pertumbuhan GDP China akan turun dan berpengaruh pada turunnya daya beli masyarakat China sendiri. Kegiatan impor dan ekspor negara tersebut akan turun sehingga supply dan demand komoditas akan juga berkurang dari negara tersebut. Anjloknya harga saham perusahaan china juga menyebabkan kerugian bagi para investor luar negeri yang diakibatkan oleh selisih harga beli yang lebih tinggi dari harga jual bila harga saham tersebut terus merosot.

Potensi terjadinya resesi ekonomi global pada tahun 2016 memiliki juga dampak langsung terhadap Indonesia. Keadaan ekonomi global yang ternyata lebih buruk dari yang sebelumnya diperkirakan, yang ditandai dengan pemangkasan perkiraan pertumbuhan perekonomian dunia, juga membawa perkiraan pertumbuhan perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia turun dari 5.3% menjadi 5.1%.[4] Hal ini disampaikan oleh direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves. 

Untuk mengantisipasi dampak dari resesi global yang berpotensi terjadi, pemerintah Indonesia perlu lebih aktif mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki, Salah satu contohnya adalah dengan cara meningkatkan penciptaan lapangan kerja. Untuk meningkatkan lapangan pekerjaan yang tersedia, pemerintah perlu melakukan pembangunan secara merata,  menciptakan berbagai progam pelatihan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta menciptakan kebijakan yang dapat mendorong masyarakat untuk berinvestasi. Contoh lain dari aksi yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi dampak resesi global adalah dengan menjaga stabilitas harga berbagai komoditas dalam negeri serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Walaupun dampak dari resesi global tidak dapat dihilangkan secara utuh, dengan antisipasi dari dalam negeri, Indonesia dapat meminimalisir dampak dari resesi global tersebut.

Oleh: Sasha Namira | Ilmu Ekonomi 2015 | Staf Kajian Kanopi 2016

[1] Global Recession

[2] IMF Turunkan Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi RI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline