[caption caption="Sumber Gambar: metrotvnews.com"][/caption]“Untuk kantong plastiknya dikenakan biaya 200 Rupiah ya.” Perkataan tersebut sekarang menjadi hal familiar yang kita dengar bila kita berbelanja di supermarket atau bahkan minimarket. Ya, terhitung mulai dari 21 Februari 2016, pemerintah Indonesia mengikuti langkah banyak negara lain, seperti Denmark, Jerman, Irlandia, dan Perancis, yang mengenakan biaya tambahan untuk penggunaan kantong plastik di beberapa kota besar dengan tujuan menambah kesadaran terhadap lingkungan di kalangan masyarakat luas dan tentu saja untuk mengurangi pemakaian kantong plastik. Namun, mengingat tujuan tersebut, apakah dua ratus Rupiah merupakan biaya yang sudah pas untuk mengurangi konsumsi kantong plastik, atau nilai tersebut terlalu murah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas seberapa bermasalahnya kantong plastik itu sendiri. Dilihat dari pembuatannya, dibutuhkan 12 juta barel minyak untuk membuat 30 milyar kantong plastik. Sebagai perbandingan, 125 ribu barel minyak dapat mensuplai sebuah mobil sedan untuk melakukan perjalanan dari Bumi ke Matahari bolak-balik 21 kali. Lalu, menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), tiap orang Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahunnya. Bila dikali dengan jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih berjumlah 250 juta jiwa, maka Indonesia memakai 175 milyar kantong plastik per tahunnya.
Selanjutnya, dibutuhkan waktu 500 sampai 1000 tahun bagi kantong plastik untuk terdekomposisi sepenuhnya dan hal ini diperparah dengan pusat perbelanjaan yang memberikan kantong plastik secara gratis, sehingga mendorong masyarakat untuk hanya membuang-buang kantong plastik. Begitu banyaknya sampah kantong plastik, hingga sampah tersebut menutupi area seluas kurang lebih 1,4 juta km2 di Samudra Pasifik dan makin hari makin bertambah luas.
Sampah plastik yang mengapung tersebut akan dianggap sebagai makanan oleh beberapa hewan laut dan akhirnya dikonsumsi. Sudah lebih dari 50% penyu telah secara tidak sengaja memakan plastik. Demikian, pemerintah sudah mengambil langkah yang tepat untuk mengurangi konsumsi plastik di Indonesia.
Akan tetapi, kembali kepada pertanyaan awal, yaitu apakah dua ratus Rupiah merupakan harga yang pas atau dirasa masih kurang. Ditinjau dari fakta empiris yang ada di beberapa kota besar, dua ratus Rupiah itu tidak ada artinya. Untuk biaya ke kamar kecil saja sudah minimal seribu Rupiah, begitu juga dengan uang yang kita beri ke pengamen.
Hal yang sama juga berlaku di Surabaya, Medan, Semarang, Makassar, Balikpapan, dan kota lainnya. Menurut observasi saya pribadi di Jakarta, sejak pemberlakuan aturan plastik berbayar, jumlah orang yang sudah tidak menggunakan plastik ketika berbelanja bisa dihitung dengan kurang dari 10 jari tangan. Memang pada akhirnya tiap daerah dan toko bisa membuat aturan sendiri, tetapi beberapa daerah dan toko mungkin berpikir buat apa menaikan biaya untuk plastik ketika yang lain tidak. Hal ini jelas menunjukan bahwa dua ratus Rupiah terlalu murah.
Alasan lainnya adalah aturan itu sendiri yang mempunyai dua kelemahan fundamental. Pertama, aturan tersebut berkata bahwa plastik berbayar hanya baru berlaku di perusahaan-perusahaan ritel (peritel) atau dengan kata lain, warung-warung/toko kelontong masih bebas untuk “membagi-bagikan” kantong plastik secara cuma-cuma.
Lalu, menurut BPS, market share perusahaan ritel di pasar hanyalah 54,6% dan sisanya dikuasai oleh toko kelontong. Maka berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa aturan tersebut tidaklah efektif mengingat masih besarnya pangsa pasar toko kelontong. Kelemahan kedua adalah aturan ini tidak menjelaskan secara jelas mengenai harus diapakan uang yang sudah terkumpul dari biaya pemakaian kantong plastik.
Aturan tersebut hanya berkata bahwa uang yang terkumpul harus digunakan untuk pelestarian lingkungan dan menyerahkan mekanismenya ke masing-masing peritel, sehingga tidak jelas apakah harus melalui pemerintah daerah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, atau CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan yang terkait. Hal ini mengakibatkan uang tersebut rawan menjadi “sumbangan” konsumen untuk peritel.
Satu alasan terakhir mengapa dua ratus Rupiah terlalu murah dapat dikaji dari sudut pandang ekonomi. Sebelum melanjutkan, di dunia ekonomi dikenal istilah negative externalities yang berarti biaya yang harus ditanggung oleh satu pihak, bisa merupakan individu atau sekelompok masyarakat, yang tidak mempunyai kaitan dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pihak lainnya. Sebagai contoh, bila pihak A menebang pohon di hulu sungai, maka pihak B (masyarakat di hilir sungai) yang harus menanggung akibatnya, yaitu banjir. Lebih lanjutnya, negative externalities bisa digambarkan dengan kurva berikut:[caption caption="Grafik Eksternalitas Negatif"]
[/caption]
Mari kita bahas penjelasan kurva di atas menggunakan contoh kasus kantong plastik tidak berbayar. Perlu diingat keseimbangan terjadi ketika titik pertemuan antara Q dan P berpotongan dengan kurva Marginal Social Benefit/MSB (kurva merah) dan bila sebuah titik jatuh diatas kurva MSB, hal ini berarti kerugian secara sosial.