Lihat ke Halaman Asli

Dika Hadi

peternak biasa

Sebuah Puisi yang Tertinggal

Diperbarui: 17 April 2017   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah Puisi Yang Tertinggal

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti apa yang diisyaratkan awan kepada hujan yang membuatnya.....

Aku terhenti, termenung dan termakan dalam lamunanku. Ini hanyalah sebuah puisi namun tanganku enggan merampungkan kata terakhir dalam karya Sapardi Doko Darmono itu. Apa, kata apakah yang hilang itu. Aku bisa merasakannya diujung lidahku namun enggan rasanya untuk menghamburkannya dalam sebuah lembaran kertas buram dengan pena bertinta darah ini.

Aku menghela nafas, mengetuk kepala dan mulai termenung lagi. Apakah aku perlu menuliskannya. Sebuah puisi cinta untuk dikenang, sebuah cerita yang nantinya akan didongenkan kepada anak cucu. Ah, apa yang kulakukan. Aku bodoh idiot dan tidak berguna. Aku bukanlah pujangga cinta, aku juga bukanlah seorang penulis puisi. Aku ya hanyalah aku. Dua buah mata, sebuah hidung dengan dua buah lubang disana. Sepasang telinga, tubuh yang lengkap dengan mulut yang bisa mengajakmu berbicara.

Mengapa aku merasakan keraguan dalam hatiku yang memang tidak pernah ada di rongga tulang rusuk ini. Aku mengusap pipiku yang mulai basah entah karena keringat ataupun air mata yang belum kering. Aku tidak tahu, aku tidak mau tahu lagi apa yang akan terjadi nantinya di masa depan. Aku tidak ingin menuliskannya lagi sekalipun seorang milyuner memberiku emas sebesar kepala kerbau.

Aku ingin mencintaimudengan sederhada, apakah kalimat itu layak keluar dari mulutku yang bau comberan ini. Apakah kalimat itu berhak diucapkan oleh makhluk berlumpur hitam yang lebih kotor ataupun bau dari kotoran manusia ini. Sesosok monster yang mungkin haus darah dan penuh dengan bibit penyakit dalam setip liur yang menetes dari mulutku. Sejak awal haruskah aku bilang cinta meskipun ini hanyalah sebuah lelucon kekanakan atau barang kali maas hiperbola yang dilebih-lebihkan lagi. Sepertinya ini bukan lagi masalah yang sederhana seperti hasil penjumlahan dua angka satu.

Aku ingin menghantamkan kepalan tanganku ke dinding, mengukir mereka dengan amarah yang bisa membakar serangga hidup-hidup. Aku ingin mengukir dan menusuk mereka dengan pena hingga lubang yang nampak seperti manusia muncul di dinding siap menelan tubuhku seperti serigala yang kelaparan. Aku akan melompat, mengeluarkan seluruh tenaga dikakiku untuk keluar dari penjara kebebasan ini. Aku tidak ingin menjadi narator dalam kematianku sendiri. Aku akan keluar dari penjara terkutuk ini untuk mencarimudan melihatmu sekali saja.

Aku ingin mengobati rasa penasaranku, aku ingin melihat dengan kedua buah mataku ini seperti apa ekspresi yang akan kau tunjukkan jika kau melihat tubuhku yang mulai mengering dengan keriput yang berubah seperti sisik ikan hiu. Ekspresi apa yang akan kau perlihatkan padaku jika kau melihatku seperti ini? Apakah kau akan tersenyum begitu melihatku bebas, memeluk tubuhku yang kotor menepuk-nepuk pundakku dan berkata semuanya akan baik-baik saja ataukah kau akan menyiapkan sebuah jamuan dengan semangkuk sup bercitarasa racun kacang almond yang bahkan belum dipanggang. Katakan padaku, haruskah aku memilihnya dari dua ekspresi itu yang ingin sekali kulihat. Aku tidak akan pernah bisa memikirkannya sekalipun satu abad telah berlalu.

Aku ingin berteriak, mengaum sekencang mungkin hingga seluruh dunia ini bangun dari kegelapan malam. Sekalipun semuanya hanya mimpi aku ingin setidaknya pena-pena besi itu tidak diam dalam acara mogok bicara mereka. Aku ingin berbicara dengan seseorang hingga matahari terbenam dan muncul lagi keesokan paginya sebelum aku menjadi gila karena kesepian ini. Bentang malam yang panjang mungkin tidak bisa lagi membuatku terluka.

Kasihku, tahukah engkau bagaimana rasanya kesepian itu disaat dewa bahkan ikut terdiam? Aku ingin mengisyaratkannya padamu dalam beberapa lembar kertas buram yang kini masih kosong dan polos seperti anak berusia tiga tahun yang belum tahu apapun tentang dunia ini. Aku ingin menuliskannya dalam beberapa kata atau beberapa kosa kata yang belum belajar bicara. Aku ingin  berbicara, mencetak wajahku dengan darah dan daging di atas lembarang kertas itu. Aku ingin meresapkannya dalam-dalam seperti sebuah tinta di atas kain mori. Aku ingin menatap kedua bolah mata birumu sekali lagi walaupun dari balik sebuah sketsa wajah yang dingin. Aku ingin berbicara meskipung menggunakan tenggorokan dan pita suara imajiner yang tidak pernah nyata. Aku harus bercerita padamu apa yang terjadi ketika malam mulai memudar dunia yang sunyi kini tak lagi terlelap.

Tahukah kamu seperti apa rasanya terjebak di antara tumpukan tulang, debu keramik dan ribuan pena besi berkarat yang diam. Tahukah kau berapa liter darah yang harus tertumpah setiap kali aku bersujud, meratap dan memohon ampunan dari para makhluk bar-bar itu. Aku suci bagaikan bayi yang baru lahir tetapi mereka bilang setan tidak akan percaya padaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline