Lihat ke Halaman Asli

Jangan ‘Bunuh’ Demokrasi Noken

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391675390894297855

[caption id="attachment_294137" align="aligncenter" width="502" caption="ilustrasi: metronews.com"][/caption]

Noken adalah alat kebudayaan Papua yang  diwariskan dari nenek moyang. Alat itu berupa tas multi fungsi yang terbuat dari anyaman serat kulit pohon yang digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Papua biasanya menggunakannya untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar, bahkan digunakan untuk menggendong anak. Karena keunikannya, UNESCO pada 4 Desember 2012 telah menetapkan Noken sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia.

Sejak Pemilu diberlakukan di Papua, Noken juga digunakan sebagai pengganti kotak suara. Lebih dari itu, di beberapa tempat anggota suku memberikan kepercayaan kepada kepala sukunya kepada kepala sukunya atau kepada orang yang dituakan untuk memilih calon-calon anggota legislatif maupun kepala daerah dan kepala negara. Sistem ‘demokrasi noken’ inilah yang beberapa waktu lalu diprotes oleh Komnas HAM bahkan oleh Bawaslu. Natalius Pigai (Komisioner Komnas HAM asal Papua)mengatakan, sistem noken bertentangan dengan prinsip one man, one vote, one value system. http://nasional.kompas.com/read/2014/02/03/2304566/Komnas.HAM.Minta.KPU.dan.Bawaslu.Tolak.Sistem.Pemilu.Noken.

Kendati demikian, Ketua KPU Provinsi Papua, Adam Arisoy SE tetap bersikeras bahwa pada Pemilu 2014 pihaknya tetap akan menggunakan sistem noken di beberapa daerah, khususnya di wilayah pegunungan. Tujuannya untuk memudahkan masyrakat di daerah pegunungan menyalurkan hak suaranya sebagai warga negara Indonesia.

“Proses penggunaan Noken telah diuji sejak pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Yahukimo Tahun 2009 lalu, diaman Mahkamah Konstitusi telah mengakui Noken sebagai bagian kearifan lokal pegunungan tengah atau yang biasa disebut dengan "Demokrasi Noken," tegas Adam Arisoy sembari menunjuk Keputusan MK No. 48 dan 49 tahun 2009.
http://www.papua.us/2013/09/pemilu-2014-komisi-pemilihan-umum-kpu.html


Tak ada yang salah dengan kedua pernyataan itu. Yang satu menggunakan pendekatan HAM, sementara yang lain menggunakan pendekatan budaya. Tujuannya sama, agar masyarakat dapat menggunakan hak demokrasinya untuk memilih pemimpin. Dan hak untuk memilih wakil atau pemimpin melalui kedua pendekatan itu, sama-sama telah dijamin dengan konstitusi.

Hanya bedanya, one man one vote diadopsi dari demokrasi barat (yang kita anggap demokrasi modern) sementara sistem noken yang lahir dari budaya asli orang Papua dituding rawan manipulasi dan melanggar prinsip ‘rahasia’ dalam Pemilu. Kata ‘manipulasi’ dan ‘rahasia’ mungkin hanya kemasan saja untuk menggantikan kata ‘ketinggalan jaman’. Karena saya yakin, tidak ada yang bisa menjamin bahwa prinsip rahasia dan one man one vote dalam Pemilu, tidak bisa dimanipulasi.

Mestinya Natalius Pigai sangat paham bahwa masyarakat adatnya di pegunungan Papua adalah masyarakat komunal (bukan indiviudual). Mereka hidup dalam kelompok otonomi berdasarkan pertalian darah dan keluarga, yang kita sebut suku. Bagi mereka, suku adalah segalanya.

Ponto Yelipele, seorang pemerhati masalah perubahan sosial dan Mutu Pendidikan Papua menulis, Orang Papua wajib menanamkan kesetiaan pada kaum dan pada semua sekutunya, karena hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Setiap anggota harus siap membela rekan sesukunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat. http://bintangpapua.com/index.php/supiori/item/2704-masyarakat-adat-wamena-gunung-yang-dulu-kini-dan-esok

Sekali lagi, tidak ada yang salah denan tata nilai orang Papua itu. Karena pemimpin yang mereka patuhi itu, bukan sekedar orang yang memiliki legalitas formal karena telah dipilih, melainkan seorang “Ap Kany” atau pria sejati/pemberani. Ap Kany berarti keberanian dalam berperang, kesabaran dan ketahanan dalam penderitaan dan pengabdian pada tugas, melindungi anggota suku yang lemah dari arogansi anggota suku kuat. Setiap suku memiliki kebanggaan akan Ap Kany mereka masing-masing, yang diyakini diwariskan secara turun-temurun.

Sebagai orang Papua, saya mengapresiasi Keputusan MK nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 itu. Karena keputusan itu telah mengakomodasi dan menghormati demokrasi noken sebagai sebuah kearifan lokal yang patut dilestarikan. Bahwa ia lemah dari aspek pengawasan, itu bisa dibenahi. Yang penting, ideologi “Ap Kany” warisan leluhur kami tidak sampai “terbunuh” oleh argumen-argumen sumir seperti rawan manipulasi, tidak rahasia, lemah pengawasan dan entah apa lagi yang sebetulnya sangat mudah diperbaiki. Semoga. [***]

Kanis WK, Merauke, 6 Februari 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline