Lihat ke Halaman Asli

Lagi, Pembohongan Publik soal Status Politik Papua

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13533971761464368135

[caption id="attachment_210402" align="aligncenter" width="512" caption="Pelaksanaan PEPERA 1969. (Foto :Zonadamai@wordpress.com)"][/caption]

Sudah sangat sering saya menulis topik ini dan sebagiannya telah saya posting di Kompasiana. Yakni terkait status politik Papua yang selama ini ibarat bola liar yang disambar kesana kemari oleh para petualangan politik Papua untuk kepentingan tertentu.

Isu ini kembali menghangat di Papua saat ini setelah muncul sekelompok orang yang mengklaim ‘Pengurus Sekretariat Negara Republik Papua Barat (NRPB)’. Para pengurus itu di antaranya bernama Yance Hembring yang tak tanggung-tanggung mengaku ‘Presiden NRPB’ dimaksud.

Sudah Terdaftar di PBB

Beberapa hari lalu, salah seorang dari kelompok Yance Hembring ini, yakni Agustinus Waipon yang mengaku Kepala Kantor Sekretariat NRPB dalam pernyataannya kepada media lokal mengklaim bahwa perjuangan panjang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dilebur menjadi Administrasi Negara Republik Papua Barat (NRPB),  sudah terdaftar secara resmi menjadi anggota PBB. Bahwa pada Sidang Umum PBB 24 September 2012 yang lalu Presiden SBY bersama ‘Presiden NRPB Yance Hembring’ sudah menandatangani piagam pengakuan NRPB dari Republik Indonesia di PBB.

http://bintangpapua.com/headline/28734-papua-barat-sudah-terdaftar-di-pbb-

Benarkah demikian?

Franzalbert Yoku, mantan tokoh OPM yang dulu banyak berjuang di luar negeri namun sekarang sudah memilih bergabung kembali dengan NKRI mengatakan bahwa pernyataan Agustinus itu merupakan sebuah pembohongan publik. Pasalnya, jangankan terdaftar di PBB untuk bisa masuk ke gedung PBB saja cukup sulit.

“Itu pembohongan publik dari para oportunis yaitu para adventure atau pekerjaan petualang politik. Saya tahu, karena saya dulu jadi petualang politik dan saya kerjanya begitu. Selain jadi wartawan, saya juga jalankan propaganda seperti itu,” ujar Franzalbert kesal.http://bintangpapua.com/headline/28785-tak-gampang-jadi-anggota-pbb

Status politik Papua memang sering dijadikan obyek, lebih-lebih oleh para aktivis Papua, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kampanye hitam tentang hal ini sedang dimainkan secara intensif oleh Benny Wenda melalui lembaga yang didirikannya, yaitu Free West Papua Campaign yang bermarkas di London, Inggris. Kampanye Benny kemudian ‘diobyekan’ lagi oleh para aktivis NGO luar negeri yang kemudian mendirikan lembaga advokasi hokum bernama International Lawyers for West Papua (ILWP) untuk membawa masalah status politik Papua ke Mahkamah International (MI).

Namun, sudah empat tahun berdiri, ILWP tak kunjung bersidang di MI. Juga tak ada kemajuan yang berarti tentang masalah ini. Yang terjadi, sebagaimana disindir Franzalber Yoku di atas, mereka hanya mengadakan seminar, menggelar aksi damai (unjuk rasa), pentas seni budaya Papua untuk mendapatkan simpati warga Inggris, sekaligus mencari dana agar bisa hidup enak di negeri asing.

Sebetulnya para aktivis itu tahu bahwa membawa PEPERA ke ranah hukum internasional tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi, dan itu tidaklah mudah. Mengapa? Karena Resolusi PBB 2504 yang dikeluarkan Majelis Umumn PBB tanggal 19 Nopember 1969 merupakan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua. Dan karenanya, setiap upaya untuk memisahkan Papua dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk piagam PBB itu sendiri.

Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Yuwana menulis, yang berhak meminta peninjauan kembali sebuah Resolusi PBB adalah negara anggota atau alat-alat perlengkapan yang ada dalam PBB. PBB merupakan organisasi dimana anggotanya adalah negara. Bahkan untuk melakukan judicial review terhadap resolusi yang dikeluarkan oleh PBB adalah sesuatu yang tidak dikenal. (Hikmahanto Yuwana : ”Status yuridis Pepera di Irian Jaya dalam perspektif Hukum Internasional”).

Sejalan dengan itu, seorang ahli hukum internasional dari Inggris, ND White, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “There is no established procedure in the UN Charter or in the Statute of the ICJ for decisions of the organs of the UN to be reviewed by the Court …” (Tidak ada prosedur yang ditetapkan dalam Piagam PBB atau dalam Statuta ICJ, bahwa keputusan dari organ-organ PBB dapat ditinjau kembali oleh Pengadilan …)

Dalam konteks itu, Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil PEPERA harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa act of free choice telah dilakukan (walaupun dengan sistem perwakilan) dan hasil PEPERA telah diterima dengan baik sebagai suatu hal yang FINAL.

Karena itu, penulis sependapat dengan himbauan Franzalberth Yoku, agar para aktivis jangan lagi membohongi masyararkat Papua.Untuk masalah status politik sebuah wilayah, PBB tidak berurusan dengan asosiasi dan LSM tetapi berurusan dengan negara resmi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline