Lihat ke Halaman Asli

Penyerangan OPM Tidak Terkait Keabsahan PEPERA (bagian 1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak Papua berintegrasike dalam wilayah kedaulatan NKRI tanggal 1 Mei 1963, aksi-aksi penyerangan yang dilakukan kelompok yang menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) nyaris tak pernah berhenti.

Tokoh politik nasional asal Papua, Paskalis Kossay (Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar) telah mencatat secara baik peristiwa-peristiwa penyerangan yang dilakukan OPM sejak wilayah itu berintegrasi ke dalam NKRI. Berikut ini cuplikan tulisannya dalam buku berjudul “Konflik Papua, Akar Masalah dan Solusi” penerbit Tollelegi, Jakarta, terbitan November 2011, hal. 56-64.

Pada bagian pertama ini, saya akan membeberkan riwayat pemberontakan/perlawanan/penyerangan OPM sejak 1964 (pasca integrasi) hingga tahun 1988 sebagaimana catatan Paskalis Kossay tersebut dengan merujuk pada klarifikasi John RG. Djopari (1993:109-115), yang terdiri dari 17 peristiwa besar perlawanan bersenjata, 2 peristiwa penyenderaan, 4 peristiwa demonstrasi massa, 4 peristiwa pengibaran bendra dan juga berbagai aksi penyebaran pamflet atau selebaran yang berisi ajakan maupun provokasi. (detailnya bisa dibaca setelah kesimpulan di bawah ini).

Riwayat panjang penyerangan/perlawanan OPM itu telah membuktikan bahwa :

1.Sebelum PEPERA digelar, perlawanan atau tepatnya pemberontakan OPM sudah terjadi. Tak dapat disangkal bahwa pemberontakan itu adalah ‘hasil’ dari politik devide et impera yang ditanamkan Belanda. Sejak awal 1960 Belanda buru-buru mendirikan partai lokal, membentuk dewan nasional papua untuk mempersiapkan kemerdekaan. Di satu pihak,Belanda kemudian mendirikan ‘negara boneka’ Papua Barat pada 1 Desember 1961, di pihak lain Belanda terlibat dalamperundingan New York (New York Agreement) tahun 1962 yang menyetujui penyerahan wilayah Papua dalam wilayah Kedaulatan NKRI. Elit Papua yang duduk dalam dewan nasional papua tentu saja kecewa karena dikhianati.

2.Alasan aktivis OPM menolak integrasi karena PEPERA 1969 ilegal dengan sendirinya terbantahkan, karena perlawanan terhadap peristiwa politik integrasi itu telah terjadi sebelum PEPERA dilakukan.

3.Argumen yang sama juga berlaku bagi dalih para aktivis Papua bahwa Pemerintah RI kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua. Mengapa? karena setelah adanya kebijakan Otsus pun, perlawanan itu masih tetap terjadi.

4.Maka, perlawanan melalui aksi-aksi penembakan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok OPM, sejatinya adalah GERAKAN SEPARATISME.

5.Sangatlah tidak tepat, jika kekecewaan elit politik Papua atas sikap politik Belanda di masa lalu harus dilampiaskan kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesia yang sejak awal integrasi telah bertekad membangun untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Papua.

Rentetan Peristiwa Penyerangan OPM (1964-1988) :

Peristiwa perlawanan yang dilakukan oleh OPM sudah mencakup di seluruh kabupaten/kota di Papua, yaitu :

1.Peristiwa di Sorong.

Sejak tahun 1964 Terianus Aronggear memproklamasikan kemerdekaan Papua di Ayamaru. Kegiatan OPM selanjutnya dipimpin oleh Samuel Asmuruf, Melky Sallosa, Bernard dan Cornelis Crifelen, Martin Liman, dimana Melky Sallosa kemudian pindan dan aktif melakukan kegiatan OPM di wilayah perbatasan PNG yaitu kecamatan Tanah Merah Merauke. Tahun 1979 Melky Sallosa melarikan diri ke PNG dan mengorganisir aktivitas OPM di sana. Tahun 1988 Melky Sallosa melakukan penyerangan terhadap warga transmigrasi di Arso IV, Arso I dan Arso II yang menelan korban 13 orang mati dan 17 orang lainnya luka-luka.

2.Peristiwa Kebar/Manokwari.

Salah satu pusat Distrik dari Manokwari, dimana tanggal 26 Juli 1965, OPM menyerang pada saat aparat pemerintah sedang melakukan upacara bendera Sumpah Prasetya anggota PUTERPRA dan Pegawai Kehutanan dan Pertanian setempat.

3.Peristiwa Arfai / Manokwari.

Terjadi penyerangan fajar pada tanggal 26 Juli 1965 pukul 04.03 WIT dengan kekuatan lebih dari 400 orang OPM di bawah pimpinan Permenas Ferry Awom menyerang Asrama Yonif 641 Cendrawasih 1 di Arfai.

4.Peristiwa Pos Makbon.

Pada tangga 21 Januari 1968 dengan kekuatan kurang lebih 150 orang OPM dibawah kepemimpinan Daniel Wanma. Menyerang pos militer Makbon, di dalamnya ada sekitar 8 orang TNI AD dan 6 orang anggota Kompi II Yonif 752 Cendrawasih.

5.Peristiwa Pos Sansapor.

Pada tanggal 2 Februari 1968 pukul 16.30 WIT, gerombolan OPM Pimpinan Julianus Wanma dan Davis Prawar, menyerang Pos PUTERPRA dengan kekuatan 200 orang OPM.

6.Perisriwa Pos Irai di Anggi.

Terjadi pada tangga 4 Maret 1968, gerombolan OPM pimpinan Yoseph Indey, menyerang Pos Kompi III/314 Siliwangi. Pertempuran berlangsung secara sporadis hingga tanggal 6 Februari 1968.

7.Peristiwa Erambo di Merauke.

Pada saat menjelang pelaksanaan PEPERA, banyak penduduk Merauke dan sekitar perbatasan melarikan diri ke PNG. Pada tanggal 4 April 1969 ditempatkan team PRAJUDHA / PRASANDHA di Pos Erambo / Kali Maro. Pada tanggal 8 April 1969 pukul 04.00 WIT, Pos Erambo diserang oleh gerombolan OPM dan menewaskan 3 orang anggota prajurit TNI.

8.Peristiwa Dubu di Ubrub Jayapura.

Pada tanggal 5 Juli 1969 di kampung Dubu wilayah kecamatan Ubrub kabupaten Jayapura, terjadi pengeroyokan terhadap Lettu A. Haswi dan anak buahnya oleh gerombolan OPM di bawah pimpinan Bernardus Wally.

9.Peristiwa Enarotali.

Pembrotakan besar-besaran oleh rakyat dimulai dari bulan Februari 1969 dan berakhir pada tanggal 30 Aguustus 1969 yang menelan ribuan korban di pihak rakyat. Hal ini dipicu karena pemindahan ibukota kabupaten Paniai dari Enarotali ke Nabire oleh Bupati Drs. Soerodjo Tanojo.

10.Peristiwa Piramid Jayawijaya.

Terjadi pada tanggal 21 Juli 1969, yaitu pembunuhan dua anggota KODIM 1702 Wamena, Kopka D. Hutadjulu dan Koptu Suwarso. Pembunuhan itu dilakukan oleh rakyat di kampung Alogonik, perstiwa ini didalangi oleh B. Zonggonaw mantan KPS Baliem.

11.Peristiwa Biak Utara dan Biak Barat.

Pada pertengahan 1968 terjadi pemberontakan di Biak Utara dipimpin oleh JanPiter Karma denganmenyerang pos ABRI di Korem serta bebrapa pos lainnya di wilayah Biak Utara.

Pada bulan April 1969 pemberontakan selanjutnya dipimpi oleh Melkianus Awom dan Nataniel Awom, melakukan aksi-aksi penyerangan terhadap pos TNI dan melakukan aksi-aksi pengibaran bendera bintang Kejora di gunung-gunung di wilayah Biak Barat maupun Biak Utara.

12.Peristiwa pada saat PEPERA.

Pada saat pelaksanaan PEPERA, terjadi beberapa insiden berupa protes maupun demonstrasi massa yaitu, di Merauke pada tanggal 14 Juli 1969, di Nabire pada tanggal 19 Juli 1969, di Fakfak pada tanggal 23 Juli 1969, dan di Manokwari pada tanggal 29 Juli 1969. Aksi-aksi tersebut segera diantisipasi oleh pihak keamanan sehingga tidak meluas dan pihak pelaku aksi segera ditahan.

Sebelum PEPERA diselenggarakan, pada tanggal 24 Juni 1969 pihak intelijen keamanan Indonesia menangkap basah seorang warga negara Belanda Pegawai FUNDWI yang bernama Hans Raift yang ikut berkomlot dengan OPM dalam suatu rapat gelap di Jayapura. Pada saat itu disita dokumen yang berisi antara lain :

1)Hasutan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap Ortiz Sanz dan Sarwo Edhi Wibowo, dan

2)Hasutan untuk melakukan sbotase terhadap jalannya PEPERA.

13.Peristiwa Merauke.

Sebagai lanjutan dari berbagai bentuk perjuangan dari OPM, maka di Merauke pada tahun 1972 dibentuklah gerakan yang bernama “ Gerakan Nasional Papua” (GENAPA), Natural Papua Nasional(NAPAN), Piagam Masyarakat Papua Merdeka (PMPM) dan Santa Perawan Maria (SPM). Berbagai gerakan atau organisasi tersebut dipimpin oleh Petrus Kmur, Isak Rumawak, Karel Rumawir, dan E.P. Ius. Aksifitas utama mereka adalah menanamkan ideologi OPM kepada rakyat, menyebarkan pamflet denga isi anti Indonesia.

Selanjutnya mulai tahun 1975 kegiatan OPM di Merauke dipimpin oleh B. Mawen, dengan tugas utama adalah mengajak / menghasut rakyat sekitar perbatasan untuk menyerang pos-pos TNI lalu melakukan lintas batas ke PNG. Aksi-aksi ini cukup efektif dilakukan sampai dengan pertengahan tahun1980-an.

14.Peristiwa di Nabire dan Serui.

Pada tahun 1971 di Nabire kegiatan OPM dipimpin oleh Julian Yap Marey dan Jason Marey,BA, dengan aksi masuk hutan beserta para pengikutnya untuk melakukan penyerangan pos-pos TNI yang ada.

Selanjutnya pada tahun 1975 terungkap suatu aksi OPM di Serui yang membuat “Pernyataan Rakyat Yapen Waropen” untuk membentuk dan mempertahankan negara Papua. Pernyataan itu ditanda tangani oleh enam orang, yaitu S. Satya, Y.Ch. Mirino, P. Muabuay, A.M. Tewa, P.J. Pedai, dan W. Rum (Bendahara).

15.Peristiwa di Jayawijaya.

Menjelang pemilihan umum tahun 1977 terjadilah suatu gejolak politik yang sering disebut orang gejolak sosial, pemberontakan OPM yang dipimpin oleh Alex Derey dan Matias Tabuni. Peristiwa itu berawal dengan penyerangan terhadap pos pemerintahan dan pos Gereja Kristen Injil (GKI) di Pagai pada tanggal 7 April 1977 oleh OPM pimpinan Matias Tabuni. Dalam penyerangan itu OPM merampas senjata api milik petugas Gereja dan logistik Pemilu.

Pada tanggal 13 April 1977 OPM di bawah pimpinan Boas Wanimbo menguasai kampung Pirime kecamatan Tiom didukung oleh 200 orang memaksa rakyat masuk hutan untuk menyerang ABRI. Tanggal 20 April 1977 OPM pimpinan Alex Derey menyerang pos militer Kobakma dan menewaskan Kopral Rochim dan melukai dua anggota lainnya.

Tanggal 21 April 1977 pos Makki dikuasai oleh OPM dan pada waktu pos polisi Piramid di serang, menewaskan komandan posnya Letnan Dua Safrin. Pada tanggal yang sama pula pos Pitriver dikuasai OPM. Tanggal 26 dan 27 April 1977, OPM menyerang di kampung Wusilimo dan Kimbim karena dianggap Pro Pemerintah Indonesia.

Tanggal 28 April 1977 pos Karubaga di serang, pesawat terbang IAT (Indonesia Air Transport) dirusak dan lapangan terbang ditutup. Pada tanggal yang sama juga, pos Tiom dikuasai OPM. Pemberontakan di Jayawijaya berlangsung hingga April 1978 dengan menelan ribuan korban nyawa dipihak rakyta, OPM dan TNI/Polri.

16.Peristiwa di Jayapura.

Pada tahun 1978 Marten Tabu dan para pengikutnya melakukan pemberontakan di Kabupaten Jayapura dengan menyerang pos-pos TNI di wilayah perbatasan Keerom dan penyanderaan terhadap aparat Pemerintah. Pada tanggal 16 Mei 1978 dalam suatu taktik jebakan di kampung Aurina Kecamatan Kaureh, Marten Tabu menyandera Komandan Korem 172 Kolonel Ismael, Asintel Kodam XVII Cendrawasih Letkol. Fajar Admiral, Ketua DPRD Provinsi Irian Jaya(sekarang Papua) Pendeta Willem Maloali, Pastor Aloysius Umbos, Pengusaha Frans Leo. Aksi penyanderaan ini berlangsung selam 4 bulan. Kemudian pada tanggal 25 September 1978 sampai 9 Mei 1979, Marten Tabu menyandera Camat Arso ketika itu Billy W. Jamlean, BA. Aksi-aksi pemberontakan OPM di bawah pimpinan Marten Tabu ini berakhir tahun 1979.

Pada tanggal 4 Agustus 1980 sekitar pukul 06.45 WIT, enam orang wanita mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Kantor Gubernur Irian Jaya(sekarang Papua) yang dipimpin oleh Maria Jakadewa dan Bendera itu sampai berkibar selam 30 menit sebelum diturunkan oleh patroli Polisi.

Dalam bulan Maret 1981, ada sebuah petisi yang ditanda tangani oleh 50 orang dan diserahkan kepadaGubernur Irian Jaya, berisitiga butir yang antara lain menolak hasil PEPERA 1969 karena tidak sesuai denganAct of Free Choice (satu orang satu suara) serta mendukung perjuangan untuk kemerdekaan Papua

Pada tahun 1980 Elieser S. Awom (anggota Brimob), memutuskan untuk masuk hutan , membantu OPM, menyerang pos-pos TNI dan Polri yang ada di daerah terpencil. Awom menempatkan markasnya di Kecamatan Pantai Barat dan Pantai Timur dan dalampetualangannya cukup memakan korban jiwa. Akhirnya Awom menyerah kembali pada tahun 1989.

Pada tanggal 3 Juli 1982, sembilan Mahasiswa Univrsitas Negeri Cendrawasih Jayapura melakukan aksi menaikan bendera OPM di depan kantor camat Abepura dan mereka membacakan pernyataan proklamasi negara Papua dan mereka langsung ditangkap oleh aparat keamanan.

17.Aksi Lintas Batas.

Lintas Batas dengan tujuan politik sebenarnya sudah terjadi sejak awal integrasi Papua dengan Republik Indonesia pada tahun 1963, namun belum ada catatan yang pasti tentang berapa jumlah penduduk Papua yang menyebrang ke PNG. Baru kemudian, setelah selesai PEPERA, barulah penduduk Papua pendukung OPM atau simpatisannya yang meras tidak aman memutuskan untuk pindah menyebrang ke PNG.

Puncak pengungsian atau penyebrangan ini terjadi selama tahun 1984 dimulai pada awal Februari 1984 dimana sekitar 300 penduduk Papua tiba di Vanimo, ibu kota Provinsi West Sepik, PNG. Mereka melarikan diri sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan pemberontakan OPM di Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura, Merauke, Jayawijaya, Biak Numfor, Serui dan Sorong. Hingga akhir April 1984 jumlah pengungsi menjadi 6000 orang dengan mayoritas dari wilayah selatan yaitu Mindiptanah, Tanah Merah, Waropko, Muting dan Merauke.

18.Arnol AP dan Nasionalisme Papua bersimbol Budaya adalah seorang tokoh budayawan Papua, bekerja sebagai Kepala Kurator Museum Universitas Cendrawasih Jayapura. Arnol Ap membentuk sebuah kelompok musik Mambesak yang menyuguhkan lagu-lagu daerah sebagai simbol perjuangan membangkitkan Nasionalisme Papua. Arnol kemudian ditahan oleh Kepolisisan dan meninggal tahun 1984.

19.Thomas Wanggai dan Proklamasi Malenesia Barat.

Pada tanggal 14 Desember 1988 sekitar pukul 14.00 WIT kurang lebih 60 orang laki-laki maupun perempuan di stadion olahraga Mandala Jayapura menghadiri upacara pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Republik Malenesia Barat di bawah pimpinan Dr. Thomas Wanggai yang mengaku dirinya sebagai Presiden Republik Malenesia Barat. (Bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline