Lihat ke Halaman Asli

Dokumen Resmi PBB tentang Sejarah Integrasi Papua (Bagian 3)

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13290717582011081652

[caption id="attachment_160783" align="aligncenter" width="458" caption="Pengibaran Bendera Merah Putih di Markas PBB Tahun 1950. (Dok. Kemenlu RI)"][/caption]

Catatan Pengantar :

Mencermati perkembangan gejolak Papua saat ini, ternyata tidak semata-mata dilatari kekecewaan para aktivis Papua merdeka atas ketertinggalan pembangunan di Tanah Papua dalam berbagai aspek. Buktinya, jika benar itu penyebabnya, mestinya dengan gencarnya perhatian Pemerintah Pusat melalui Otonomi Khusus dan pelibat-gandaan dana yang dikucurkan untuk membangun wilayah itu dalam 10 tahun terakhir, gejolak itu akan hilang, atau setidaknya berkurang.

Tapi faktanya? Tuntutan merdeka dan aksi-aksi gerilyawan bersenjata justru meningkat berbanding lurus dengan perhatian Negara dan besarnya dana yang dikucurkan. Gerakan para aktivis Papua saat ini tidak lagi hanya sekedar bermain di permukaan dengan aksi-aksi damai, long march, dan demo jalanan, tetapi telah merangsek ke “akar pohon”. Yakni, gerakan mengembalikan status politik wilayah Papua ke titik nol, lalu meminta REFERENDUM.

Untuk itu maka sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI harus digugat. Karena menurut mereka, peristiwa politik internasional terkait integrasi Papua yang terjadi sejak tahun 1949 (Konverensi Meja Bundar), New York Agreement 1962, PEPERA 1969 hingga Sidang Umum PBB 19 November 1969 yang menghasilkan Resolusi No. 2504 adalah ilegal, dan karenanya harus digugat ke Mahkamah Internasional.

13290727001322857185

Untuk tujuan itu, tahun 2008 lalu mereka telah membentuk perkumpulan pengacara internasional (International Lawyer for West Papua / ILWP) yang bermarkas di London, menggalang dukungan parlemen dari berbagai negara (International Parliement for West Papua / IPWP) serta meningkatkan aktivitas gerakan di Tanah Papua melalui sayap politik (antara lain melalui pembentukan parlemen daerah) dan sayap militer (TPN-OPM).

Kita ingat, beberapa hari yang lalu di Pengadilan Negeri Jayapura, Forkorus Yaboisembut, terdakwa kasus makar yang dipilih menjadi ‘presiden negara federasi papua barat’ oleh sebuah forum yang mereka sebut konverensi rakyat papua-III, kepada wartawan yang meliput sidang itu mengatakan bahwa dirinya memiliki 35 pengacara dalam dan luar negeri. Di antaranya ada enam pengacara internasional yang bermarkas di Brussel. Tugas pengacara internasional itu adalah memberitahukan dan mendaftarkan negara Federal Republik Papua Barat (yang diproklamirkan oleh Forkorus dkk pada 19 Oktober 2011 itu) ke PBB, serta menggugat aneksasi negeri Papua Barat ke Mahkamah Internasional. http://zonadamai.wordpress.com/2012/02/09/negara-papua-telah-didaftarkan-ke-pbb/

Kita tidak tahu dokumen sejarah mana yang akan mereka gunakan untuk mendukung dalil hukum mereka di Mahkamah Internasional kelak. Namun sebagai bangsa, kita percaya bahwa Pemerintah Negeri ini dengan semua perangkat yang dimilikinya, tidak akan tinggal diam untuk menjaga KEDAULATAN wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampau ke Rote. Bagi kita, bergabungnya wilayah Papua ke dalam NKRI adalah melalui proses integrasi yang demokratis serta sudah sesuai mekanisme hukum internasional yang berlaku saat itu. Dan itu sama sekali jauh berbeda dengan apa yang mereka tuduhkan sebagai aneksasi.

Agar kita tidak terjebak dalam skenario “bualan politik” para aktivis Papua, berikut ini saya bagikan dokumen resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang sejarah integrasi (bukan sejarah aneksasi) Papua ke dalam NKRI, yang saya copas dari situs resmi PBB : http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html

Mengingat panjangnya dokumen tersebut, saya akan turunkan secara bertahap sebagai bahan referensi para Kompasianer, sekaligus untuk menjaga semangat nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang sudah 67 tahun berdaulat yang bernama Republik Indonesia.

Dua bagian terdahulu dapat dibaca di :

http://politik.kompasiana.com/2012/02/11/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1/

http://politik.kompasiana.com/2012/02/12/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-2/

Transfer of administration to Indonesia

1329072826275285452

In accordance with article XII of the agreement, the UNTEA Administrator transferred full administrative control to the representative of the Indonesian Government, Mr. Tjondronegoro, on 1 May 1963. The ceremony was performed in the presence of the Chef de Cabinet as the Secretary-General's personal representative for the occasion, and the Indonesian Foreign Minister. At that time, the United Nations flag was taken down.

Secretary-General's observations

On the completion of UNTEA, the Secretary-General declared that it had been a unique experience, which had once again proved the capacity of the United Nations to undertake a variety of functions, provided that it received adequate support from its Member States. He also announced that, in consultation with Indonesia, he had decided in principle to designate a few United Nations experts, serving at Headquarters and elsewhere, to perform the functions envisaged in article XVII of the agreement, in so far as the article required that the Secretary-General advise, assist and participate in arrangements which were the responsibility of Indonesia for the act of free choice. Those experts would visit West Irian as often as necessary and spend as much time as would enable them to report fully to him, until he appointed a United Nations representative to preside over them as a staff.

Looking to the future, the Secretary-General stated that he was confident that Indonesia would scrupulously observe the terms of the 1962 agreement, and would ensure the exercise by the territory's population of their right to express their wishes as to their future.

Implementation of the 1962 agreement

In accordance with the Indonesia-Netherlands agreement, the Secretary-General on 1 April 1968 appointed a representative, Mr. Fernando Ortiz-Sanz, to advise, assist and participate in arrangements which were the responsibility of Indonesia for the act of free choice, on retaining or severing ties with Indonesia.

In a report submitted to the Secretary-General, the Government of Indonesia stated that between 14 July and 2 August 1969, the enlarged representative councils (consultative assemblies) of West New Guinea (West Irian), which included 1,026 members, were asked to pronounce themselves, on behalf of the people of the territory, as to whether they wished to remain with Indonesia or sever their ties with it. All those councils chose the first alternative without dissent.

The representative of the Secretary-General reported that within "the limitations imposed by the geographical characteristics of the territory and the general political situation in the area, an act of free choice has taken place in West Irian in accordance with Indonesian practice, in which the representatives of the population have expressed their wish to remain with Indonesia".

Those reports were transmitted by the Secretary-General to the General Assembly, which, by resolution 2504 (XXIV) of 19 November 1969, acknowledged with appreciation the fulfilment by the Secretary-General and his representatives of the task entrusted to them under the 1962 agreement.

Sumber : http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline