Lihat ke Halaman Asli

Mencermati Usulan Pembentukan Gubernur Jenderal di Papua

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1393920744990610860

[caption id="attachment_298479" align="aligncenter" width="500" caption="Gubernur Papua Lukas Enembe saat pelantikan (Foto: Jubi)"][/caption]

Perkembangan penanganan masalah Papua belakangan ini menarik untuk dicermati. Ketika pemerintah sedang fokus menangani persoalan kesejahteraan yang selama ini dinilai menjadi tuntutan riil masyarakat Papua, tiba-tiba para elit politik Papua muncul secara mengejutkan dengan format politik baru. Yaitu usulan dibentuknya Gubernur Jenderal.

Usulan itu tertuang dalam draf revisi UU tentang Otonomi Khusus Papua (UU No.21 Tahun 2001). Disebutkan bahwa tugas Gubernur Jenderal adalah mengkoordinasikan pemerintahan di Papua. Hal ini mengingat akan dibentuk beberapa provinsi pemekaran sehingga para gubernur di wilayah otonomi khusus Papua nantinya bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal juga berwenang membentuk lembaga peradilan adat dan peradilan umum, serta memilih dan mengangkat anggota legislatif. http://www.gresnews.com/berita/politik/91443-ada-usul-pembentukan-gubernur-jendral-di-revisi-uu-otsus-papua/

Selain mengejutkan, usulan ini juga terasa janggal karena memang tidak ada sistem pemerintahan Indonesia. Itu hanya terjadi di masa lalu, ala Pemerintahan Belanda.

Tentu saja usulan itu tidak akan ditanggapi Pemerintah pusat. Dalam rapat kerja Tim Pemantau Otsus papua dan Aceh DPR RI beberapa waktu lalu, mereka tetap fokus membahas masalah kesejahteraan. 60 persen angka kemiskinan di Papua itu jauh lebih urgen ditangani daripada mengurusi persoalan kekuasaan.

DPR RI tentu sudah memperhitungkan, dengan kewenangan sebesar itu, jika revisi UU Otsus itu disetujui, sama saja memberikan peluang kepada Gubernur Jenderal Papua untuk meminta referendum. Akalan-akalan para elit politik Papua itu tentu sangat mudah tercium. Ketika kemiskinan yang mestinya menjadi agenda utama untuk diatasi, mereka justru sibuk memikirkan kekuasaan. Apalagi dalam draf revisi itu, para elit Papua menyertakan pasal berisi ancaman, jika tidak disetujui mereka akan meminta referendum. http://regional.kompasiana.com/2014/01/21/pertama-di-indonesia-draf-ruu-disertai-ancaman-referendum-626271.html

Kearifan Lokal

Akan lebih bagus jika para elit politik Papua lebih fokus mengimplementasikan berbagai nilai kearifan lokal untuk mendukung percepatan pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua. Seperti denda adat yang jauh lebih berat ketimbang sanksi pidana untuk menekan angka tindak kriminal di Papua.

Mereka juga bisa menggali nilai-nilai kearifan lokal lainnya yang pernah hidup di masa lalu pada sejumlah kerajaan di Papua Barat. Di wilayah itu (khususnya di Fakfak dan Kaimana) pernah hidup sembilan kerajaan yang memiliki aturan-aturan adat yang hingga kini masih dijaga sebagai kearifan lokal oleh masyarakat setempat. http://zonadamai.com/2014/03/03/menjaga-situs-situs-kerajaan-di-papua-barat/

Kepada para elit politik Papua kita hanya bisa berharap, berhentilah berpolitik busuk yang ujung-ujungnya hanya akan menambah ketegangan dengan Pemerintah pusat. Adalah tugas pemerintah di negara manapun untuk mempertahankan wilayah kedaulatan negaranya. Mari kita arahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan terus membangun bagi kesejahteraan Papua. Masyarakat Papua butuh peningkatan ekonomi agar taraf hidupnya lebih baik. Mereka butuh pelayanan kesehatan yang baik, pendidikan yang bermutu untuk anak-anaknya agar bisa bersaing di era globalisasi saat ini. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline