Lihat ke Halaman Asli

Membangun Papua dari Wamena

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421293337610029662

[caption id="attachment_346441" align="aligncenter" width="516" caption="pemandangan di Lembah Baliem, Wamena (joenjo-tours.com)"][/caption]

*) Sebuah pemikiran alternatif untuk membenahi pembangunan di Tanah Papua di masa damai

"Tujuan akhir pembangunan di mana pun adalah kenyataan hidup aman, adil, dan sejahtera bagi mereka yang hidup di kampung-kampung terpencil, yang jauh dari pusat pengelolaan kekuasaan, kebijakan, program dan keuangan. Kondisi kehidupan masyarakat kampung yang paling terpencil inilah yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan sebuah bangsa."


Seorang rekan pastor Katolik setengah baya yang pernah bertugas cukup lama di Wamena pada suatu ketika menuturkan kepada saya, Papua harus dibangun dari gunung. Pastor itu tidak menyebut Wamena tetapi dalam benak saya, ‘gunung’ yang dimaksudkannya adalah Wamena sebagai daerah prioritas, mengingat pusat pelayanan pastoral rekan saya itu berbasis di Wamena.

Selain itu, Wamena yang merupakan ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu adalah satu-satunya kota terbesar yang terletak di pegunungan tengah Papua. Perkembangan pembangunan di Wamena hanya menonjol di seputar Bandara, mengikuti pola perkembangan bandara yang menghubungkan kota dingin ini dengan ibu kota Provinsi Papua, Jayapura.

Jika Papua harus dibangun mulai dari gunung –demikian saya berargumen sendiri atas pernyataan inspiratif rekan Pastor tadi- berarti sejak zaman Belanda dahulu hingga kini, Papua sudah mengalami salah urus, salah atur, dan salah kelola.

Kenapa? Karena prioritas pembangunan di Papua selama berpuluh-puluh tahun terus terpusat di kota-kota pantai sehingga tak heran kalau saat ini Jayapura jadi kumuh dengan bangunan-bangunan rumah warga yang terkesan asal ‘nempel’ di sisi tebing, jalanan sering macet, bahkan mulai sering dilanda banjir dan tanah longsor. Saya kira kondisi yang sama cepat atau lambat akan terjadi juga di Sorong, Manokwari, Bintuni, Nabire bahkan Merauke.

14212935181968753581



Coba lihat Timika. Kalau saja tidak ada tambang emas di sana mungkin nasibnya jauh lebih buruk dari Ilaga, Mulia, Tingginambut, Yahukimo, Yalimo dll. Maka benar kata rekan pastor tadi, bangun dulu wilayah pegunungan atau wilayah pedalamannya, maka daerah pesisir dengan sendirinya akan terkena dampak kemajuan dari gunung.

Kalau di masa Belanda, membangun kota pantai mungkin karena pertimbangan strategi pertahanan untuk mengamankan Papua sebagai daerah jajahannya dari gangguan sesama penjajah lainnya. Lagi pula, Negeri Belanda yang luasnya tak sebanding dengan Indonesia sebagiannya berbatasan dengan laut dan dialiri banyak sungai. Jadi habitatnya memang tak bisa jauh dari laut dan air.

Lantas, kenapa Indonesia yang membangun Papua di masa damai sepertinya stagnan di sekitar pesisir? Akibatnya mereka yang tinggal di pegunungan berbondong-bondong turun ke pantai hingga kota-kota pantai jadi sumpek. Dan wilayah pedalaman jadi terlupakan dan terus tertinggal dari masa ke masa.

[caption id="attachment_346445" align="aligncenter" width="495" caption="Presiden Jokowi berdialog dengan warga Wamena (Foto: Setgab.go.id)"]

1421293579893018666

[/caption]

Akibatnya, wilayah pegunungan Papua terus bergejolak. Kemasannya adalah minta merdeka. Lalu pemerintah atas nama menjaga kedaulatan NKRI meresponnya dengan mengirim pasukan keamanan. Padahal sesungguhnya minta merdeka itu hanyalah bahasa lain dari perasaan kecewa yang terungkap ke permukaan lantaran daerah mereka seakan terlupakan dalam pembangunan.

Sebuah catatan dari perjalanan jurnalistik para pengelola Tabloid ‘Suara Perempuan Papua’ pada November 2008 menulis: tujuan akhir pembangunan di mana pun adalah kenyataan hidup aman, adil, dan sejahtera bagi mereka yang hidup di kampung-kampung terpencil, yang jauh dari pusat pengelolaan kekuasaan, kebijakan, program dan keuangan. Kondisi kehidupan masyarakat kampung yang paling terpencil inilah yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan sebuah bangsa. (“Dari Kampung ke Kampung, Perjalanan Jurnalistik Suara Perempuan Papua”, Kata Pengantar, Jayapura, 2009, hal. iv).

Barangkali dalam konteks inilah Presiden Jokowi di awal masa pemerintahannya memutuskan datang ke Papua dan blusukan ke Wamena pada 28 Desember 2014 lalu. Ia panggil bapak-bapak yang memakai koteka dan menanyakan apa keinginan mereka. Ternyata mereka tidak meminta merdeka, tetapi minta dibangunkan jalan, sekolah, puskesmas, dan anak-anaknya bisa disekolahkan hingga ke luar negeri. Itu bukan permintaan yang aneh yang patut dicemooh. Mereka tahu apa yang mereka minta. Mereka ingin Wamena maju seperti Jayapura, Sorong, Manokwari atau seperti daerah lainnya di Indonesia. Tetapi tanpa infrastruktur jalan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan, kemajuan yang diinginkan mustahil bisa dicapai. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline