Lihat ke Halaman Asli

Transformative Learning dalam Pembelajaran Orang Dewasa

Diperbarui: 18 Mei 2022   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk selalu belajar dan belajar. Dalam agama pun dikatakan bahwa kita sebagai manusia wajib menuntut ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat. Namun, dalam dunia yang dinamis ini, di mana ilmu pengetahuan akan selalu berkembang merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk menentukan apa yang kita butuhkan dan apa yang harus kita pelajari. Ini menjadikan konsep unlearn dan relearn sebagai proses belajar yang krusial bagi manusia abad 21. 

Unlearning sesuatu diibaratkan seperti software yang harus selalu diperbarui. Sebagaimana software, kita sebagai manusia juga harus selalu memperbarui diri dengan memperkaya ilmu dan melepaskan apa yang sudah tidak lagi relevan. Semakin banyak kita unlearning sesuatu, semakin besar kemungkinan kita untuk bisa terus belajar dan bertumbuh. Karena kita tidak akan mungkin belajar hal baru tanpa unlearning. 

Dalam kajian pendidikan orang dewasa, konsep unlearn dan relearn ini serupa dengan konsep transformative learning. Transformative learning adalah proses menentukan tindakan dengan mengonstruk ulang perspektif yang diyakini sebelumnya dengan perspektif baru yang diperoleh melalui pengetahuan dan pengalaman baru individu terkait. Baik dalam proses unlearn dan relearn maupun transformative learning dibutuhkan kemampuan berpikir yang lebih kritis untuk menganalisis dan mengevaluasi pemahaman yang selama ini diyakini agar dapat memastikan jika pemahaman tersebut sudah tidak relevan sehingga diperlukan suatu pengetahuan baru. 

Dalam artikel berjudul “An Update of Transformative Learning Theory: A Critical Review of the Empirical Research (1999-2005)” yang ditulis oleh Edward W. Taylor. Disebutkan bahwa pada proses belajar transformative, orang dewasa didorong untuk berpikir kritis ketika menghadapi situasi yang memerlukan refleksi mendalam. Menurutnya teori transformative learning merupakan teori yang sebanding dengan teori andragogi. Bahkan teori transformative learning bisa saja menggantikan teori andragogi yang selama ini sudah sangat melekat dengan proses pembelajaran orang dewasa. 

Anggapan jika teori transformative learning adalah teori yang pas untuk diaplikasikan pada pembelajaran orang dewasa dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarah Gravett dengan judul penelitian “Action Research and Transformative Learning in Teaching Development”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan transformative learning memberikan dampak positif yang signifikan pada diri guru. Ini ditunjukkan saat mereka melaksanakan workshop untuk mengembangkan teknik belajar yang tepat bagi siswa di kelas. Para guru sadar bila pendekatan dalam mengajar yang selama ini digunakan sudah tidak mendukung lagi untuk terus diimplementasikan. 

Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian berjudul “Transformative Learning Theory, Public Involvement, and Natural Resource and Environmental Management” yang ditulis oleh Alan Diduck, dkk. Penelitian ini mengungkapkan jika penerapan transformative learning dapat meningkatkan partisipasi individu dalam kelompok dan dalam kegiatan sosial. Salah satunya ditunjukkan dengan partisipasi anggota dalam menentukan keputusan melalui proses berpikir kritis. 

Namun, proses transformative tidak selalu berakhir positif. Sebagai proses berpikir, berpikir transformative bisa juga mengarah pada hal negative. Dalam artikel yang ditulis Alex S. Wilner & Claire-Jehanne Dubouloz, berjudul “Homegrown terrorism and transformative learning: an interdisciplinary approach to understanding radicalization”. Dijelaskan bagaimana kita dapat menggunakan perspektif transformative learning untuk memahami proses terjadinya radikalisasi dan terorisme. Artikel ini menyebutkan jika terorisme yang terjadi di negara-negara barat terjadi karena imigran Muslim gagal berintegrasi dengan masyarakat setempat. Selain itu pengalaman diskriminasi, viktimisasi*, dan xenophobia* turut andil dalam terjadinya radikalisme. Karena hal inilah akhirnya mereka mencari individu lain yang memiliki pemikiran sama untuk bergaul. Perlu diketahui jika individu-individu tersebut adalah mereka yang telah melalui atau sedang melalui proses transformasi serupa. Dengan validasi berbasis teman sebaya, transformasi perspektif mereka seolah diperkuat. 

Oleh karena itu, dalam proses berpikir hendaknya kita juga melibatkan emosi (perasaan) agar kita tidak mudah didayagunakan oleh pikiran sendiri. Seperti apa yang disampaikan dalam artikel berjudul “Transformative learning theory: a neurobiological perspective of the role of emotions and unconscious ways of knowing” yang ditulis oleh Edward W. Taylor. Dalam artikel ini dijelaskan jika emosi (perasaan) dan rasionalitas (akal) memiliki hubungan yang saling ketergantungan dalam transformative learning. Itulah mengapa saat melakukan refleksi kritis kita tidak bisa hanya mengandalkan akal tetapi kita juga harus menggunakan perasaan karena perasaan menunjukkan kepada kita arah yang tepat. Dengan begitu refleksi diri yang dilakukan dapat lebih substantive. 

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan jika penerapan teori transformative learning dalam pembelajaran orang dewasa dapat memicu kita untuk terus belajar dan berpikir. Dengan berpikir transformative kita jadi bisa menentukan prioritas kita; apa yang kita butuhkan untuk dipelajari dan apa yang sudah tidak kita butuhkan lagi. Menerapkan transformative learning juga dapat melatih kita untuk berpikir dengan menggunakan akal dan perasaan, dan menyeimbangkan penggunaan keduanya. 

*viktimisasi adalah suatu proses penimbulan korban yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain, misalnya viktimisasi yang disebabkan oleh kriminal kekerasan dan hal lainnya. Viktimisasi menyebabkan penderitaan pada korban, baik secara fisik maupun psikis atau mental. 

*xenophobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan ekstrem terhadap orang asing, adat istiadat, agama, dan lain-lain. Xenophobia biasanya percaya bahwa budaya atau bangsanya lebih unggul, ingin menjauhkan imigran dari komunitasnya, dan bahkan mungkin melakukan tindakan yang merugikan mereka yang dianggap sebagai orang luar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline