Dalam sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia,penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menjadi semacam bahaya laten. Penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi dari ekskutif pusat sampai eksekutif tingkat desa.
"Abuse of power" sebagai terminologi yang sangat populer dewasa ini menjadi semacam diskursus yang terus menggelinding. Bila dirunut arti istilah tersebut, banyak pakar yang memberikan definisi. Namun saya akan mengambil penjelasan salah satu dari beberapa ahli.
Mengutip catatan di media Kumparan, "Abuse of Power" adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk mencapai kepentingan tertentu dan dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain(Yopie Maria dalam buku 'Sendi-Sendi Hukum Konstitusional' karya Dr. Hotma P. Sibuea dan Dr. Hj.Asmak Ul Hasnah).
Berbicara kekuasaan/eksekutif tidak terlepas dari sebuah sistem dan subsistem yang bekerja dan saling berkait. Kekuasaan disalahgunakan ataupun diselewengkan tidak saja oleh pemimpin eksekutif tapi juga oleh pembantu/bawahan sebagai sistem kekuasaan yang bekerja.
Abuse of power melahirkan perbuatan melawan hukum seperti korupsi, kolusi, nepotisme,dan turunannya. Penyalahgunaan kekuasaan negara-negara demokrasi dunia termasuk di Indonesia biasanya disebabkan oleh beberapa faktor semisal tidak berjalannya Trias Politica sebagaimana mestinya. Atau pemimpin eksekutif tidak kompeten yang lahir dari produk pencitraan yang dimarketing oleh partai politik
Kemandekan Trias Politica tidak terjadi dengan sendirinya. Gerakan ini dilakukan pemimpin tertinggi eksekutif melalui penggembosan lembaga yudikatif dan legislatif(Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam buku "How Democracies Die").
Akibatnya seperti yang terjadi di Indonesia, sepuluh tahun terakhir lolosnya berbagai UU kontroversi tanpa proses panjang di parlemen. Menteri-menteri banyak terjerat kasus korupsi. Puncaknya intervensi Mahkamah Konstitusi melalui drama Paman Usman.
Bila dikorelasikan dengan pemerintahan desa khususnya di Kabupaten Lombok Tengah akan ditemukan benang merahnya. Beberapa Kades terpilih tidak kompeten. Mereka hanya mengandalkan kekuatan finansial dan pencitraan. Manakala menjabat mereka sekadar jual muka di kantor desa.
Jika eksekutif tingkat pusat menggembosi legislatif melalui kursi empuk koalisi (jatah menteri) maka di tingkat pemerintahan desa melalui penunjukan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang biasanya terdiri orang-orang dekat dan atau perpanjangan tangan Kepala Desa.