Ramadhan satu pekan berlalu. Kita berkepompong selama lebih kurang satu bulan. Mendetoksifikasi diri dalam rahim puasa. Menjaga seluruh anggota badan dari hal-hal yang dapat mengurangi kadar pahala puasa kita.
Anggota badan yang paling rese pada era sekarang adalah dua jari jempol dan jari tangan kita. Betapa sebelum puasa jemari kita telah menjelajah pelbagai hal dan terkadang mengomentari atau menshare sebuah postingan.
Aktivitas tersebut tanpa sadar menjejali alam bawah sadar kita. Menscrol, menskip, atau menekuni sebuah postingan di sosial media membuat terkadang membuat lena. Kita menjadi kehilangan prinsip ataupun nilai diri.
Melihat dan menekuri postingan seseorang, apalagi yang kita kenal terkadang terbesit teori perbandingan. Membandingkan diri dengan konten postingan. Entah itu objek yang kita amati sekilas atau saksama semisal sedang liburan, pamer punya mobil baru, punya motor baru dan sebagainya.
Pada saat bersamaan alarm perbandingan kita berbunyi. "Wah, seandainya, hiks, begini, begitu dan seterusnya" pada situasi ini kita telah mencerabut nilai diri kita secara perlahan. Bagaimana nilai diri? Ada standar diri terhadap sesuatu yang kita nyaman dalam segala hal tanpa intervensi dari pihak luar. Nah, intervensi eksternal ini biasanya terbentuk dari mejeng kita di depan sosial media.
Fenomena tersebut saya tamsilkan dengan nongkrong pada era kiwari. Zaman kebohongan, kepalsuan, atau bahasa kasarnya kemunafikan kita pertontonkan dan dianggap sebagai kebenaran. Pada ramadhan kemarin aktivitas nongkrong depan sosmed berkurang. Kalaupun jemari kita menulis atau menshare postingan kecuali yang bermanfaat.
Seturut dengan itu, sebisa mungkin saya yang fakir mengupayakan mengalihkan budaya scroll dan mengamati objek di sosmed dengan menulis, baik puisi, qoutes, ataupun catatan. Mencermati fenomena saya jadi teringat nasihat orangtua dulu mengenai larangan nongkrong.
Seiring kita banyak belajar, kita jadi tahu nasihat lama bersumber dari syara'. Dalam sebuah hadis sahih yang artinya "Hendaklah kalian menjauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Para Sahabat berkata: "Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap". Rasulullah SAW berkata: "Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan". Sahabat bertanya: "Apakah hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak bisa tidak, ketika nongkrong kita akan terjebak pada dua pilihan. Pertama mengamati, atau memandang sekilas. Kedua mengomentari objek. Namun kedua aktivitas tersebut dapat diredam dengan dua aktivitas sesuai hadis tersebut di atas yaitu, Pertama menundukkan pandangan, kedua, diam tak berkomentar.
Pasca ramadhan, kembal pada kita, apakah nongkrong gaya baru terus meningkat? Ataukah sebaliknya. Allahu'alm