Secara harfiah kata "Bangun" berarti; bangkit,berdiri dari duduk atau tidur (KBBI) . Sedangkan kata "Bangsa" menunjuk pada arti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat istiadat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Sesuai makna kata tersebut dapat diturunkan satu definisi. Kata "Bangun" bersufiks "lah" dan kata "Bangsa" dirangkai dengan promina kepemilikan "ku" berarti; pengharapan kepada bangsaku agar dapat bangkit/bangun dari keterpurukan dalam arti luas.
Terminologi kata yang selalu diulang-ulang mengandung makna penekanan yang harus dicapai. Dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya yang saban Upacara Bendera dikumandangkan tertera kalimat; "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya". Penekanan pada kata "Bangunlah" juga merujuk pada makna kalimat perintah pada seorang (penyelenggara negara) yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Proses yang terus berjalan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa besar (Raya)
Bangun dari keterpurukan merupakan cita-cita luhur. Dambaan negara dalam pembukaan UUD 1945 yang seyogianya diupayakan terwujud. Bangkit dari krisis multidimensi pekerjaan rumah bangsa Indonesia. Diselesaikan secara berkelanjutan melalui proses tidak kenal lelah agar menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Keterpurukan bangsa Indonesia tidak terlepas dari kolonialisasi. Menyebabkan seluruh jiwanya terusir pergi. Tertindas jiwa dan raga. Amanat dari kata "Bangunlah" telah melecut semangat rakyat melawan imperialisme. Perjuangan selama tiga abad mengantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang "Kemerdekaan".
Setelah kemerdekaan diraih, pembangunan digalakkan. Euforia bangsa Indonesia hiruk pikuk di seluruh penjuru negeri. Luapan kegembiraan secara berlebihan telah membuat lena, lupa pada tujuan semula yakni; bangunlah jiwanya. Pembangunan setelah merdeka, pun jua era revolusi industri 4.0 ini hanya berorientasi pada;bangunlah badannya. Akibatnya dekadensi moral merebak.
Kemerosotan moral karena separuh jiwa bangsa dibuang telah melahirkan masyarakat bermental rendah. Individunya menjadi manusia serakah doyan mencaci atau menghujat sesama anak bangsa. Tidak mengherankan korupsi di negeri ini mati satu, tumbuh seribu karena rasa malu sebagai bagian kesehatan jiwa tercerabut dari nurani. Hilangnya rasa malu sebagai bagian dari iman, juga mengantarkan masyarakat gemar menumpahkan darah sesama.
Membangunkan jiwa bangsa perlu keseriusan. Adapun yang saya maksud sebagai jiwa bangsa yaitu Induk Semangnya Pancasila yaitu; "Piagam Jakarta". Sejarah berkata, jauh sebelum merdeka yang dimulai tanggal 29 April 1945-22 Juni 1945 para Pendiri Bangsa (BPUPKI dan PPKI) terlibat perdebatan mengenai Dasar Negara setelah merdeka. Perdebatan kalangan Kebangsaan dan Keislaman mencapai kata sepakat bahwa Pancasila Sebagai Dasar Negara. Khusus pada bunyi sila Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan kewajiban menjalankan syari'at islam bagi pemeluk-pemeluknya. (Dr. Tiar Anwar Bachtiar Dalam Buku Jejak Dakwah di Nusantara)
Setelah merdeka, tujuh kata bercetak miring di atas kembali dipersoalkan oleh kalangan Kebangsaan. Rentang Tahun 1945-1959 merupakan masa sulit karena mempersoalkan tujuh kata tersebut. Akhirnya Bung Karno mengintervensi melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 agar kembali ke UUD 1945. Dalam konsiderans Dekrit ini Bungkarno menegaskan bahwa, "Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut" (Dr. Adian Husaini Dalam Buku Jangan Kalah Sama Monyet).
Secara eksplisit konsiderans itu hingga kini tetap menjiwai Pancasila. Karenanya membangun jiwa bangsa harus senapas dengan pancasila khususnya sila pertama yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.