Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Pengalaman Mudik 15 Kali Lebaran

Diperbarui: 3 April 2021   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detiks.github.id

Umur anak pertama kami belum genap satu tahun ketika saya memasukkan dia ke dalam bis lewat jendela. Penumpang belum lagi sempat turun ketika sebuah bis "bumel" (non patas) yang baru tiba dari Bandung diserbu calon penumpang yang hendak menuju Bandung.

Desak-desakan hebat diantara calon penumpang terjadi. Kami sangat beruntung ada seorang bapak setengah baya, penumpang yang mau turun menyambut dan memegangi anak kami sampai says dan istri berhasil masuk bis. Kamipun beruntung dapat tempat duduk karena Si Bapak tadi "mengamankan" 2 tempat duduk untuk kami. Itu terjadi Sabtu sore tanggal 25 Pebruari 1995 di Terminal Bis Kampung Rambutan Jakarta Timur, 5 hari sebelum lebaran tahun itu tiba.

Itu pengalaman mudik pertama bersama keluarga. Pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Dengan berpeluh keringat kami harus menikmati 8 jam perjalanan dengan bis tanpa AC.  Penumpang yang berdiri bergelantungan menyesaki bis menambah panasnya udara di dalam bis. Masa itu perjalanan dengan bis ekonomi dari Terminal Kampung Rambutan di Jakarta ke Terminal Kebon Kalapa di Bandung normalnya hanya 3 - 3,5  jam saja.

Tahun-tahun sebelumnya (1992 - 1994) mudik tidaklah merepotkan, karena saya sendirian. Lebaran tahun sebelumnya (1994) istri menjalani kehamilan yang pertamanya di Bandung sambil menyelesaikan Tugas Akhir di IKIP Bandung sampai akhirnya diwisuda beberapa bulan setelah kelahiran anak pertama. Tahun itu saya mudik dengan santai karena  mudik ke Bandung dari Boyolali Jawa Tengah. Bulan puasa tahun itu menjadi akhir dari masa kontrak 2 tahun sebagai Technical Asistant di Cooperative Center Denmark (CCD) Perwakilan Indonesia. Itu adalah kerja nyambi atas seijin Kantor. Menjelang akhir masa kontrak itu mengharuskan saya melakukan perjalanan dinas di bulan puasa hampir 2 minggu ke Bandung, kemudian Pandaan dan berakhir di Boyolali. Bagaimana tidak santai, mudik dari Boyolali  ke Bandung dengan menumpang bis angkutan lebaran yang hanya terisi satu arah yaitu dari Barat (Jakarta, Bandung, dsb) ke arah Timur (Yogya, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Saya menjadi satu-satunya penumpang bis itu, dengan perjalanan yang relatif lancar karena berlawanan dengan arah arus mudik.

Mudik bersama keluarga tahun 1995 itu menjadi yang pertama sekaligus terakhir dari Jakarta, karena tidak lama setelah lebaran itu saya mendapat tugas baru di salah satu anak perusahaan di Surabaya.


Mudik dari Surabaya

Tahun 1996 menjadi pengalaman mudik pertama dari Surabaya. Menggunakan mobil sendiri menjadi pilihan terbaik bagi kami. Di samping lebih praktis,  dari segi biaya, relatif lebih murah dibandingkan menggunakan moda transportasi masal baik bis, ketetaapi apalagi pesawat. Sebagai keluarga baru, kami harus berhitung ekstra cermat agar mudik bisa lancar, aman, nyaman tetapi juga efisien dari segi biaya.

Tidak banyak pengalaman yang berarti pada mudik kali ini. Satu-satunya yang cukup berkesan adalah tentang driver kami yang namanya mirip dengan nama saya, cuma beda satu suku kata di depan. Oh ya dalam dalam salah satu artikel, pernah saya tulis bahwa diantara kakak-adik 8 bersaudara saya satu-satunya yang mempunyai nama bernuansa Jawa. Jadi tidak mengherankan ketika kami belum begitu lama di Surabaya banyak yang mengira saya ini orang Jawa.

Driver kami tadi seorang Jemaat Gereja Bethani. Dia mengemudi dari Surabaya ke Bandung sambil berpuasa. Dalam keyakinannya, dia harus berpuasa selama 40 hari, dan dia puasa mendahului saya 10 hari. "Agar selesainya bareng dengan Pak Win" katanya. Sebelum berangkat saya sudah minta dia untuk tidak mengantar kamu, biar diganti driver lain. Tapi dia bersikeras untuk tetap mengantar kami. Alhamdulillah perjalanan menuju Bandung relatif lancar. Kamipun tiba di Bandung dengan selamat. Tiba di Bandung pagi hari, driver kami sorenya langsung pulang ke Surabaya dengan kereta api. Sehari menjelang jadwal kepulangan ke Surabaya dia sudah tiba kembali di Bandung untuk membawa kami pulang ke Surabaya.

Kami harus mengokasikan waktu untuk menginap di rumah Orangtua saya sendiri, orangtua kandung istri  dan orangtua angkat istri. Oleh karena itu kami butuh waktu setidaknya 6 malam berada di Bandung. Inilah alasan saya kenapa minta driverku untuk balik dulu ke Surabaya sementara aku menghabiskan cuti mudikku.


Driver  Meninggal Dunia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline