Bandungku, kau tahu jadi penguasa itu tidak mudah. Begitupun jadi wakil rakyat. Cibiran dan cacian adalah santapan hari-hari. Tidak selalu diam itu emas, makan gaji buta kata orang. Bekerja keras bukanlah prestasi, karena itu sudah kewajiban. Bekerja atas nama kepentingan pribadi dan kelompok tertentu menjadi cap yang mau tidak mau harus diterima. Kita butuh penguasa dan wakil rakyat yang cerdas memahami kebutuhan rakyat, bukan yang pandai mengetahui keinginan rakyat. Tak akan ada seorangpun yang mampu memenuhi keinginan ratusan juta rakyat.
Bandungku, kau tahu katanya lebih enak jadi pengamat. Bisa mengklaim diri sebagai pakar ini pakar itu. Karena kepakaran tidak butuh sertifikasi. Bisa kritik ini kritik itu, meski seringkali kritik hanya menimbulkan kegaduhan. Kritik tidak bisa dikekang karena kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat.
Bandungku, kau tahu betapa kita mengagumi tokoh-tokoh komunal yang menjadi panutan komunitasnya. Suaranya didengar dan diikuti. Kita butuh mereka yang senantiasa menyuarakan kearifan dan kebijaksanaan, bukan yang menyuarakan kekumuhan pikiran dan moralitas mereka yang justru dituduhkan mereka kepada pihak lain. Kita butuh mereka yang senantiasa menyuarakan hati nurani masyarakatnya, bukan mereka yang hanya mengatasnamakan hati nurani masyarakat.
Bandungku, kau tentu menyadari berada dalam dunia serba salah. Semoga engkau bisa arif menyikapi itu semua dengan kebersihan hati dan kejernihan berpikir.
< Kang Win, Oktober 9, 2020 >
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H