Pernah terpikir untuk menjadi kaya raya. Terbayang nikmatnya hidup bergelimang uang. Hari-hari berisi cerita tentang harta. Tentang jumlah yang tak pernah cukup.
Pernah terpikir untuk menjadi petinggi. Terbayang nikmatnya hidup bercitra takhta. Hari-hari berisi cerita tentang ambisi yang harus jadi nyata. Bermacam ambisi yang tak pernah punah dari aliran darah..
Pernah terpikir harta dan takhta adalah kombinasi spekta, yang dengannya segala hal susah menjadi mudah. Semua berhormat meski terpaksa.
Di sela waktu, teringat kisah Sang Dasamuka. Harta apa yang dia tidak punya, bumi Alengka adalah miliknya. Tentang takhta, siapa yang berani berkata. Kesaktian yang dimiliki dan kerabat yang setia menjadi penjaga takhta. Rahwana adalah kombinasi sempurna dari harta dan takhta.
Pada suatu titik waktu, harta dan takhta menjadi tak berarti bagi Sang Dasamuka. Dewi Sinta menjadi sebab. Bukan tidak paham bahwa Sinta milik Rama. Bukan tidak paham resiko yang datang. Mata hati telah tertutupi kecantikan Sang Dewi.
Dengan harta dan takhta yang dimiliki, Rahwana tak sanggup menyentuh Sinta. Keberanian Sang Dasamuka telah sirna ketika berhadapan dengan kesucian Sang Dewi.
Di antara harta dan takhta, Rahwana menyembunyikan kerapuhan jiwa, yang membawanya kembali ke pelukan Banondari. Istri cantik jelita nan setia. Di hadapan Banondari, Rahwana menumpahkan tangisnya. Tangis penyesalan.
Tangis penyesalan yang tidak berarti lagi baginya. Dia sudah berada di ujung waktu. Tapi tangis penyesalan Rahwana telah memberi makna bahwa harta dan takhta bukanlah segalanya. Ketika harta dan takhta digemgam jiwa yang rapuh maka akan berujung tangis penyesalan.
# terinspirasi puisi karya Pastor Bobby (Ruang Berbagi) yang berjudul: "Rahwana di Puncak Arga"
< Kang Win, Juli 27, 2020 >