Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ngabuburit, Kenangan dan Pergeseran Makna

Diperbarui: 21 April 2020   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi membeli takjil. (Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Awal tahun 70-an, saya masih usia SD dan lulus SMP pada akhir dekade itu. Kelas 1 SD adalah awal saya belajar puasa, puasa wajib di bulan ramadan.

Tidak banyak memori yang masih tersimpan di ingatan mengenai bagaimana puasa saya waktu itu. Sama sekali saya sudah tidak bisa mengingat bagaimana saya makan sahur, misalnya. 

Saya cuma ingat saat kelas 1 SD itu, setiap dluhur sekitar jam 12 siang orang tua saya mengijinkan berbuka kemudian puasa lagi sampai maghrib. Begitulah sampai kelas 3 SD.

Baru saat kelas 4 saya mulai menjalankan puasa penuh dari shubuh sampai maghrib. Mulai saat itulah saya mulai melengkapi puasa saya dengan sholat tarawih berjamaah di masjid. 

Kami tarawih 23 rakaat (20 rakaat sholat tarawih dan 3 rakaat witir). Masjid Agung tempat saya sholat tarawih ini memang menggunakan tata cara NU untuk sholat tarawih dan juga sholat Jum'at.

Yang paling diingat dari sholat tarawih pada saat itu adalah menanti malam "lilikuran", yaitu malam-malam ganjil di 10 hari terakhir ramadan. 

Bagi kami anak-anak seusia saya waktu itu, menanti malam lilikuran bukan dalam konteks menunggu "lailatul qodar", melainkan menanti pembagian sedekah dari Ajengan, panggilan untuk kiyai di kawasan Sunda, pengasuh pondok pesantren yang berada persis di seberang utara masjid agung.

Mau tahu berupa sedekahnya? Kalau tidak salah ingat Rp. 100, hanya seratus rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk masa itu. Bayangkan untuk satu mangkuk bubur kacang ijo kita cukup mengeluarkan uang lima puluh rupiah.

Rumah kami hanya berjarak sekitar 200 meter dari masjid agung. Masjid ini terletak di bagian barat kawasan alun-alun kecamatan tempat kami tinggal. 

Layaknya masjid-masjid pada umumya pada dekade itu, masjid agung kami ini berdisain sederhana dan yang pasti terdapat "kulah", semacam kolam, untuk berwudlu.

Pada dekade 80-an, masjid direnovasi total, disain baru dengan atap sirap. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline