Sejatinya saya termasuk orang yang terlambat "bersosial media". Maksud saya, belum terlalu lama menggunakan media sosial secara aktif.
Saat ini media sosial sudah bukan lagi sebagai fenomena. Lebih dari itu media sosial sudah menjadi "era" tersendiri. Media sosial sudah bukan lagi monopoli anak muda (kini dikenal sebagai kelompok milenial dalam strata umur).
Media sosial sudah menjadi gaya hidup seluruh lapisan masyarakat dari keseluruhan strata masyarakat. Dari sisi strata usia, tua, muda, anak-anak, orang tua, semuanya menggunakan media sosial. Demikian pula dari keseluruhan strata sosial lainnya, semua profesi, gender, strata pendidikan, berstatus pekerja atau pengangguran, miskin atau kaya.
Saya sempat hanya menjadi pengguna pasif, untuk mengatakan tidak aktif menggunakan, selama beberapa tahun salah satu media sosial bernama facebook (Fb). Kalaupun aktif, yang sering dilakukan adalah berganti-ganti akun, karena lupa password. Baru sekitar 4 tahunan akhirnya saya dipaksa untuk lebih aktif menggunakan Fb (tidak berganti-ganti akun lagi tentunya).
Selain Fb, saat ini saya menjadi pengguna instagram dan twitter. Selain ketiga platform social media tadi sebagai tambahan saya menggunakan platform komunikasi bernama whatsapp.
Dengan Fb saya bisa berkomunikasi dengan "teman" yang jauh dan dekat. Dengan Fb itu saya bisa mengikuti aktifitas "teman" Fb saya melalui postingan-postingan mereka. Demikian juga sebaliknya. Meski hanya menggunakan fitur-fitur yang umum saja, sejauh jni saya cukup mendapatkan manfaat dari penggunaan Fb tersebut. Misalnya saya bisa kembali "bertemu" dengan rekan-rekan yang pernah satu tempat kerja. Saya juga banyak mendapat "teman" baru yang sebelumnya tidak pernah kenal hingga lebih dari seribu orang. Sungguh sesuatu yang tidak terbayangkan bisa terjadi di era-era sebelumnya.
Di luar manfaat yang banyak saya dapatkan dari Fb, banyak pula "ketidaknyamanan" dirasakan. Dengan maraknya postingan bernada "nyinyir", misalnya. Meski ungkapan nyinyir yang muncul tidak berkaitan sama sekali dengan diri saya.
Saya termasuk orang yang merasa "sangat" tidak nyaman dengan kalimat nyinyir. Repotnya setiap pagi membuka Fb, maka nyinyirlah yang kemudian jadi menu tetap sarapan pagi. Nyinyir seolah menjadi "warna" bagi Fb. Saya yakin pendiri Fb tidak membayangkan ini sewaktu mendisain pertama kali.
"Yang sini nyinyir sama yang sana, yang sana nyinyir sama yg sini, yang lainnya nyinyir sana sini". Itulah kira-kura kalimat yang bisa menggambarkan "semaraknya" nyinyir di Fb. Fenonena nyinyir ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah nyinyir sudah menjadi budaya kita ? Ketika kita nyinyir, bahagiakah kita ? Yang jelas saya tidak nyaman dengan nyinyir.
Saya pernah bertanya kepada kawan yang terbiasa nyinyir di fb. Dia mengatakan nyinyir adalah ungkapan kritis seseorang atas sebuah kondisi yang terjadi di "lingkungannya". Katanya, nyinyir juga merupakan ungkapan kepedulian. Terus terang pendapat seperti itu tidak bisa saya terima. Karena nyinyir lebih banyak terucap (ditulis) begitu saja tanpa memahami atau sekedar mengetahui dengan jelas konteks dari objek yang menjadi sasaran nyinyirnya.
Bagi saya, kekritisan itu sangat positif. Akan tetapi lebih bagus kekritisan itu diwujudkan dalam bentuk kritik. Orang kritis tidak selalu melihat dirinya dan kelompoknya baik, sehingga enggan untuk mengkritiknya. Tidak juga selalu melihat orang lain dan kelompoknya jelek, sehingga enggan memujinya.