Lihat ke Halaman Asli

Kang Trianto

Pengamat Pendidikan, Seni, & Budaya

Membincang Literasi Hidup dengan Ngopi bersama Sahabat Bolang Era 80-an

Diperbarui: 6 Juni 2024   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

MEMBINCANG LITERASI HIDUP DENGAN NGOPI BERSAMA SAHABAT BOLANG ERA 80-AN

******

Dok. pribadi

Literasi hidup adalah kemampuan/keterampilan untuk hidup yang baik tidak sekadar menurut kepentingan diri, tetapi baik dalam standar yang seharusnya, yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini. Literasi hidup bisa terkait dengan kemampuan dalam mengatur waktu, relasi, kegiatan, kerohanian, pekerjaan, keuangan, pikiran, percakapan, masalah, dan lain-lain.

Berikut sekedar gambaran sketsa hidup penulis yang selanjutnya penulis anggap sebagai LITERASI HIDUP dari penulis sendiri.

Terdorong oleh perasaan hati dan juga berbagai pengalaman ketika penulis menjadi narasumber pada berbagai kegiatan apakah itu mengajar, workshop, seminar, lokakarya, semiloka, maupun kegiatan pendampingan guru, pengawas, maupun dosen terkait dengan metodologi penelitian, dan/atau hal-hal tentang penulisan. Maka rasa hati dan pengalaman itu sangat ingin penulis tuangkan dalam bentuk buku kecil dan sederhana ini.

Berbagai pertanyaan peserta kegiatan menjadi referensi penulis dalam menyusun materi buku ini. Dari sana banyak hal yang penulis dapatkan dan itu semua adalah ilmu yang sebelumnya terkadang belum pernah penulis perkirakan. Memang benar apa kata pepatah, "Jangan Kamu Lihat Siapa Yang Bicara, Tetapi Dengarkan dan Resapi APa yang Dikatakannya".

Pepatah tersebut merupakan ilmu yang luar biasa bagi penulis, jika sementara ini penulis merasa lebih karena dapat menulis berbagai jenis tulisan apakah itu fiksi maupun non fiksi, berupa buku, makalah, artikel, cerpen, puisi, geguritan dn sejenisnya -- tetapi itu tidaklah berarti apa-apa. Memang harus penulis akaui bahwa 'hobby' menulis sudah penulis miliki sejak sekolah dasar (SD). Pada usia tersebut penulis suka menulis puisi di buku-buku kusam saat itu, di sela-sela buku tulis. Kebiasaan itu berlanjut saat penulis duduk pada jenjang pendidikan menengah pertama (SMP).

Catatan yang sampai sekarang masih membekas dalam diri penulis saat duduk di bangku pendidikan menengah pertama sehingga menjadi motivasi dan gairah untuk menulis adalah ketika saat itu penulis dinobatkan menjadi 'Juara Pertama Penulisan Prosa'. Satu judul sederhana yang penulis tuangkan adalah "KEBANGGAAN". Ini merupakan kisah nyata bagaimana hobby penulis bersama-sama teman-teman sejak sekolah dasar saat itu adalah champing, hicking, naik turun gunung, lembah, sungai, dan persawahan. Dan bahkan pada malam hari pun (nglayap, ngalong).

'BOLANG' begitu barangkali sebutan yang pas -- meski saat itu belum ada istilah ini. Bahkan untuk mencari bekal perjalanan, kami mencari bahan dari sisa-sisa panenan petani seperti panen kacang tanah, singkong atau ketela rambat -- umbi-umbi tersebut kita rebus untuk kemudian menjadi bekal perjalanan. Dan untuk minumnya cukup mengambil dari 'cublikan' atau 'belik' yaitu sumber air dipinggir-pinggir sungai atau sumur ditengah sawah, dan 'sendang' atau telaga di bawah pohon besar di pegunungan. Dan itu semua terasa betapa segar dan nikmatinya, karena rasa perut yang begitu lapar.

"KEBANGGAAN" merupakan refleksi penulis yang pada setiap minggu dan/atau liburan bersama-sama dengan teman-teman sebaya 'seringkali' atau kalau tidak bisa dikatakan 'selalu' melakukan 'hicking', atau 'penjelajahan' dalam bahasa Pramuka, atau bahasa Tuban-nya dikatakan 'blakrakan turut-turut dadah' di sepanjang pegunungan kapur utara. Jika tidak hicking dengan menyusuri pegunungan kapur utara, penulis bersama-sama teman sebaya bersepeda 'onthel' keliling Tuban, atau Bojonegoro atau 'gowes' bahasa kerennya sekarang. Bedanya tentu jika saat ini para penggowes menggunakan sepeda merek dengan selangit, tempoe doeloe cukup dengan 'sepeda onta/kebo', dan paling keren adalah dengan 'sepeda jengky', dengan pakaian cukup seadanya berkaos, bertopi, atau cukup dengan topi rambut masing-masing. Sungguh sesuatu 'kebanggaan' sendiri, kami 'RUMPUN ILALANG' ini menjadi peletak dasar 'BOLANG' dan 'GOWES' serta 'LASKAR PELANGI' meski kami tidak tertancapkan dalam sebuah buku sejarah seorang penemu -- karena memang saat itu Anak-Anak Desa (ANDES) ini minim publikasi. Artinya cukup dengan saksi-saksi hidup kami sendiri, tanpa dokumentasi dan citus sejarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline