Lihat ke Halaman Asli

Nyadong, Nodong, Nyolong

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga kata dalam bahasa jawa yang mungkin  punya konotasi negatif. Nyadong, menjelang lebaran jakarta akan kebanjiran orang-orang dengan profesi ini. Mereka "nglurug" ke kota-kota besar seperti jakarta berharap memperoleh sedekah dari para dermawan, dengan segala daya dan upaya mereka baik yang dikoordinir maupun sendiri-sendiri. Apakah Ini sebuah bukti nyata bahwa negeri kita semakin miskin atau negara sudah tidak dapat memakmurkan rakyatnya?. Nyadong tidak lagi menjadi suatu aib tapi menjadi suatu profesi. Pekerjaan ini dilakukan dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Nyadong tidak hanya dilakukan uleh orang-orang kecil (baca: rakyat jelata) tapi juga dilakukan oleh para penggede (pejabat, politikus maupun pengusaha). Tentu bentuk dan ukurannya berbeda. Para tuna wisma, anjal dan pengemis jalanan (yg punya rumah di kampung) nyadong recehan, penggede bisa dalam bentuk proyek, jabatan atau apapun namanya yang tentu besar nilainya.

Ternyata nyadong bukan lagi suatu keterpaksaan, tapi sudah menjadi bentuk ekspresi mental. Nyadong, hanya berdiam diri atau berbuat sedikit tetapi mengharapkan memperoleh sebanyak-banyaknya, ingin diberi sesuatu, ingin disuap dan sebagainya. Adakah disekitar kita yang hanya suka nyadong? Ataukah kita juga termasuk orang yang suka nyadong?

Dalam angkuatn umum (terutama bis kota) kita sering menjumpai para pengamen jalanan menyanyikan lagu yang kadang cukup nyleneh syairnya maupun nadanya, diakhir pentas mereka berkata "kami mengharap jiwa-jiwa dermawan para penumpang. dengan gopek atau seceng anda tidak akan miskin. Kami mengamen karena terpaksa daripada kami mencopet atau nodong, itu dosa. Jadi sekali lagi kami mengharap jiwa dermawan anda semua, ikhlas anda berkah bagi kami", dengan suara dan intonasi yang cukup keras. Ini merupakan sebuah bentuk nodong yang diperhalus dengan nyadong. Alih-alih menjual suara, mereka meminta imbalan, yang sebetulnya kita tidak mau beli tapi diminta bayar atas nama jiwa sosial, atas nama kedermawanan.

Terus bagaimana dengan orang yang alih - alih menjaga ketertiban lalulintas? Pak Ogah/mr. Cepek yang mengatur lalulintas dipersimpangan jalan bila tidak "diberi" maka "sedikit beset". Atau petugas yang "dititipi" denda tilang tanpa tanda bukti dengan segala dalih. Nodong?

Kalau nyadong malu, nodong tidak berani maka yang selanjutnya nyolong. Nyolong merupakan menghambil sesuatu yang bukan haknya. Salah satu bentuk perilaku nyolong adalah korupsi, perilaku ini sudah menjadi jamak di negeri ini, sampai-sampai negara membentuk suatu komisi untuk menangani ini.   Komisi Pemberantasan Korupsi, kenapa hanya korupsi? Bagaimana prilaku nyolong yang lain? Kenapa harus ada lembaga khusus untuk menangani ini? Bagaimana lembaga yang ada sebelumnya, tidak dapat menangani ini?

Akhirnya

Marilah berbuat, jadilah tangan diatas. Jangan hanya nyadong

Janganlah memaksakan kehendak, tanpa memperdulikan orang lain, hargai orang lain. Jangan suka Nodong agar orang lain mengikuti kehendak kita.

Jangan ambil hak orang lain, apalagi tanpa ijin yang bersangkutan. Jangan suka nyolong.

mbuhlah terusane piye.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline