Magrib hampir habis, ketika saya baru sampai di rumah dengan badan penuh peluh karena harus berdesakan dengan para komuter serang -jakarta. "Pak, minta uang 600 ribu" anak sulungku menyapa bapaknya. 'Untuk bayar buku sama hibah" ia melanjutkan kalimatnya sebelum ku tanya.
"Lho, buku apa koq sampai 600 ribu, perasaan waktu bapak sekolah dulu sampai kuliah belum pernah beli buku semahal itu. ini smp bukunya sudah mahal amat gimana nanti kalau kuliah? emang berapa buku?" tanyaku minta penjelasan sambil meletakan tas ransel bawaan."
"Uang buku 500 ribu dapat 10 buku, 100 ribu untuk hibah. Kemarin teman-temen yang ngasih hibah 50 ribu diomelin sama TU-nya" gerutu anakku yang tahu kalau bapaknya lagi capek..
Sungguh terenyuh hati ini, pemerintah dengan iklan yang begitu gencar tentang sekolah gartis ternyata sekolah sangat mahal. Buku pelajaran yang katanya disediakan dengan buku elektronik tapi ternyata masih banyak yang dijual di sekolah. Belum lagi untuk buku-buku yang bilingual dan SBI, emang sih "jer basuki mawa bea" tapi transfaransi sangatlah perlu.
Jangan sampai pungutan dalam bentuk apapun di sekolah menjadi ajang bisnis apalagi pungutan berupa hibah. Hibah dari masyarakat ke sekolah merupakan hibah masyarakat ke negara yang mestinya menjadi PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang harus dipertanggung jawabkan. Tidak saja dipertanggungjawabkan kepada Komite Sekolah tapi merupakan objek pemeriksaan instansi pemeriksa (irjen/bpk). Sebab komite sekolah juga kadang hanya sebagai tukang stempel saja.
Semoga program pendidikan wajib belajar 9 tahun tidak hanya berhenti sebagai program tapi harus menjadi kenyataan dengan sekolah murah bukan sekolah gratis. Dan tunjangan guru terus meningkat dari 250 ribu yang dijanjikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H