Aku suka jaipong kau suka disko
Oh oh oh oh
Aku suka singkong kau suka keju
Oh oh oh oh
Aku dambakan seorang gadis yang sederhana
Aku ini hanya anak singkong
Aku hanya anak singkong...
LAGU berjudul Singkong dan Keju yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Arie Wibowo pada 1980-an itu mungkin bisa menjadi gambaran sebuah perbedaan jaman, golongan atau pun martabat. Ya, singkong mewakili era tradisional atau orang miskin dan keju sebagai makanan orang modern atau kasta orang kaya.
Gambaran itu dijelaskan oleh Arie Wibowo melalui syair lagu yang menggambarkan hasrat cinta kepada seorang gadis yang suka berdisko dan makan keju, sementara Arie Wibowo hanya menyukai tari Jaipong dan suka makan singkong.
Tapi, itu mungkin dahulu. Ketika singkong yang dipotong kecil-kecil kemudian direbus hingga matang dan ditaburi garam sedikit sebelum disajikan. Sangat sederhana. Dan biasa menjadi santapan warga kampung sepulang dari sawah ditemani secangkir kopi atau teh gula batu.
Tetapi, seiring perkembangan jaman, kreasi makanan berbahan dasar singkong telah dilakukan banyak orang agar tidak lagi menjadi makanan sederhana dan terpinggirkan.
Saking terkenalnya, singkong tak hanya dikenal sebagai makanan, melainkan juga dijadikan sebagai lirik lagu dan judul buku. Di Indonesia singkong dikenal dengan beberapa nama sesuai dengan daerahnya, seperti tela (Jawa), Kasubi (Gorontalo), Lame Kayu (Makassar), Kesela (Bali), Ubi Kayee (Aceh).
Singkong memiliki kandungan gizi yang terbilang cukup lengkap, seperti kalori, fosfor, karbohidrat, kalsium, vitamin, dan protein. Dengan kandungan gizi yang lumayan lengkap tersebut, menjadikan singkong dipilih sebagai salah satu jenis makanan pokok oleh penduduk di beberapa negara di dunia, diantaranya Brasil dan Afrika.
Di Indonesia beberapa daerah yang mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok diiantaranya Desa Cirendeu, Cimahi Jawa Barat, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur.
''Kresssss..." Sepotong singkong goreng berwarna kuning yang disajikan dalam piring kecil masuk ke mulut perempuan berjilbab pada sebuah siang di Kampoeng Kopi Banaran yang ada di Jalan Raya Bawen-Salatiga, KM 1,5.
Lima potongan ketela pun habis dilahapnya. Ia pun memanggil sang pelayan untuk menambah satu porsi. Kali ini, perempuan bernama Nur Jannah itu tak langsung menghabiskannya. Ia selingi dengan ngobrol dan minum kopi khas Kampoeng Banaran bersama keluarganya.
''Rasanya memang enak. Saya sengaja datang kesini untuk mencicipi ketela goreng yang dimasak dengan mentega. Rasanya menjadi tambah nikmat. Sejak tinggal di Jakarta setelah lulus SMA, untuk mencari ketela yang asli susah, kalaupun ada, harga per kilonya mahal,'' tutur ibu dua anak kelahiran Magelang 35 tahun lalu.
Ya, pamor singkong pun kini telah "naik kelas". Di beberapa restoran, pusat oleh-oleh, bahkan hotel berbintang lima pun menyajikan singkong dengan aneka masakan unik, menarik dan tentunya nyus di lidah.
Nur Jannah pun mengaku, makanan dari singkong yang biasa ditemukan di Jakarta bentuknya sudah berupa kue-kue kering seperti nastar, putri salju, brownies, dan kastengel. Dan ada pula ceriping, puding, bergedel, hingga tumis singkong. ''Kalau sudah menjadi makanan seperti itu, rasa asli singkongnya sudah berubah rasa. Makanya, kalau pas pulang kampung, saya sering memborong ketela hingga satu karung,'' ujarnya sambil tertawa.
Masrifah Kurniasih (27) warga Desa Jambu, Kabupaten Semarang menuturkan, jika di kampungnya, singkong biasanya tidak saja direbus dan ditaburi garam agar terasa gurih sebelum disajikan. Ketika memasuki Ramadhan, ia biasa membuat kolak berbahan dasar singkong sebagai menu buka puasa.
''Kalau disini, kita bisa menanam sendiri. Kalau beli, juga murah, paling Rp 500 per kilogramnya. Singkong rebus dan kolak singkong juga menjadi menu kesukaan bapak-bapak di kampung ini usai kerja bakti,'' ujarnya.
Di tangan Firmansyah Budi Prasetyo (26), pemilik waralaba Tela Krezz, yang mengemas ketela menjadi jajanan gaul pun kini telah menjadikan singkong "naik kelas dan lebih disukai kawula muda. Bermodalkan Rp 3 juta, pria kelahiran Semarang 5 Desember 1981 yang kini bermukim di Yogyakarta itu mencoba memberi warna dan rasa lain dari ketela.
Ketela yang dianggap murah dan sepele, ia sulap menjadi ketela yang beraneka rasa. Mulai dari rasa Tela Krezz, Tela Bola, kentang goreng, tela jana, dan tela lapis. Rasanya pun ia kreasi dengan rasa barbequ, keju, hingga pizza dan lada hitam.
Usaha Friman pun berawal dari outlet yang dibeli ibunya, almarhumah Fadjri Budi Rahayu. Kali pertama, dia membuka brand Hommy Tela di depan rumahnya Wirobradjan, Yogyakarta.
Pada Februari 2007, outletnya terjual pertama kali atas nama Is, Karangkajen. Berbekal mengikuti pameran info Franchise Expo di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama pada Maret 2007, outlet ketela Firman mulai dilirik masyarakat Yogyakarta.
Selain rasa, dia juga berinovasi dalam kemasan. Bungkusnya pun ia modifikasi sesuai selera anak muda. Warna hijau kekuning-kuningan dengan warna gerai Tella Krezz tersebar di seluruh Indonesia. Sambutan yang luar biasa dari masyarakat Yogyakarta kala itu, menjadi pemicu Firman untuk mengembangkan bisnis waralaba miliknya. Untuk menggenjot pemasaran, dia mulai membuat nama Tella Krezz sebagai merek dagang. Usaha waralaba Tella Krezz kini makin meluas ke beberapa tempat. Seperti di Semarang, Samarinda, Balikpapan, Bontang Kalimantan Timur, Makassar, Kepulauan Karimun, Jakarta, Bandung.
Berbeda dengan para petani singkong. Ketika olahan singkong yang telah menjadi beragam makanan harganya mencapai ratusan ribu, justru harga per kilonya hanya pada kisaran Rp 500/kg belum dikupas dan Rp 600/kg setelah dikupas. "Harga ketela tak pernah terpengaruh cuaca, untung tidak kalau rugi jelas iya," ujar Sarmin (54) petani di Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.
Meski penanganan tanaman ini tidak membutuhkan biaya banyak, kata dia, hasil penjualan habis setelah dikurangi ongkos membeli pupuk dan biaya membayar tenaga saat tanam.
Kunardi (35) pedagang ketela asal Trangkil, Pati mengatakan harga ketela tidak pernah naik dan turun. Untuk tingkat petani, dia hanya mematok harga paling tinggi Rp 500 per kg. Sebab, harga ketela di pasaran hanya Rp 650 hingga Rp 1.200 per kg. Jika ia membeli dengan harga tinggi, dipastikan merugi. "Itu kalau sudah dikurangi biaya tenaga dan transportasi, sudah sulit menghitung keuntungannya," ujar pria yang mampu membeli 5 ton ketela per hari saat ditemui di Jl Puntan Raya, Mangunsari.
Dalam menentukan harga ketela, dia menyesuaikan dengan harga pasaran. Jika harga tinggi, ia berani membeli dengan harga tinggi. Ketela yang ia beli langsung dari petani itu dijual kembali ke pabrik tepung tapioka di Kabupaten Pati. "Kebutuhan akan ketela di wilayah kami berkurang, tiap hari harus keluar daerah," pungkas bapak dua anak itu. Bahkan, dengan tegas, Executive Chef Patra Semarang Convention Hotel Timotius Hari Sunarto mengaku tidak jatuh gengsi, ketika menyajikan menu makanan berbahan dasar singkong kepada para tamu yang berkunjung ke hotel yang ada di Jalan Sisingamangaraja itu.
''Kami bangga, sebagai hotel berbintang tetap menyajikan makanan tradisional. Yang justru peminatnya sangat banyak. Tidak sedikit dari para tamu yang justru minta dibuatkan secara khusus untuk dibawa pulang,'' tutur Pak Tim, sapaan Timotius.Dipilihnya singkong, menurut Pak Tim yang juga Koordinator Indonesian Chef Association (ICA) Wilayah Semarang itu karena kreasi makanan tidak harus melulu dari beras.
Ia pun telah lama mengreasi singkong menjadi getuk, tape, singkong rebus, singkong goreng, sawut dan klenyem untuk para tamu yang datang menginap maupun event-event yang sering berlangsung di hotel itu.
''Kalau di Kampoeng Kopi Banaran memang memiliki lahan khusus untuk menanam singkong. Sementara kami biasa mengambil secara langsung dari para petani singkong dari Bawen, Ambarawa,'' kata chef kelahiran Pulau Dewata yang juga bapak dari Hareka Gloria Tisiri (12) itu. (Kang Syukron)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H