Lihat ke Halaman Asli

30 Tahun Keliling Kampung Jualan Jamu

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1354783035271322747

[caption id="attachment_219941" align="alignleft" width="150" caption="Mbah Nah (72) warga Kampung Sumbersari, Kelurahan Wonolopo, Kecamatan Mijen melayani pelanggannya, kemarin. Aktifitas berjualan jamu keliling telah ia lakukan selama 30 tahun lebih."][/caption] SINAR matahari sangat terik. Debu beterbangan di Jalan Raya Mijen-Boja, pada sebuah siang. Perempuan tua berkerudung hitam coklat bermotif bunga itu berjalan pelan sambil menggendong keranjang bambu yang penuh dengan botol dan jerigen. Jarik motif Sidomukti dan kebaya merah bergambar bunga yang dikenakan pun warnanya mulai kusam. Sesekali ia harus berhenti untuk membasuh keringat yang membasahi keningnya dengan selendang yang ia gunakan untuk menggendong. Lalu, ia berjalan lagi. Debu jalanan bercampur asap kendaraan dan teriknya matahari siang itu tak menyurutkan langkah kakinya untuk memilih berteduh. Kakinya terus melangkah menjajakan jamu racikan di kampungnya. Itulah aktifitas Painah (72), warga Dusun Sumbersari RT 2 RW 10 Kelurahan Wonolopo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang lebih dari 30 tahun. Pelanggannya hingga kini mencapai 100 orang lebih. ''Mbah Nah, minta jamu,'' teriak perempuan di depan rumah yang siang itu tengah menjemur pakaian. Painah yang sering disapa Mbah Nah oleh pelanggannya itu pun tak membalas dengan kata-kata, tetapi dengan senyuman yang khas sambil melangkah pelan memasuki halaman rumah pelanggannya. Pelan-pelan, gendongannya pun diletakkan di teras rumah dengan lantai keramik warna hijau itu. ''Mau dicampur daun pepaya atau brotowali,'' tanya Mbah Nah. Perempuan bernama Sumiyati (40) itupun meminta agar dibuatkan jamu pahitan yang dicampur dengan daun pepaya. Tak perlu menunggu lama, segelas jamu racikan Mbah Nah sudah berpindah tangan dan langsung diteguk oleh Sumiyati. Dengan sigap, Mbah Nah kembali menuangkan beras kencur ke dalam gelas yang masih dipegang Sumiyati. ''Alhamdulillah, terasa pahit tapi seger Mbah. Saya minta beras kencur dan kunir asem dibungkus saja buat anak saya yang sebentar lagi pulang sekolah,'' pinta Sumiyati. Setelah membungkus jamu yang dipesan, beberapa lembar uang seribuan pun diterima Mbah Nah. Sebelum berpamitan, Mbah Nah berpesan kepada ibu dua anak itu untuk menjaga kesehatan dan rutin minum jamu. Ia pun kembali menyusuri kampung demi kampung yang ada di wilayah Kecamatan Mijen. Berat gendongan jamu racikan sekitar 15 kilogram itu setiap hari ia bawa keliling kampung mulai pukul 06.30. Karena sudah memiliki pelanggan tetap, bakda Zuhur Mbah Nah yang memiliki enam putra, 25 cucu, dan enam cicit sudah bisa kembali ke rumahnya untuk istirahat.Sebagian besar warga Kampung Sumbersari yang ada di Kelurahan Wonolopo itu dikenal sebagai penjual jamu keliling. Tak heran, jika masyarakat di sekitar kampung itu menyebutnya dengan Kampung Jamu, ketimbang Sumbersari. Saat ditemui di sela-sela melayani pelanggannya di Perumahan Berlian Asri, Mbah Nah pun menuturkan kisah tentang Kampung Jamu. ''Sekitar 1980 seorang pedagang jamu gendong asal Solo menjajakan dagangannya di Sumbersari. Karena kemalaman dan tidak memungkinkan untuk pulang, ia menginap di rumah salah satu warga. Warga yang rumahnya dijadikan tempat menginap itu pun tertarik ikut berjualan jamu,'' tuturnya dengan Bahasa Jawa Kromo Inggil halus. Karena saat itu mayoritas warga tidak memiliki pekerjaan tetap, kata Mbah Nah, mereka pun memutuskan untuk ikut bergabung, termasuk dirinya yang saat itu hanya bermodalkan Rp 20 ribu untuk membeli bahan jamu. ''Sekarang ada sekitar 45 warga yang jualan jamu keliling dan sudah dibentuk paguyuban. Berdirinya paguyuban itu untuk membagi daerah pemasaran agar tidak rebutan pelanggan, kewajiban untuk menjaga keaslian jamu dan tidak menyampurnya dengan bahan pengawet, menjaga penampilan dan kebersihan ketika jualan,'' paparnya. Ketua Paguyuban Pedagang Jamu Sumber Husodo Dusun Sumbersari, H Kholidi menjelaskan, pekerjaan sebagai pedagang jamu gendong adalah pilihan terakhir ketika warga di dusun tersebut kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Dengan penghasilan rata-rata per hari Rp 100 ribu, para pedagang yang tergabung dalam paguyuban itu diminta untuk selalu menjaga kualitasnya. Penggunaan bahan kimia menjadi larangan keras bagi seluruh anggota. ''Dalam pemasaran, kami sarankan untuk selalu ramah kepada pembeli, menjaga kebersihan dan menjaga penampilan,'' tandasnya. (Kang Syukron)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline