Lihat ke Halaman Asli

Silahudin Din

Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Tarung Simpati, Jemput Obsesi

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMILIHAN PRESIDEN (Pilpres), tinggal menghitung hari. "Tarung" simpatik yang dilakonkan oleh kedua belah pihak terus tak henti-henti. Bahkan makin masif, entah itu dengan sekadar klaim, atau memang sebaliknya.

Tampak itu dipermukaan jagat kepolitikan nasional Pilpres 2014. demokrasi citra menjadi "budaya pop" politik pilpres untuk membangun simpatik dukungan dari lapisan masyarakat. Ada klaim dukungan Ormas keagamaan ini dan itu, dan ormas-ormas lainnya.

Memang, persoalan politik Pilpres adalah persoalan bagaimana merebut hati rakyat pemilih, dan calon pemimpin nasional itu terpilih sebagai presiden. Namun kesan yang hilir mudik baik itu di media elektronik, media cetak dan media- media sosial (seperti tweeter, facbook, dll) justru menyesakkan dada dengan sederet gosip yang tidak sehat.

Pertanyaannya, sebegitukah calon pemimpin nasional mencari simpatik rakyat dengan menebar isu-isu yang menggelisahkan rakyat negeri ini? Ataukah kalian sesungguhnya bukan kehendak jadi pemimpin nasional, namun mencari kekuasaan semata dengan setumpuk kewenangan yang ada di pundak yang bernama "Presiden".?

Menjadi presiden memegang kekuasaan yang strategis dalam membawa kehidupan politik negara bangsanya. Oleh karena di pundak presidenlah negara bangsa ini baik atau sebaliknya.

Kenyataan yang harus diakui, bahwa rakyat yang menentukan kalian terpilih jadi presiden atau tidaknya. Oleh karena itu, sangat krusial dipahami bagaimana memahami bahasa rakyat, bukan sebaliknya rakyat diprovokasi oleh segala macam bentuk semacam memberi kebencian karena dirasuki ambisi dapatkan kekuasaan.

Transparansi mengejar kedudukan semakin menonjol dan aliensi elit politik tidak menunjukkan pada usaha kedewasaan politik berbangsa dan bernegara, malah mempertontonkan kepentingan politik individu atau kelompoknya.

Dengan perkataan lain, dominasi politik kekuasaan, tampak semakin diprioritaskan bagi kepentingan dan tujuannya, sedangkan kepentingan rakyat banyak, nyaris tidak ditengok (sedikit tersentuh). Kepentingan-kepentingan kelompok terus menerus menghiasi dan mendominasi pada pelataran arena politik. sedangkan "simulasi" kepentingan rakyat banyak masih jauh tersemtuh.

Persoalannya, apakah negara bangsa Indonesia ini menganut “kedaulatan kelompok”? Sementara kedaulatan rakyat justru semakin terbelah terpinggirkan dalam percaturan perpolitikan Indonesia. Atau rakyat ini sekedar menjadi penonton “pertengkaran” elit politik yang tak kunjung reda, karena bersikut berebut kekuasaan.

Secara substantif rakyat tersandera oleh hiruk pikuk politik yang ditontonkan para pencari kedudukan politik. Panggung politik nasional “disandera” oleh kepentingan-kepentingan yang tidak membebaskan dalam menikmati ‘negara untuk melindungi segenap bangsa dan warganya’.

Entah kebingungan apa yang sedang menyelimuti bangsa ini, termasuk elit-elit negeri ini seakan negara ini tiada dalam keadaannya. Apakah memang ini sebagai anomali bangsa yang sedang kehilangan orientasi kebangsaannya? Ataukah kehadiran negara sebagai intrumen kolektif justru terbuai oleh hegemoni “kedaulatan kelompok” dan kedaulatan rakyat berada dalam black box politik ?

Rakyat bukan saatnya lagi untuk dininabobokan, namun justru harus terlibat mendesain kehendak negara. Artinya, pemimpin sebagai orang yang telah diberi amanah dalam mengelola dan mengendarai negara ini benar-benar mencurahkan segala kemampuannya untuk kepentingan khalayak banyak, bukan sibuk dan sensitif mengurus “dapur sendiri”. Atau memenuhi ambisi kekuasaan yang tersembunyi dan disembunyikan dalam pertarungan Pilpres. Semoga tidak demikian adanya!


Bandung, Juni 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline