Lihat ke Halaman Asli

MUSHOFA

KHODIM PP. DAARUL ISHLAH AS-SYAFI'IYAH TANAH BUMBU KALSEL

Hidup Punya Utang, Itu Biasa

Diperbarui: 16 Desember 2022   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

HIDUP PUNYA HUTANG, ITU BIASA

 Kebanyakan orang berpikir sebaliknya, "hidup itu jangan sampai berhutang". Bagi penulis hidup punya hutang itu penting, supaya kita tidak sombong. Artinya kita ini masih membutuhkan bantuan orang lain, berarti kita lemah, buktinya masih punya hutang. Kesadaran ini akan menyadarkan spiritualitas seseorang bahwa manusia itu bukan Tuhan, buktinya mau makan saja butuh mencari hutangan. 

Berhutang itu hal yang normal, semua manusia hampir pernah berhutang atau punya hutang. Nabi sendiri pernah berhutang. Diriwayatkan dari Aisyah ra berkata: "Bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya." (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, sampai wafatnya Nabi tidak sempat melunasinya, hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib lah yang membayarkannya. "Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha' gandum". (HR. Bukhari).

Di sini nabi tampil menjadi manusia biasa, hikmahnya agar umat manusia menyadari bahwa nabi itu bukan Tuhan. Buktinya untuk memenuhi kebutuhannya  saja nabi pernah berhutang, kepada orang Yahudi lagi. Sehingga dengan membaca perjalanan kehidupan nabi, umat manusia akan tetap terjaga syahadatnya, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Belajar atas hutang nabi ini akan menyadarkan atas sahadatnya. Umat manusia akan tetap meletakkan posisi Nabi sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan.

Memang tidak enak mempunyai hutang, tidur tidak nyeyak, makan tidak enak, bepergian tidak nyaman, bertemu orang lain takut dan malu. Namun penulis memangdang disini tidak pada hutangnya melainkan pada kesadaran manusia, bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan.

Hutang yang dimaksud di sini adalah hutang yang sesuai syariat. Artinya dalam bingkai kitab-kitab fiqih, bukan hutang yang sampai pada taraf riba yang jelas-jelas haram. Dalam hukum syara' saja utang-piutang itu dilegalkan. Bahkan jika dipandang dari sisi kemanfaatan, akad utang piutang termasuk akad yang mengandung unsur ta'awun saling tolong menolong. Bahkan menurut hemat penulis mungkin di satu sisi pahala menghutangi dengan sedekah lebih banyak menghutangi. Penulis beranggapan bahwa pahala itu sesuai dengan besarnya kemanfaatan. Terkadang sedekah itu tidak dibutuhkan oleh orang yang menerimanya, sementara menghutangi jelas sangat dibutuhkan oleh orang yang membutuhkan.

Alhasil, hidup mempunyai hutang itu adalah hal yang normal dan sangat manusiawi. Hutang bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesadaran spiritual terutama ketauhidan. Namun demikian tetap membayar hutang itu hukumnya dan keluar dari jeratan hutang harus tetap menjadi prioritas kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline