Lihat ke Halaman Asli

"Mung Mampir Ngombe": Kebanggaannya adalah Kesukaran dan Penderitaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tadi sore saya mendapat kabar jikalau teman satu SMA meninggal dunia. Langsung saja sore itu saya meluncur ke rumahnya. Bersama dengan para pelayat lainnya, saya menjumpai jenazah rekan saya ini membujur kaku terbungkus kain kafan.

Tidak ada yang menduga secepat itu almarhum dipanggil menghadap Sang Pencipta.

[caption id="attachment_248570" align="alignleft" width="300" caption="in memoriam"][/caption] Padahal ini adalah usia emas baginya, di dalam kematangan usia paruh bayanya banyak hal yang akan bisa dilakukan dan diharapkan dari keberadaannya, baik ditengah keluarga, pekerjaan dan teman sejawat maupun pada lingkungan masyarakat.

Tetapi tidak yang menyangka begitu mendadak kepergiannya.

Almarhum telah menyelesaikan bagiannya di dunia, seolah seperti “mung mampir ngombe” (hanya mampir untuk minum).

Ditengah para pelayat lain, saya termenung, betapa fananya kehidupan ini, ketika waktunya tiba “Engkau mengembalikan manusia kepada debu … Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.”

Tidak terasa lebih dua puluh tahun sejak saya mengenalnya, sepertinya memori tentang dia itu seperti baru kemarin. Setiap pelayat seperti ingin saling berbagi dengan orang yang dikenalnya mengenai kesan-kesannya akan almarhum. Membicarakan kesan tentang almarhum seperti merangkai banyak warisan yang berharga tentang kehidupan.

Lebih baik pergi ke rumah duka daripada ke tempat pesta. Sebab kita harus selalu mengenang bahwa maut menunggu setiap orang.

***

Ada keinginan alamiah manusia untuk menghindari penderitaan. Tetapi justru penderitaan itu merupakan bagian yang terkandung di dalam kemanusiaannya.

Orang harus memburu-buru berlelah di bawah matahari untuk mendapatkan apa yang diingininya, makan rezeki yang diperoleh dengan susah payah. Namun itu pun juga tidak melepaskan penderitaan yang dialaminya.

Di dalam keterbatasan untuk menikmati usahanya, ternyata pun yang dijumpai adalah kesia-siaan, “Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telingat tidak puas mendengar. Apa yang pernah ada aka nada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. “

Ada prasangka yang salah di dalam keterbatasan manusia untuk mengatasi penderitaan, bahwa dengan kecepatan, kekuatan, kemakmuran, kecerdasan, dan kecerdikan niscaya penderitaan akan diatasi dengan sempurna. Tetapi di bagian lain di dalam Kitab Alkatib, Raja Sulaiman mengungkapkan sebuah kata-kata hikmat, “Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua. Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.”

Pertanyaan yang paling tepat bukan untuk mengakhiri penderitaan, tetapi bagaimana menikmati penderitaan. Penderitaan itu ada, dan kehidupan ini seperti sebuah siklus mengalami penderitaan dan kesukaran; jadi bagaimana saya menemukan sukacita di dalam penderitaan dan kesukaran yang sedang dihadapi?

“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan,” demikianlah doa Musa, abdi Allah di dalam mazmurnya. Seorang Musa akhirnya pun menyadari bahwa kebanggaan (hidupnya) -nya adalah kesukaran dan penderitaan. Sehingga lahir sebuah doa kepada Allah, “Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami.” Kebanggaan itu muncul karena bagaimana Allah campur tangan di dalam setiap kesukaran dan penderitaan yang dihadapinya; bahkan dimampukan menjalani setiap kesukaran dan penderitaan dengan sorak-sorai dan sukacita.

Bersama dengan Allah, di dalam kesukaran dan penderitaan ada sorak-sorai dan sukacita. Tidak ada kenangan yang lebih melekat, ketika kita mengalami kesukaran dan penderitaan. Dan tidak ada kenangan yang lebih melekat dan membanggakan ketika di dalam kesukaran dan penderitaan itu ada Allah yang beserta.

Sehingga semakin bermakna doa yang kita panjatkan, ketika kita berseru, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Justru di dalam kesukaran dan penderitaan itu kita mengalami Allah dan semakin berhikmat di dalam kehidupan kita.

***

Kematian adalah finalitas penderitaan di bawah matahari ini.

Keberanian menghadapi kematian (baca: penderitaan) adalah sebuah anugrah. Anugrah itu memampukan kita untuk menghargai kehidupan ini yang penuh dengan kesukaran dan penderitaan. Bahwa kehidupan ini patut dirayakan.

Pepatah orang Jawa, bahwa hidup ini adalah “mung mampir ngombe”, merupakan wujud sebuah kepastian akan kesementaraan hidup dunia ini dibandingkan kehidupan setelah kematian itu sendiri di dalam kekekalan.

Ada sebuah pergulatan yang seru untuk menghidupi kesementaraan ini di dalam perspektif kesia-siaan (seperti yang disaksikan oleh Sulaiman) atau di dalam perspektif anugrah (seperti yang diungkapkan oleh Musa).Di dalam perspekif kesia-siaan, tidak ada yang terluput satu orang pun di bawah matahari ini untuk menghindari penderitaan dan kesukaran, kita semua akan mengalaminya.Namun, ada cara baru di dalam menghadapi hal tersebut melalui anugrah Allah yang cukup di dalam ketidakberdayaan hidup kita, “sehingga kita pun bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami”.

Itulah anugrah. Dan adalah tawaran istimewa bagi kita semua untuk menjalani kehidupan ini sebagai sebuah perjalanan untuk mengalami anugrah demi anugrah Nya di dalam menghadapi setiap kesukaran dan penderitaan yang ada.

Di dalam kuasa anugrah dan kebenaran Nya, sebenarnya rumah kita yang sejati bukanlah di dunia ini (yang hanya mung mampir ngombe), tetapi di dalam kekekalan bersama dengan Allah, dimana tidak ada penderitaan, kesukaran, kesedihan dan air mata, karena semuanya diganti dengan sorak sorai, sukacita, dan kebahagiaan yang sejati di dalam Dia.

Salam Taklim

Kang Samad

Pf: kepada semua orang yang berduka, kiranya penghiburan yang sejati dari Allah mengganti setiap penderitaan dan kesukaran hidup kita dengan sorak sorai dan sukacita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline