[caption id="attachment_188674" align="alignleft" width="225" caption="Dahulu buta sekarang melihat"][/caption] Citra, engkaulah bayangan. Sebuah sajak lagu yang sering kita dengar dahulu kala ketika Festival Film Indonesia digelar. Sebuah bayangan tidak menggambarkan wujud sesungguhnya dari sesuatu. Banyak distorsi di dalamnya. Bayangan hanyalah model dari yang sesungguhnya. Dan harapannya bayangan tersebut dapat mewakili yang sesungguhnya. Industri periklanan sangat jago di dalam mencitrakan produk yang ingin dijualnya sesuai target konsumen yang ingin ditujunya. Para audien dibujuk untuk membeli berdasarkan bayangan yang dapat digambarkannya secara efektif kepada masyarakat. Image, citra, atau bayangan merupakan sebuah cara untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan efektif. Sehingga sebuah jargon, yaitu citra kita adalah diri kita, makin populer di dalam kehidupan kita. * * * Citra diri kita, atau (saya lebih suka menyebutnya) bayangan kita, merupakan bayangan dari diri kita yang sebenarnya. Karena pengenalan akan diri kita (baik oleh diri kita sendiri maupun orang lain) tidaklah pernah sampai sempurna; bahkan di dalam kuadran Johari (Johari Window) disebutkan bahwa ada bagian dari diri saya dimana saya sendiri maupun orang lain tidak mengetahuinya. Ketika kita memperkenalkan diri kita kepada orang lain, hakekatnya kita sedang memperkenalkan bayangan dari diri kita kepada orang lain. Itulah kita, tetapi belum tentu kita (yang sebenarnya). Mengenal dan dikenal adalah proses alami di dalam kita berhubungan dengan orang lain. Bayangan diri kita yang ingin kita tampilkan seyogyanya adalah diri kita yang sebenarnya, yang otentik. Sehingga orang lain tidak merasa tertipu. Layaknya sebuah komoditi, kita ingin juga menampilkan bayangan diri kita ’seolah’ merupakan sebuah bayangan yang unggul, sangkil dan mangkus serta berdaya jual tinggi. Bayangan diri kita tampilkan sedemikian rupa tanpa cacat dan cela. Alih-alih membuat orang semakin mempercayai kita, tetapi justru malah membuat seseorang merasa kecewa, karena ternyata seseorang yang dikenal sebelumnya bertindak seperti yang dapat dia bayangkan. Menampilkan bayangan dari diri kita, ternyata juga memerlukan effort yang besar. Pendidikan, status sosial dan ekonomi dapat meningkatkan bayangan diri kita dihadapan masyarakat. Dalam masyarakat modern ini, pengelompokkan justru di dasarkan kepada tipologi model bayangan yang ingin ditampilkan, sehingga semakin banyak tipe kelompok komunitas yang mempunyai kesamaan orientasi terhadap suatu bayangan tertentu. Dan di dalam kelompok tersebut, bayangan tentang diri kita diletakkan sehingga semakin memperkuat konsep diri yang ingin kita tampilkan. Ada suatu mekanisme yang dapat semakin memperkuat atau memperlemah bayangan kita. Hal itu sangat tergantung seberapa besar kita dapat menjaga bayangan diri kita di hadapan orang lain atau komunitas kita. Usaha untuk menjaga bayangan diri kita memudahkan kita untk terjebak kita penyangkalan terhadap siapa diri kita (yang sebenarnya). Sehingga malah membuat bayangan kita sebenarnya menjadi sangat jauh dari diri kita yang sebenarnya. Kita tentu menyetujui bahwa masyarakat kita semakin artifisial, semakin tidak nyata (un-real). Gagasan untuk menampilkan konsep diri yang tidak otentik dan orisinil merupakan hal yang sulit, karena godaan untuk mengelabuhi diri sendiri merupakan hal yang lumrah. Sehingga bayangan yang kita tampilkan adalah bayangan yang justru bukan diri kita yang sebenarnya. * * * Ketika kita jujur pada diri sendiri, kita akan tersentak kepada suatu kesadaran bahwa diri kita sering tidak seindah bayangan kita. Menjaga citra (jaga image; jaim) merupakan bahasa populer untuk mengendalikan citra diri kita dihadapan orang lain. Orang tidak melihat kita apa adanya (vulnerable), tetapi seperti memiliki topeng untuk menampilkan diri kita layaknya seorang aktor. Orang mudah tertipu dengan hal tersebut, dan diri kita pun juga dapat tertipu dengannya. Mempunyai citra yang otentik, transparan dan orisinil merupakan tantangan. * * * Bagaimana bisa ‘jaim’ dengan Tuhan? Bisa saja, kalau kita mau. Tetapi untuk apa? Permasalahannya memang bukan bisa atau tidak bisa? Karena gravitasinya bukan di diri kita, tetapi di Allah pencipta langit dan bumi. Pengakuan akan siapa diri kita kiranya lebih berharga dibandingkan usaha kita untuk mempersolek diri kita dihadapan Nya. Pemazmur Daud mengungkapkan di dalam bait puisinya :
"jauhkanlah aku dari kesesatan yang tidak aku sadari",
"sebab Engkau berkenan kepada kebenaran di dalam batin",
"jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah",
Pertumbuhan adalah proses kesadaran akan kebangkrutan, keberdosaan danketidakdapatdiandallkannya diri kita dihadapan Allah. Citra kita dihapanNya adalah bayangan hitam dosa, dan penemuan kesadaran akan bayangan hitam dosa itu membawa kita kapada tahta Allah yang penuh kasih karunia dan kebenaran. Bukankah di hadapan sinar tahta Nya yang panas suci itu penuh dengan kasih karunia dan kebenaran, sehingga ketika ketika kita berdiri dihadapan Nya maka tidak ada bayangan menggelayuti hidup kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H