Lihat ke Halaman Asli

Respon Buku: Agama Tanpa Penganut

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_90103" align="alignleft" width="300" caption="Agama Ageming Aji"][/caption] Saya tertarik untuk menampilkan tulisan saya yang lalu terkait dengan agama setelah membaca resensi buku yang menarik melalui sebuah artikel di Kompas, "Pudarnya Nilai Nilai Agama". Di dalam pemahaman saya, di dalam hubungan saya dengan Sang Khalik, ternyata inisiatif dan karya Allah sebenarnya yang menjadi pusat  dasar penyembahan. Bukan saya (manusia) yang memulai, tetapi sebenarnya hidup iman saya adalah sebuah respons terhadap apa yang telah, sedang dan akan Allah kerjakan di dalam dunia ini. Relasi saya dengan Sang Khalik bukan merupakan sebuah kompetisi untuk menunjukkan kebisaan dan aktualisasi diri manusia di hadapan Allah, justru sebaliknya, Allah yang penuh rahmat dan kebenaran ingin mencurahkan anugrah demi anugrah Nya di dalam "ketidakbisaan" saya dihadapan Nya. Saya mendaur ulang atau mengikutkan tulisan saya terdahulu, "Di Sorga Tidak Ada Agama", di dalam tulisan berikut ini. * * * Secara alamiah setiap kita terhisap di dalam kelompok identitas yang bisa saya sebutkan berikut ini, yaitu kaum, suku, bangsa dan bahasa. Identitas itu adalah ”given”, sejak lahir “ceprot“ dunia, identitas itu melekat kepada kita, bahkan sebelum sebuah kata disematkan sebagai nama bagi kita. Saya tidak bisa membuang atau mengganti identitas itu sampai maut menjemput kita, misalnya saya ingin menjadi suku lain, atau bangsa lain. Itu adalah penipuan dan penyangkalan.

Namun di sisi lain ada identitas-identitas yang didapat bukan secara alamiah, tetapi melalui usaha manusia, saya suka menyebutnya identitas yang artificial, misalnya gelar yang diperoleh melalui pencapaian di bidang pendidikan, pekerjaan/karir, profesi, keagamaan, sosial-kemasyarakatan dan sebagainya. Ada konsekuensi di dalam kategori ini, yaitu bahwa ketika identitas tersebut dicapai karena usaha, maka terdapat sebuah jenjang prestasi/kinerja seseorang di dalam mendapatkan kelayakan menggenggam identitas tersebut. Setiap orang yang telah mencapai kriteria tertentulah yang berhak mendapatkannya, sehingga implikasi logisnya adalah sebenarnya tidak semua orang akan bisa mendapatkan identitas tersebut. Identitas yang telah dicapai tersebut bersifat sementara, bahkan bisa diganti, berubah, atau ditanggalkan.

Di dalam identitas yang artificial, nilai diri seseorang ditentukan oleh apa yang bisa dicapai, diraih, dimiliki, digenggamnya. Hal ini berkebalikan dengan identitas alamiah yang saya sebutkan di atas, bahwa nilai diri seseorang bukan ditentukan oleh hal tersebut, tetapi apa yang dianugrahkan kepadanya.

Identitas alamiah saya adalah sebuah anugrah, saya tidak perlu membelinya dan diberikan secara adil kepada siapa pun. Setiap orang di muka bumi ini pasti terhisap di dalam kategori identitas tersebut di atas.

Ketika bertemu dengan kerabat dari keluarga besar yang tidak kami kenal, pertanyaan pertama yang muncul saat perkenalan adalah (dan biasanya diucapkan di dalam daerah, adalah tentang siapa kamu? Siapa ayahmu? Siapa ibumu? Siapa kerabatmu? Dan dari mana kampung halamanmu? Ketika semua sudah bisa dijawab, maka jelaslah posisi kekeluargaan saya di dalam konteks kaum keluarga besar saya, dan bagaimana saya harus menempatkan diri dan bersikap di dalam relasi tersebut.

Kebermaknaan saya ditentukan oleh posisi relasi yang terjadi. Saya tidak dinilai dari apa yang saya capai atau prestasi saya, tetapi saya dinilai karena siapa saya yang sebenarnya di dalam konteks relasi tersebut.

Namun ada sesuatu yang menggelitik ketika melihat dimensi kategori identitas asli tersebut, kenapa tidak ada agama di dalamnya? Bukankah agama menjadi faktor yang sangat penting?

Di dalam kaum keluarga saya, misalnya, saudara ibu saya tetaplah sebagai paman saya meskipun kami mempunyai identitas agama yang berbeda. Saya tetap memanggil Paman kepadanya, dan anak-anak Paman saya adalah saudara saya. Saya, ibu dan paman diikat di dalam satu kaum, dan kaum diikat di dalam suatu suku, dan suatu suku atau bangsa dicirikan suatu bahasa tertentu. Kategori-kategori yang “given” tersebut menghisap kami semua di dalam sebuah relasi yang generik dan bermakna. Tetapi hal yang sebaliknya terjadi ketika saya memetakan relasi-relasi di dalam kategori-kategori di luar yang “given” tadi, saya seperti membuat benteng pembeda antara saya dan mereka/liyan.

Saya tidak bisa mengabaikan fakta ini bahwa begitu kuatnya benteng-benteng formalism atas nama agama yang justru membuat relasi-relasi alamiah yang ada menjadi berantakan, atau malah mendudukan agama sebagai penentu relasi-relasi alamiah yang ada, sehingga pihak yang berbeda adalah liyan.

Momen lebaran di dalam keluarga besar saya merupakan sebuah momen silaturahmi keluarga besar. Meskipun keluarga inti saya tidak ber-idhul fitri, tetap saja kami semua ikut berhari raya, karena dapat dipastikan keluarga besar akan berbondong-bondong mendatangi rumah orang tua saya sebagai tempat tujuan utama dan pertama untuk silaturahmi karena orang tua adalah yang paling dituakan dan mereka semua “sungkeman” di rumah kami. Ayah tidak pernah lupa menyiapkan lembaran uang rupiah baru dan memberikan kepada setiap kerabat yang datang. Mereka adalah paman, bibi, anak, cucu, dan saudara-saudara saya. Hal ini bisa terjadi mungkin dikarenakan kami tetap bisa lebur di dalam perbedaan tersebut, ataukah sebenarnya karena kami semua sedang menempatkan relasi-relasi alamiah yang ada itu sebagai dasar memandang hubungan kemanusiaan yang sejati, sehingga kami menikmati keberbedaan yang ada.

Sebagai orang yang percaya kepada berita Injil, saya mulai mengkaji hal ini, apakah Allah menggunakan sebuah kategori yang sama di dalam memandang keberhargaan saya sebagai manusia di hadapan Allah. Apakah Allah menggunakan benteng-benteng formalism yang menjadi pemisah antara saya dengan liyan, atau justru Injil menerobos benteng-benteng formalism tersebut, dan memulihkan serta membaruinya.

Sebuah definisi berita Injil yang paling sederhana tetapi yang paling mengena bagi saya adalah, “Saya adalah orang berdosa tetapi dikasihiNya”.

Ketika kedua kategori di atas saya pandang di dalam definisi tersebut di atas, maka sudah selayaknya saya mengakui bahwa kategori yang “given” tersebut lebih tepat disematkan kepada intisari berita Injil tersebut, yaitu bahwa setiap orang manusia yang terhisap di dalam kaum, suku, bangsa dan bahasa adalah orang berdosa yang dikasihiNya.

Dibutuhkan kerendahan hati yang sejati untuk beraudiensi di hadapan Allah, karena bagiNya tidak ada orang pandai, kaya, suci, hebat, berhikmat dsb.. Siapakah yang dapat bertahan di hadapan panas api Nya yang suci, demikian bait puisi Chairil Anwar ketika mengakui kebangkrutan hidupnya di hadapan Allah? Sejujurnya saya mengaku saya tidak bisa bermegah dengan segala pencapaian kebisaan saya.

Justru mata Allah menjelajah seluruh bumi untuk mencurahkan anugrah Nya kepada yang bersungguh hati mencari Dia,  orang yang menyadari keberdosaan dirinya,  dari situ lahir sebuah seruan iman yang dilantunkan sebagai pengharapan akan keselamatan dari Allah.

Namun ketika saya meletakkan kategori identitas yang artificial,dan juga saya masukkan identitas agama di dalam kategori ini, maka saya kesulitan untuk membuat sebuah kesimpulan yang paling mungkin. Karena sejatinya kehidupan saya dihadapan Allah yang Maha Adil tidak ditentukan oleh pencapaian identitas artificial saya, dan kasihNya yang sempurna tidak memandang muka.

Di hadapan berita Injil saya tidak bisa bermegah di dalam kemegahan artificial yang saya capai, tetapi justru dibutuhkan kerendahan hati yang sejati.Dan ketika saya bermegah di dalam segala identitas artificial saya, maka saya sudah menganggap murahan keadilan dan kasih karunia Allah yang tidak terbatas bagi semua orang, sangkanya saya bisa membelinya dengan segala usaha saya.

Dan kasih adalah sebuah kata yang memberi makna sebuah relasi. Ketika kata itu menjadi dasar pengikat sebuah relasi, maka relasi itu mendapatkan maknanya yang sejati. Intisari berita Injil adalah kasih Allah yang sejati dan sempurna memulihkan relasi antara manusia dan Allah. Sehingga saya bisa menyembah kepadaNya tanpa rasa takut dan di dalam keikhlasan hati serta penuh ucapan syukur. Di dalam kasihNya, saya terhisap di dalam relasi yang baru dengan Allah, sehingga saya dimampukan menyebutNya, Bapa Kami yang Di Surga.

Syukur kepada Allah, Isa Almasih tidak membawa agama, tetapi menghadirkan berita sukacita (Injil) Kerajaan Allah, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan justru menembus benteng-benteng formalism yang artificial tersebut dan selalu siap sedia mencurahkan kasih penerimaannya yang tanpa syarat kepada setiap orang yang menerima berita tersebut. Dimana pemerintahan Allah yang ruhaniah itu hidup, berkuasa pada setiap hati umat kepunyaanNya.

Ketika saya membatasi kerja berita Injil di dalam identitas lahiriah yang formalistik, maka justru kuasa dari Injil yang membarui dan mengubahkan itu hilang, dan saya terjebak kepada legalisme syariat keagamaan yang semu, dan terkungkung tembok-tembok rumah ibadah. Saya menyadari bahwa berita Injil, yang adalah kekuatan Allah yang mengubahkan itulah yang dinantikan setiaporang, mereka tidak membutuhkan sebuah identitas artificial yang baru lagi yang perlu disematkan untuk menggantikan yang lama, tetapi justru setiap orang membutuhkan sebuah pembaruan identitas hidupnya di dalam anugrah dan kebenaranNya. Di dalam berita Injil inilah Allah menjadi pusat gravitasi segala karyaNya, dan menggoreskan meterai ruhani di dalam setiap hati orang yang menerimanya.

Terdapat sebuah nubuatan menarik yang termaktub di dalam kitab terakhir di dalam Alkitab, yaitu Kitab Wahyu, ketika Isa Almasih datang di dalam segala kemuliaanNya, nubuatan itu mengatakan demikian :

Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!" Wahyu 7:9-10

Bagi saya, ini adalah penggambaran apa yang terjadi di sorga mulia kelak. Umat manusia milik kepunyaan Allah yang terhisap di dalam kategori kaum, suku, bangsa dan bahasa berdiri, memuji dan menyembahan di hadapan Allah yang kekal. Di sorga mulia kelak tidak ada agama, tetapi sekumpulan orang-orang dari berbagai kaum, suku, bangsa dan bahasa yang telah ditebusNya.

Kelak, Allah tidak bertanya apa agamamu kepada manusia, tetapi Allah ingin memastikan apakah kita terbilang orang-orang yang dikenalnya. Sungguhlah merugi mereka yang kepadanya Allah berkata, "Aku tidak mengenalmu, sehingga pintu (surga) itu tidak dibukanya."

Di sana tidak ada air mata, penderitaan berakhir, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal mengalir bagaikan ombak yang tidak pernah berhenti, kata pujian dan pengagungan terucap kepadaNya, kasihNya dirayakan dan kebenaranNya dinikmati dan Allah menjadi penerang yang kekal abadi.

(Penutup: Sama seperti Allah telah menyerakkan umat manusia sejak zaman banjir besar Nuh ke dalam berbagai kaum, suku, bangsa dan bahasa, demikian juga Ia kembali mengumpulkan mereka yang terhisap di dalam berbagai kaum, suku, bangsa dan bahasa di dalam rengkuhan kasih karunia dan kebenaranNya.)

Salam Taklim

Kang Samad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline