Di tahun politik 2014 ini, sebagai negara berbasis mayoritas muslim, rasanya ada yang kurang kalau belum menyentuh pembahasan mengenai Islam Politik (al-Islam as-Siyasi). Sebab, nama Islam kerap kali dibawa-bawa ke panggung politik, bukan bertujuan memuliakan Islam, tapi justru "merendahkan" martabat Islam itu sendiri. Juga, karena jargon-jargon Islam sering dijadikan komoditi untuk mendulang suara, mengelabui massa, dan ujung-ujungnya untuk memperoleh kursi kekuasaan.
Melalui kilasan sejarah, terlihat bahwa benih-benih pemikiran Islam politik berawal dari sekitar tahun 1924 pasca-berakhirnya khilafah Islamiyyah di Turki. Munculnya buku al-Islam Wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Hukum) karangan pemikir dari Mesir, Ali Abdel Raziq, dan perdebatan yang muncul di seputar kitab tersebut menjadi salah satu bukti sejarah. Buku tersebut muncul di antaranya untuk menampik spekulasi Mesir untuk menjadi penerus khilafah Islamiyyah. Inti dari buku tersebut di antaranya adalah bahwa Islam tidak pernah menyebutkan atau mewajibkan adanya sistem pemerintahan tertentu, seperti khilafah maupun yang lain. Sistem pemerintahan masuk dalam ranah ijtihadi yang dapat dikontekstualisasikan dengan realitas. Islam hanya meletakkan dasar dan prinsip berbangsa dan bernegara, seperti menjunjung tinggi nilai persamaan, keadilan, dan sebagainya.
Pada masa selanjutnya, penggunaan terma Islam politik sendiri baru populer sekitar akhir1980-an. Catatan dan kesaksian Said al-Asmamy dari Mesir dalam bukunya al-Islam as-Siyasy(Islam Politik) dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam hal ini. Dalam pengatar cetakan ketiga buku tersebut, al-Asymawy menulis, "sebelum buku ini dicetak dan diedarkan, berita mengenai judul buku (al-Islam as-Siyasy) sudah dimuat dalam sebuah majalah mingguan, sehingga judul tersebut menjadi poluler. Setelah buku ini semakin beredar luas pada tahun 1986, judul buku al-Islam as-Siyasyini menjadi ungkapan yang semakin santer, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional, bahkan ungkapan tersebut juga dipakai oleh penulis maupun penganut Islam politik itu sendiri".
Di Mesir, dari sekian banyak perwujudan Islam politik, al-Ikwanul Muslimun (selanjutnya disebut IM) merupakan salah satu organisasi pergerakan Islam yang paling kuat, berpengaruh, dan melebarkan pengaruhnya ke negara-negara lain. Bahkan, menurut klaim IM sendiri bahwa organisasi tersebut mempunyai cabang di 88 negara di dunia.
IM di Mesir adalah pusatnya, sehingga jatuh bangunnya IM di Mesir menjadi fenomena menarik yang layak mendapat perhatian tersendiri.
Organisasi yang didirikan oleh imam Hasan al-Banna pada tahun 1928 itu, terus eksis dan berkembang hingga kini meskipun sering berada di bawah tekanan dari pemerintah berkuasa.IM di Mesir menemukan momentumnya untuk naik ke atas panggung politiksaat memeroleh popularitas pasca revolusi pada Januari 2011. Momentum tersebut mencapai puncaknya ketika Presiden berasal IM, Mohammad Morsi, pada pemilu presiden secara langsung pada tahun 2012 dan dilantik pada bulan Juni 2012.
Naiknya penguasa IM di Mesir seolah menjadi "penanda" bahwa Islam politik mampu tampil ke depan untuk memimpin jalannya pemerintahan, sesuai dengan jargon yang selalu diusungnya "al-islam huwa al-hall" (Islam adalah solusi).
Namun demikian, di sisi lain, usia pemerintahan Presiden Mohammad Morsi hanya mampu bertahan selama satu tahun saja. Tepat satu tahun setelah presiden Morsi dilantik menjadi presiden, pada bulan yang sama tahun 2013 Morsi dilengserkan oleh militer Mesir yang mendapat dukungan dari jutaan rakyat Mesir.
Fenomena naik dan turunnya IM ini menyiratkan pertanyaan mengenai relevansi gerakan Islam politik di tengah-tengah nation-state. Dari fenomena tersebut dapat diambil pelajaran bagi negara-negara yang lain, terutama yang mayoritas penduduknya muslim.
Pada saat Morsi menjabat sebagai presiden Mesir, ia diberikan PR untuk menyelesaikan tuntutan revolusi 25 Januari, yaitu "'isy, hurriyyah, 'adalah ijtimaiyyah" (kecukupan pangan, kebebasan, dan keadilan sosial).
Masa satu tahun memang belum cukup menilai presiden Morsi dalam melakukan perbaikan-perbaikan di berbagai bidang, namun setidaknya masa tersebut sudah cukup untuk memberikan sinyal-sinyal menuju masa depan rakyat yang lebih baik. Yang terjadi adalah, rakyat merasa tidak percaya atas kemampuan memimpin presiden Morsi dan jika dibiarkan berlanjut justru cita-cita revolusi dianggap akan semakin jauh panggang dari api.
Akhirnya, melalui gerakan kaum muda yang disebut dengan "tamarrod" (pembangkangan), ketidakpercayaan rakyat tersebut dikumpulkan dalam bentuk tanda tangan, yang menurut klaim mereka, terkumpul hingga lebih dari dua puluh juta tanda tangan. Gerakan tersebut menemukan momentumnya ketika dikuatkan dengan ajakan dari Menhan/Pangab Mesir Abdel Fattah al-Sisy untuk memerangi terorisme di Mesir.
Pada tanggal 30 Juni 2013, menanggapi ajakan el-Sisy tersebut, rakyat Mesir tumpah ruah ke jalan, menuntut perbaikan dan menuntut diturunkannya Presiden Mohammad Morsi. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 2013, presiden Morsi harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Dari peristiwa tersebut, terlepas dari polemik seputar politik dalam negeri Mesir, setidaknya dapat diambil beberapa pelajaran berharga sebagai berikut.
Pertama, pada saat rakyat berada dalam tekanan dan kesulitan secara ekonomi, sentimen maupun jargon-jargon ke-Islam-an ternyata tidak cukup kuat menjadi iming-iming dalam pemerintahan yang mayoritas muslim. Barangkali tidak ada yang meragukan kesalihan pribadi presiden Morsi dan orang-orang di sekelilingnya yang memang pemeluk Islam militan dan ahli ibadah. Dalam logika organisasi, kesalihan semacam itu mungkin cukup, namun dalam logika pemerintahan dengan beraneka ragam rakyatnya, dituntut juga adanya perpaduan dengan kesalihan sosial-ekonomi-politik.
Kedua, menurut keterangan dari beberapa tokoh di Mesir, IM pada awalnya adalah gerakan dakwah yang kemudian memperluas diri mencakup gerakan politik (Islam politik). Para ahli tersebut menekankan, saat IM menginginkan untuk menggenggam dakwah dan daulah (negara/pemerintahan) secara bersamaan, maka ia kehilangan kedua-duanya. Sejak November 2013 lalu IM di Mesir dinyatakan oleh pemerintah berkuasa sebagai organisasi terlarang. Dakwah ada ilmunya dan pemerintahan juga ada ilmunya, yang dibutuhkan adalah kerja sama antara para ahli di bidangnya masing-masing atau dalam istilah keseharian kita adalah bersatunya ulama dan umara'.
Ketiga, perlunya kecerdasan dan kecermatan memahami perbedaan antara Islam sebagai agama dan pemahaman ke-Islam-an yang diarahkan ke ranah politik. Islam adalah agama yang berlaku umum dan menyeluruh, sedangkan Islam ketika dijadikan sebagai jargon dan kendaraan politik, maka ia sesungguhnya telah dikebiri, dinisbikan dan sarat kepentingan sesaat. Jika setiap pemeluk agama secara orang-perorangan menjalankan agamanya dengan baik, maka dampaknya adalah kebaikan pada keluarga, masyarakat, dan negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Silakan mengaca dari pengalaman Mesir itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H