Lihat ke Halaman Asli

Kang Rozaq

Pendakwah, Aktivis Sosial dan Keagamaan, Laskar Pelayan Jama'ah (LPJ)

Hidup sebagai Musafir: Meraih Akhirat dengan Kesadaran Diri

Diperbarui: 22 November 2024   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Kegiatan Ziarah di lingkungan Pondok Biba'afadlrah Malang & Sumber Gambar Koleksi Pribadi

Kehidupan dunia ini adalah persinggahan, sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan, godaan, dan ujian. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kelembutan dan hikmahnya menyampaikan sebuah nasihat mendalam dalam sebuah hadist riwayat Bukhari nomor hadist 6416 yaitu: 'Ali bin 'Abdullah telah menceritakan kepada kami: Muhammad bin 'Abdurrahman Abul Mundzir Ath-Thufawi menceritakan kepada kami, dari Sulaiman Al-A'masy, beliau mengatakan: Mujahid menceritakan kepadaku, dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang pundakku seraya bersabda, "Jadilah di dunia seakan-akan engkau seorang yang asing atau seorang musafir." Ibnu 'Umar mengatakan: Apabila engkau berada di sore hari, janganlah engkau menunggu-nunggu pagi hari. Apabila engkau di pagi hari, janganlah engkau menunggu sore hari. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan manfaatkanlah masa hidupmu untuk menghadapi kematianmu.

"Jadilah di dunia seakan-akan engkau seorang yang asing atau seorang musafir", merupakan sebuah perumpamaan yang singkat tetapi sarat makna, mengajarkan kita bagaimana seharusnya memandang hidup ini dengan perspektif yang benar. 

Bayangkan seorang musafir yang menempuh perjalanan panjang. Ia tidak pernah berhenti terlalu lama di satu tempat, karena tujuannya bukan di sana. Ia selalu menjaga bekal dan arah jalannya, sebab ia sadar bahwa perjalanan ini sementara, dan tujuan akhirnya adalah rumah yang abadi.

Dalam pandangan islam, kehidupan dunia hanyalah sebuah tempat yang seringkali melalaikan manusia dari tujuan utamanya: pertemuan dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Perspektif lain menekankan kehidupan dunia sebagai ladang amal, tempat untuk mengumpulkan bekal sebanyak mungkin sebelum perjalanan panjang menuju akhirat. Kedua pandangan ini saling melengkapi dalam memandu seorang Muslim untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh. 

Dunia adalah tempat persinggahan sementara, sedangkan akhirat adalah rumah sejati. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:  "Kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?." (QS. Al-An'am: 32)

Seorang musafir tidak pernah menetap pada tempat yang ia singgahi. Ia menyadari bahwa waktunya terbatas dan ada tujuan akhir yang harus dicapai. Begitu pula, seorang mukmin harus sadar bahwa kehidupannya di dunia hanyalah sementara. Tidak ada yang abadi di dunia ini, kemewahan, kekuasaan, bahkan tubuh fisik kita akan hancur dan sirna. Rasulullah mengajarkan untuk hidup dengan kesadaran penuh akan kefanaan ini, sehingga hati tidak terpaut pada dunia dan semua isinya, meskipun seseorang tetap bekerja dan berusaha di dalamnya. Bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi memanfaatkan dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, menekankan bahwa kehidupan dunia adalah tempat beramal. Setiap detik dimanfaatkan untuk kebaikan dan ibadah, sebab waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali. 

Dalam hadist tersebut memberikan nasehat, yang sangat praktis: "Apabila engkau berada di sore hari, janganlah engkau menunggu pagi hari. Apabila engkau di pagi hari, janganlah engkau menunggu sore hari." Ini adalah panggilan untuk hidup di saat ini (living in the present), memanfaatkan setiap momen untuk mendekat kepada Allah dan melakukan amal shaleh. 

Manusia seringkali tertipu oleh rasa aman yang semu. Kita merasa seolah-olah masih memiliki banyak waktu, sehingga sering menunda-nunda kebaikan. Padahal, kematian datang tanpa pemberitahuan. Rasulullah mengingatkan, manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakit, dan manfaatkan masa hidupmu sebelum ajal menjemput. 

Seorang musafir yang bijak selalu memastikan bekalnya cukup untuk sampai ke tujuan. Dalam konteks kehidupan ini, bekal itu adalah amal shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan ketakwaan kepada Allah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:  "Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al-Baqarah: 197). Di ayat lain Allah SWT. berfirman "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia." (QS. Al-Qasas: 77) 

Amal shaleh yang dilakukan dengan ikhlas adalah investasi terbaik untuk akhirat. Rasulullah bersabda:  "Ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang shaleh." (HR. Muslim, no. 1631) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline