Lihat ke Halaman Asli

Menyusuri China Town From Bloemenstad (Tamat)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_111842" align="aligncenter" width="300" caption="Menyusuri pecinan pun berakhir di depan kelenteng satya budhi"][/caption] Ahad 4 April 2010, saya bersama komunitas Aleut menyusuri China Town alias pecinan di kota kembang. Pecinan sendiri terbagi menjadi tiga wilayah, pertama Pecinan Lama di daerah kampung / jalan Suniaraja di depan Pasar Baru, Kedua Pecinan di belakang pasar baru hingga kebonjati dan yang terakhir dari jalan gardu jati hingga kawasan Andir. Setelah kami mereguk segelas minuman khas Jawa Barat yang dikenal dengan nama Es Goyobod, perjalanan pun kami lanjutkan menuju jalan Belakang Pasar Baru. Lazimnya sebuah pasar, ketika menyusuri di sana kami mendapati suasana pasar yang hiruk pikuk plus sedikit sampah di sana sini. Apalagi dengan cuaca kota Bandung yang semakin hari bagi penduduknya terasa panas "ngaheab" alias panas sekali sungguh tak terasa nyaman. Tapi bagi kami semua itu tak menjadi hambatan tuk terus menelusuri jejak-jejak etnis tionghoa di kota kembang. Di jalan Belakang Pasar Baru berderet toko-toko dengan arsitektur tempo doeloe. Tepat jam 10.00 kami pun berhenti di sebuah rumah yang berada di seberang kios cakue Osin.Lagi-lagi tanpa dikomando pun sebagian dari rombongan menyerbu tuk mencicipi cakue tersebut. Cakuenya memang besar sekali hingga hampir semua dari rombongan mencicipi cakue yang terasa lezat dan nikmat yang terkenal sejak tahun 1920. Setelah kami menikmati cakue Osin, perjalanan pun dilanjutkan ke sebuah bangunan yang dulunya adalah sebuah Pistren alias bioskop pada masa kolonial. Bioskop ini awalnya bernama Preanger terus berubah jadi Luxor dan terakhir berganti nama menjadi Roxy. Di bioskop ini pada tahun 1926 sempat menampilkan film pertama yang bisa berbicara dan sudah barang tentu warga bandung pun berbondong-bondong memadati bioskop ini. Namun ada kisah sedih bagi warga pribumi jika mereka menonton di bioskop, jika para bule belanda dan eropa menonton tepat di depan layar maka warga kita menyaksikan film yang lagi diputar itu di belakang layar. Kembali ke gedung bioskop tadi, bangunan tersebut kini telah berubah fungsi menjadi sebuah kantor asuransi. Perjalanan pun diteruskan ke jalan Basar, jalan ini lebih dikenal oleh masyarakat Bandung dengan nama pasar Barabadan. Di sini kita akan menemukan beragam perlengkapan rumah tangga berbahan bambu dan ramah lingkungan, mulai dari boboko (wadah nasi), tolombong (wadah besar serbaguna) sapu ijuk, kamoceng dan lain sebagainya. Kemudian setelah melewati pasar Barabadan kami pun berjalan menuju Hotel Surabaya di jalan Kebon Jati. Hotel ini dibangun pada tahun 1886 yang merupakan hotel generasi pertama yang didirikan di kota kembang seiring dengan masuknya rel kereta ke kota Bandung pada tahun 1884. Namun sayang ketika kami mencoba mampir kesana, petugas keamanan hotel tidak memberikan izin karena hotel sedang dilakukan pemugaran dan pembangunan kembali. Bandung di tengah hari semakin terasa panas, kami pun terus berjalan memasuki jalan Gardu Jati kemudian melewati Kawasan Saritem dan akhirnya sampai di jalan Kelenteng. Di sini berdiri sebuah kelenteng bernama Satya Budhi sejak tahun 1865, awalnya kelenteng ini bernama Hiop yang artinya Istana Para Dewa dan pada tahun 1885 berganti nama lagi menjadi Than Ki Ong. Ada kisah yang menarik dengan kelenteng tersebut, sebelum Khong Hu Cu diakui sebagai agama di negeri ini, maka para penganutnya menumpang melakukan ritual di vihara budha. Setelah pada masa reformasi dan para penganut Khong Hu Cu pun leluasa melakukan ritualnya pada tempat yang semestinya. Maka sekarang kita akan mendapati sebuah kelenteng Satya Budhi berdiri berdampingan dengan Vihara Budha Gaya.

***tamat*** -rmd- Yuk.. lihat artikel terkait *Menyusuri China Town From Bloemenstad (1) *Menyusuri China Town From Bloemenstad (2) *Menyusuri China Town From Bloemenstad (3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline