Lihat ke Halaman Asli

Mata Merah

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14323050171526600466

Oleh: Doel Kangpardi

Rendi menggandeng tangan kanan Dendi, sang adik, menyusuri trotoar dengan gontai. Tangan kanan sang kakak tampak kelelahan membawa tas lusuh berisi harta paling berharga, apa pun yang mereka miliki. Rumah tua terlihat di ujung jalan, dengan halaman penuh semak dan sebatang pohon tua dekat teras. Kakak beradik saling pandang, masing-masing menyimpul senyum.

"Kak..."

"Ya, aku tahu maksudmu. Semoga tak berpenghuni sehingga malam ini bisa kita tempati."

Keduanya bergegas, langkah pun kembali bergas. Setengah berlari sang adik mengimbangi langkah Rendi.

"Tunggu, Kak, jangan terlalu cepat jalannya," keluh si kecil berambut keriting, protes.

Mentari sudah tak kelihatan lagi, pertanda senja sudah merapat pada dinding malam. Hari kamis telah menyerahkan tahta, bersiap mengabdikan malam menunggu jumat, keramat orang mengatakan. Sampailah kedua kakak beradik di teras rumah tua, Rendi mengulurkan tangan, bukan untuk menjabat--tak ada tuan rumah yang menyambut--melainkan bermaksud membuka pintu. Krieett...

Seolah tak ingin diketahui, kepalanya melongok ke dalam. Alangkah kagetnya saat tahu apa yang dilihat, seolah tak percaya. Tanpa sengaja tangan yang memegang pintu bergerak merapat.

"Aduh!" keluh Rendi, lehernya terjepit pintu.

***

"Dingin, Kak...," keluh Dendi, beringsut merapat tubuh sang kakak.

"Sabar ya, Dik. Rejeki kita malam ini tidur di sini."

"Tapi aku takut, ini kan malam jumat, Kak."

"Sudah-sudah..., Adik tidur saja, sini di pangkuan kakak."

"Tapi Kak...," belum selesai sang adik bicara, tiba-tiba...

"Hiii-hi-hi-hi--," terdengar tawa melengking dari arah pohon tua di depan rumah.

"A-apa itu?"

Dendi seketika melompat dari tidur, memeluk Rendi. Tubuh menggigil, entah karena takut atau kedinginan, mungkin juga keduanya. Ketika lengkingan tawa itu berhenti, malam menjadi senyap. Bisa jadi jengkerik dan kelelawar pun ketakutan. Dendi mengedarkan pandangan, menyapu setiap inci pekarangan dengan tatap penasaran.

"Siapa di situ?" setengah teriak lelaki kerempeng itu memberanikan diri.

Tak ada jawaban selain tiupan angin malam menggerakkan ujung daun-daunan pohon di pojok teras. Suasana terasa makin mencekam, memaksa bulu-bulu halus di kuduk untuk berbaris, terasa tebal d itengkuk.

"Tunggu di sini, Dik, akan kakak periksa sekitar," sembari melepas rangkulan Rendi.

Perlahan bangkit melirik sepotong kayu yang tergeletak, tangan kanan berusaha meraihnya.

"T-tidak m-mau..., aku i-ikut!"

Setengah berjingkat melangkahkan kaki, berhati-hati sekaligus waspada. Rendi mengekor, kedua tangan memegan ujung baju kakaknya, melangkah dalam ketegangan suasana.

"Hii-hi-hi-hi--," terdengar lagi lengkingan tawa.

***

Rendi sibuk membongkar tas, mencari-cari sesuatu di dalamnya.

"Ini dia!" pekiknya girang, "ini, Kak...," tangannya terulur ke belakang, memberikan yang ditemukan pada sang kakak.

Rupanya si kecil tak berani menatap langsung sesosok berpakaian putih di depan kakaknya. Dendi menerima dengan dengan tangan sedikit gemetar. Sejenak melirik benda di tangan, selanjutnya mengulurkan ke depan.

"Nih, obat sakit mata. Milikmu merah tuh, mungkin kena iritasi."

Sosok dengan kuncir di kepala dan hanya tampak sewajah itu terlihat kebingunan. Sepertinya ingin menepok jidat, namun kedua tangannya terikat sedekap di dada, dalam balutan kain putih.

SELESAI
Kakimerapi, waktu tlah terlewati




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline