Sebagai pendidik sekaligus pemerhati dunia pendidikan di Indonesia, berita tentang Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI, Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang mengungkapkan kelemahan utama lulusan perguruan tinggi di acara Indonesia Rector Forum 2024, cukup menggelitik perhatian saya. Pernyataan beliau bahwa banyak lulusan S1 di Indonesia memiliki kelemahan dalam membaca, menulis, dan memiliki etos kerja yang kurang baik bukan hanya sebuah kritik, tetapi juga cermin bagi kita semua, terutama bagi institusi pendidikan.
Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya sering kali berhadapan dengan mahasiswa yang memiliki potensi besar tetapi sering kali terkendala oleh hal-hal mendasar seperti kemampuan literasi dan motivasi kerja. Pernyataan Pak Satryo ini sangat relevan karena menyentuh akar masalah: bagaimana perguruan tinggi mempersiapkan lulusannya untuk terjun ke dunia kerja yang penuh tantangan?
Membaca: Kemampuan yang Mulai Terlupakan
Dalam dunia yang serba digital, kemampuan membaca yang mendalam sering kali terabaikan. Mahasiswa lebih sering mengandalkan search engine untuk mendapatkan informasi cepat tanpa mendalami literatur yang sebenarnya. Ini membuat mereka kehilangan kemampuan untuk memahami konteks dan menganalisis informasi secara kritis. Ketika mereka masuk ke dunia kerja, kemampuan ini sangat dibutuhkan, terutama untuk memahami dokumen teknis, kebijakan, atau bahkan sekadar beradaptasi dengan lingkungan baru.
Menulis: Seni yang Mulai Redup
Menulis adalah keterampilan yang bukan hanya soal menyusun kata-kata, tetapi juga mengkomunikasikan ide secara efektif. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak dibekali dengan kemampuan ini secara optimal selama di bangku kuliah. Ketika menghadapi dunia kerja, kemampuan menulis laporan, membuat proposal, atau menyusun presentasi sering menjadi tantangan berat bagi lulusan baru.
Saya mencoba memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berlatih menulis secara lebih intensif, baik melalui tugas akademik maupun proyek-proyek non-akademik. Tetapi saya sadar, upaya individu saja tidak cukup. Perlu ada perubahan sistemik dalam kurikulum untuk memastikan mahasiswa memiliki waktu dan kesempatan mengasah keterampilan ini.
Etos Kerja: Mentalitas yang Harus Diasah
Bukan hal baru jika sebagian lulusan perguruan tinggi masih memiliki mentalitas "yang penting lulus". Padahal, dunia kerja menuntut etos kerja yang lebih dari itu. Kemampuan untuk bekerja keras, disiplin, dan memiliki inisiatif menjadi nilai utama yang dicari oleh para pemberi kerja. Sayangnya, banyak mahasiswa yang belum dilatih untuk menghadapi tekanan atau tantangan ini selama masa kuliah.
Sebagai pengajar, saya sering merasa bahwa tantangan terbesar adalah bagaimana menanamkan mindset pembelajar seumur hidup kepada mahasiswa. Saya percaya, etos kerja adalah sesuatu yang bisa dilatih jika diberikan lingkungan yang mendukung.
Pemaparan Pak Satryo seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua---pendidik, institusi, dan bahkan mahasiswa itu sendiri---untuk lebih serius mempersiapkan lulusan yang siap menghadapi dunia kerja. Perguruan tinggi perlu mengevaluasi kurikulumnya, pendidik perlu lebih kreatif dalam membimbing mahasiswa, dan mahasiswa sendiri perlu mengambil tanggung jawab atas pengembangan dirinya.
Saya percaya, pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika kita semua mau bekerja sama untuk mengatasi kelemahan ini, bukan tidak mungkin lulusan perguruan tinggi Indonesia akan menjadi sumber daya manusia yang kompeten, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H