Kebijakan LPDP yang mengatur bahwa alumni penerima beasiswa tidak diwajibkan untuk pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan studi menjadi topik hangat yang patut dibahas. Sebelumnya, aturan LPDP mensyaratkan alumni untuk kembali ke Tanah Air selama 2n+1 tahun (dua kali masa studi ditambah satu tahun). Namun, setelah memenuhi kewajiban ini, apakah alumni berhak menentukan langkahnya sendiri, termasuk menjadi diaspora?
Menurut saya, kebijakan ini memberikan fleksibilitas, tetapi Indonesia tampaknya belum siap dengan konsekuensi banyaknya diaspora. Dalam pengalaman pribadi saya belajar di luar negeri, ada fenomena unik: sebagian orang Indonesia yang tinggal di luar negeri terkadang memilih meninggalkan identitas Indonesianya.
Mereka yang tergabung dalam forum-forum Indonesia mungkin menunjukkan kebanggaan dan solidaritas, tetapi berbeda halnya dengan yang tidak bergabung---bahkan seringkali interaksi di ruang publik terasa hambar.
Diaspora, idealnya, adalah kumpulan individu yang tetap bangga dengan Indonesia dan berkontribusi dari luar negeri. Namun, jika mentalitas yang dominan adalah "lari" dari masalah finansial, sosial, atau politik di Indonesia, maka tujuan diaspora menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu, kecintaan terhadap Indonesia perlu terus dipupuk. Diaspora yang kuat lahir dari individu yang bangga membawa nama bangsa, bukan yang ingin "escape" dari tanah air.
Untuk memastikan alumni LPDP memberikan kontribusi nyata, menurut saya, evaluasi harus berfokus pada rekam jejak calon penerima beasiswa---baik karier, aktivitas sosial, maupun kontribusi di masa lalu. Meskipun saat ini proses seleksi lebih banyak bergantung pada esai dan wawancara (yang bisa dilatih), penting untuk menambahkan penilaian berbasis peran nyata di komunitas sebelumnya.
Selain itu, alumni seharusnya memiliki action plan yang jelas tentang bagaimana mereka akan berkontribusi setelah menerima beasiswa. Platform seperti Mata Garuda, organisasi alumni LPDP, bisa dioptimalkan menjadi wadah yang lebih dari sekadar pelatihan untuk calon penerima beasiswa. Mata Garuda bisa menjadi talent pool untuk menjaring kolaborasi dan inovasi yang berdampak luas.
Lalu Apakah Dana LPDP Sudah Sesuai Prioritas Nasional?
Menurut saya, penggunaan dana LPDP sudah baik dan sesuai prioritas. Tantangannya ada pada mentalitas penerima beasiswa, yang beberapa di antaranya tidak berorientasi pada pengabdian untuk Indonesia. Padahal, kontribusi tidak selalu harus berbentuk pengabdian di dalam negeri; diaspora yang berkontribusi dari luar pun bisa membanggakan Indonesia.
Kita juga harus berterima kasih kepada alokasi 20% APBN untuk pendidikan, yang sebagian digunakan untuk program seperti LPDP. Sebagai penerima manfaat, kita memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan apa yang telah diberikan negara, baik melalui inovasi, kontribusi sosial, maupun pengabdian langsung.
Saya pribadi belum menjadi bagian dari alumni LPDP karena belum berhasil meraih beasiswa untuk studi S2 luar negeri, meskipun telah mempersiapkan kemampuan bahasa Inggris dan surat penerimaan dari universitas tujuan. Namun, saya optimis suatu saat akan menjadi salah satu awardee dan berkesempatan berkontribusi lebih besar untuk bangsa melalui jalur pendidikan.
Secara pribadi, saya berkomitmen untuk kembali ke Indonesia setelah studi. Anak, istri, dan karier saya ada di sini. Selain itu, saya juga tengah membangun institusi riset di universitas tempat saya bekerja, dengan scope internasional yang tetap berlandaskan kepentingan bangsa. Saya percaya, kontribusi terbaik dimulai dari tanah air.