Lihat ke Halaman Asli

Sepatu Sol Karet

Diperbarui: 7 Desember 2015   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TERTEGUN oleh satu hal. Ingat hal lain. Lalu melamun. Di sebuah sore, saya menyimak seorang mahasiswa mempresentasikan skripsinya. Ketua sidangnya, kepala program studi muda yang suka disapa histeris cewek-cewek kampus. Saat itu, penguji ahli (rahasia ya, dia punya katashinta.wordpress.com),  memancing sejumlah pertanyaan cerdas. Si mahasiswa, bercerita—lebih menarik dari caranya bertutur lewat tulisan J—tentang anak-anak muda yang tergila-gila pada sneakers. Itu lho, sepatu bersol karet; zaman saya kecil, sepatu model ini hanya untuk olahraga. Sekarang sih, penting buat gaya.

Orang-orang ini, yang dia ceritakan, mengoleksi sneakers yang harganya bikin ‘merinding’ bulu kaki. Dan tentu, khas kolektor, mereka nyaris selalu tergoda untuk mendapatkan produk baru.

Penjelasan dan cerita si mahasiswa tadi, membuat saya melamun. Punya hobi koleksi sesuatu, saya pikir, oke. Saya juga koleksi kaos kaki sebelah, kok. Saya bisa membayangkan senang, bangga, dan pede-nya seseorang dalam hubungan sosial mereka—setidaknya di lingkungan sesama pehobi—ketika berhasil mendapatkan (membeli) satu jenis sepatu ‘langka’, misalnya. Efek psikologisnya susah dijelaskan. Rasanya, gitu deh. Apalagi saat sepasang sepatu dimaksud dipakai (ingat sepasang saja yang dipakai, ya..). Ketika melangkah, banyak tatapan mata tertuju.

Lalu seperti apa ya batasan jumlah dan biaya sebuah koleksi? ‘’Batasannya ya mentok,’’ kata seorang teman. ‘Mentok’ itu bisa uang gak ada, atau lainnya. Yang jelas, seorang pelajar atau mahasiswa bisa mati-matian menahan keinginan menikmati hal lain, seperti makan enak, demi bisa membeli sneakers baru yang terus terbawa mimpi. Pehobi lain, terlihat di media sosialnya, memiliki koleksi beragam merk sneakers dengan harga yang masya Allah—menurut ukuran saya—dalam jumlah yang juga masya Allah. Sebuah ruangan yang jelas tampak besar, ditata seperti toko sepatu eksklusif. Isinya, ya koleksi sepatu itu. Apakah dia punya waktu khusus untuk menatap dan menyentuh satu per satu koleksinya? Misalnya sepatu itu diusap, dicium terus dia menarik nafas panjang…akh, hm..oh…

Tercenung oleh satu hal. Ingat hal lain. Mendengar ‘temuan’ penelitian si mahasiswa, maaf, sulit rasanya untuk tak mengingat wajah-wajah anak-anak pelosok yang—masih ada—di antara mereka nyeker atau hanya bersendal jepit untuk sekolah. Sepatu bekas layak pakai, berkah luar biasa buat mereka.

Ingatan seperti ini memang memecah suasana. Ia bukan hanya menjeda, tapi juga berpotensi menggangu kenikmatan saat kita merasakan atau mengagumi sesuatu. Seperti ketika seharusnya saya mengagumi koleks-koleksi sepatu keren itu. Terus terang aja sih, keren. Situasinya, kurang lebih sama dengan ketika satu hari saya makan bersama keluarga di sebuah rumah makan yang harga makanannya lumayan mengganggu kantong. Saat makan akan dimulai, seseorang di meja makan menukas, ‘’ah, ini terlalu mewah. Aku jadi ingat orang susah. Ingat ibu di kampung.’’ Selera luruh. Dihajar oleh ingatan tentang seorang perempuan renta di kampung yang susah payah menemukan lauk.

Sebenarnya sih, kurang relevan juga mengingat sesuatu yang belum tentu sebagai penderitaan, saat kita menikmati keindahan hari ini untuk disyukuri. Lagipula, kalau anak-anak di dusun tak bersepatu atau bersandal termasuk ketika menempuh perjalanan jauh untuk sekolah lantas kehilangan keceriaan? Nggak juga sih. Kadang sesuatu menjadi tampak sebagai kenestapaan, setelah dibicarakan, terutama oleh televisi misalnya. Tadinya, sepasang suami istri menjalani hidupnya sebagai petani kecil di tengah kehidupan desa yang asri, biasa saja. Hidup ia syukuri. Tapi saat program tv menggali dinamika hidupnya, dan memperlihatkannya kepada orang banyak, sepasang petani itu jadi jauh lebih sulit terlihatnya. Apalagi kalau dia janda. Atau nenek-nenek sebatangkara.

Tentu, dalam kisah-kisah semacam itu memang ada orang-orang yang benar-benar butuh uluran tangan. Butuh kekuatan lain untuk mengubah hidupnya. Tapi seringkali, dramatisasi media memang membuat penderitaan jadi berkalilipat lebih dalam. Tapi bukan dalam rangka itu saya mengingat anak-anak tak bersepatu tadi. Ini sih benar-benar dipicu oleh cerita tentang sepatu-sepatu bermerk itu.

Lagian, siapa pula bisa mencegah ingatan pada sesuatu yang lain saat kita melihat satu hal? Mungkin karena manusia terbiasa membanding-bandingkan ya. Macam membandingkan Isyana Sarasvati dan Raisa. Perlu gak sih?

Balik ke urusan para penggila sepatu sol karet itu. Bagaimana sebenarnya konsep diri mereka yang suka mengumpulkan barang mahal, ya? Sempatkah, atau pernahkah mereka ‘terganggu’ oleh fakta—yang bisa disaksikan lewat media—bahwa di sekitar kita—atau di negeri ini—banyak anak-anak telanjang kaki ke sekolah karena tidak mampu? Pertanyaan yang susah dicari jawabannya ini juga sebenarnya terhubung pada mereka yang jenis koleksinya lebih uhui…; macam berlian, moge, mobil, tas yang ratusan juta hingga miliaran…

Ah, bukan sok ngajarin berjiwa sosial saya. Tapi kalau ditangkap begitu, ya apa boleh buat juga sih. Dan karena apa boleh buat itu pula, situasi ini, mengingatkan saya pada Chen Shu Jiu. Kisahnya ditulis Kompas 29 September 2012.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline