Mungkin, dunia ini memang enggak rame jika enggak ada kebencian, kemungkaran, angkara, pembantaian dan pembunuhan. Gambaran paradoks-paradoks semesta yang realitasnya memang ada, meski Tuhan sendiri adalah Maha Baik.
Ada enggak sih, koki yang ingin membuat masakan yang enggak nikmat? insinyur yang ingin menciptakan pesawat yang tak aman? pekerja seni yang ingin menghasilkan seni yang tak berarti? para pekerja yang ingin memberikan hasil tak sempurna? Saya rasa tidak ada. Semua ingin menghasilkan yang baik. Bukan buruk.
Sehingga menjadi semacam rahasia dimana mungkin hanya Tuhan saja yang tahu jawabannya, ketika Dia mengadakan kebaikan tapi pada waktu yang sama keburukan juga ada sebagai pasangannya. Persis seperti para ilmuan yang akhirnya mendefinisikan bahwa kematian adalah sistem yang telah ada bersamaan dengan saat adanya sistem kehidupan.
Akal.
Hanya orang-orang yang mau memikirkan dengan akalnya saja, yang setidaknya akan mampu mendekati Rahasia Tuhan itu. Hanya orang yang akalnya dipakai saja yang mampu mencaritahu, mengapa Tuhan yang Maha Baik itu, tidak memusnahkan saja keburukan yang ada di semesta agar damai dunia dan sampai sesendal-sendal jepitnya. Hingga yang tersisa hanya kebaikan saja.
Atau mungkin sekarang, Tuhan sedang tersenyum di sana entah di mana. Sambil ngintip ke arah manusia-manusia serta mengamatinya satu per satu, mana yang menggunakan nalar yang diberikan-Nya dan mana yang tidak. Sambil mbatin "Oh, si Panjul ternyata otaknya dipake buat memikirkan kebaikan. Oh, si Poniyun ternyata otaknya dipake buat mikirin keburukan. Okey, Fix", gitu kali.
Tuhan ingin kita berpikir. Iyes, itu aja. Berpikir.
Tak usahlah dulu berpikir untuk menata semesta dan dunia. Tak usahlah dulu berpikir untuk menata negara tetangga yang bahkan kita mungkin belum pernah ke sana. Tak usahlah dulu berpikir untuk menata negara kita. Tak usahlah dulu berpikir untuk menata propinsi, kota, kecamatan, kelurahan, kampung, saudara hingga keluarga, jika semua itu memang belum mampu. Tak perlu.
Kita perkecil saja dalam memikirkan cakupan tatanannya, yaitu dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu. Dengan bertanya, sudah seberapa sering akal yang diberikan-Nya itu kita gunakan untuk memikirkan kebaikan saja.
Sehingga minimal semua kengerian dan keburukan yang terjadi ini, tak perlu terjadi pula pada jagad semesta terkecil, yaitu diri kita sendiri. Sampai akhirnya, yang ada pada diri kita hanya cukup kebaikan seperti yang diinginkan-Nya. Sampai kapan?