Lihat ke Halaman Asli

Bencana Mestinya Dijadikan Penggugah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana banjir dari Jakarta, Manado, Donggala, Palu, hingga Blitar dan kota-kota lain sekadar pertanda bahwa ada yang tidak beres dalam pembangunan semesta kita. Ketidak-beresan pengelolaan pembangunan semesta kita juga terlihat pada bencana-bencana lain, seperti kemacetan parah, kesemrawutan lalu lintas, lingkungan kumuh, kepadatan penduduk, dan persoalan-persoalan klasik kependudukan dan lingkungan hidup. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang dan kota-kota menengah sudah merasakan beban persoalan seperti itu.

Catatan kecil ini ingin mengajak untuk membongkar orientasi berpikir kita yang selama berpuluh-puluh tahun dipraktikkan, khususnya terhadap pihak-pihak yang memegang wewenang dan kuasa untuk mengubah keadaan di masa depan.

Tidak mampu mewujudkan kata sifat menjadi kata kerja

Pembangunan semesta sejak zaman kemerdekaan hingga kini sejatinya belum pernah kita lakukan. Bukan karena kita tidak punya visi, misi, uang, sumberdaya, dan kemampuan, melainkan karena terbelenggu budaya dan perilaku yang kurang mendukung.

Sudah sejak detik kita merdeka kita sudah punya visi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Misi juga sudah dilaksanakan dengan adanya pembangunan-pembangunan fisik dan mental berupa infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, irigasi, bandara.

Uang pun kita merasa tidak kesulitan, contohnya selain uang segar juga banyak negara kreditur yang siap mengucurkan pinjaman. Sumberdaya alam milik kita berlimpah. Kemampuan manusia bangsa kita untuk membangun cukup memadai. Kalaupun kurang dalam sektor-sektor tertentu kita tinggal mendatangkan dari luar. Lalu mengapa sudah berpuluh-puluh tahun merdeka negara kita masih berkutat pada masalah-masalah dasar banjir, dan bencana-bencana lain itu?

Itu semua disebabkan adanya ketidak-beresan pada kemampuan kita mengelola negara yang lemah. Memang benar visi kita punya namun visi yang kita punyai itu tidak dibuat secara matang. Visi yang sudah ada pada setiap periode pemerintah yang berkuasa selalu bersifat kabur, samar-samar, terlalu abstrak. Sudah kabur, ketika diuji pun visi itu tidak memperhitungkan potensi dan usaha mencapainya (misi).

Dengan kata lain terhambat kelemahan yakni visi yang tidak jelas kriteria kebehasilannya dan usaha untuk mencapainya tidak nyambung. Misalnya, sebuah kota mencanangkan visi “Terbentuknya Kota yang Religius dan Bermartabat” (sekadar contoh fiktif tetapi dalam kenyataan banyak visi kota yang mirip semacam ini).

Indikator seperti apa kota yang religius dan bermartabat itu, kalaupun ada, tidak dirumuskan dengan realistis dan terukur. Pemerintah kota yang punya visi itu pokoknya membangun tempat-tempat ibadah (membangunnya di mana, tidak diperhitungkan), mendirikan sekolah-sekolah berbasis agama, atau semacamnya.

Tetapi giliran menjalankan misi sebagai perwujudan dari visi, pemerintah kedodoran. Ketika hendak bekerja begitu banyak masalah-masalah menghadang yang tidak diatasi tuntas, namun diatasi secara tambal-sulam. Begitu periode pemerintah berakhir, pemerintah yang baru punya visi lain lagi dengan misi yang tidak tuntas juga.

Apa yang hendak dikatakan di sini adalah secara nasional pun model pembangunannya sama dengan model pembangunan di daerah-daerah yaitu “tidak mampu membuat visi yang matang sekaligus tidak mampu mewujudkan visi dalam bentuk misi yang kuat.” Dengan kata lain, kita tidak mampu menerjemahkan kata sifat (visi) ke dalam kata benda (kata kerja).

Kondisi itu terjadi karena budaya yang sudah usang khususnya yang berupa sikap dan cara pandang instan, berpikiran pendek, dan tidak gigih menjalankan usaha, serta tidak memiliki konsistensi prinsip masih dipegang teguh.

Proposisi ini mungkin membuat kita tersinggung karena kita merasa tidak seperti itu. Namun, marilah kita uji dengan pertanyaan sederhana saja, “Pemerintah daerah atau pemerintah pusat mana yang memiliki visi yang menjangkau jauh ke masa depan sekaligus menjalankan misinya dengan konsisten?”

Lebih konkret lagi, pemerintah daerah atau pusat mana yang mampu mengatasi bencana banjir, kemacetan lalu lintas, kekumuhan, atau kepadatan penduduk sekarang ini?

Tidak berkesinambungan

Kita belum pernah dapat diyakinkan tentang adanya pemerintah daerah tertentu yang melakukan pembangunan secara berkesinambungan seutuhnya. Semua pemerintah daerah dan pusat membangun dengan visi yang berbeda setiap kali berganti pejabat (bupati/walikota, gubernur, dan presiden). Pemerintahan Soeharto tidak mau melanjutkan visi Soekarno, pemerintahan Habibie tidak mau melanjutkan visi Soeharto, pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono setali tiga uang. Gubernur, bupati dan walikota juga sama saja.

Masing-masing rezim pemerintahan entah itu daerah atau pusat terlalu asyik dengan visinya sendiri. Visi pemerintahan sebelumnya dianggap cacat, kalau tidak begitu, takut dianggap tidak melakukan perubahan atau sekadar mengekor. Dalam tingkatan sektor pembangunan pun tak kalah asyiknya dengan programnya masing-masing. Kementerian pendidikan dan kebudayaan, misalnya, sering berganti kebijakan setiap menterinya berganti. Belum lagi dinas-dinas di provinsi dan kabupaten/kota.

Perlu visi pembangunan jangka panjang

Dulu negara kita sempat punya visi pembangunan jangka panjang dalam bentuk repelita 15 tahun. Sayang rezim pemerintah pembuat visi itu pun tidak konsisten seutuhnya. “Kata sifat visi” sekadar digunakan sebagai ikon propaganda. “Kata kerja misi” dibuat sedemikian rupa agar rakyat melupakannya. Pemerintah selalu punya kilah dengan kalimat-kalimat canggih sebagai pemaaf belum tercapainya “kata kerja misi” yang seharusnya dijalankannya.

Kembali pada persoalan pokok di atas, bencana-bencana banjir dan lain-lain yang sebagian besar karena kesalahan penyelenggaraan pemerintahan seharusnya digunakan sebagai titik tolak ke depan. Sebuah tonggak penting untuk menyelenggarakan pembangunan semesta yang bervisi tajam dan bermisi kuat serta kegigihan dalam menerjemahkan visi dalam bentuk misi pemerintah yang didukung modal sosial. Tanpa hal seperti itu kelak kita akan menanggung penderitaan-penderitaan lagi akibat bencana khususnya yang “bikinan” manusia.

Senyampang partai-partai politik sedang berbenah menghadapi pemilu, masukan kecil ini dirasa perlu dipikirkan. Partai-partai hendaknya merekrut kader-kadernya dengan menekankan kuatnya visi, misi, dan usaha menyambungkan visi dan misi kepada para kadernya masing-masing.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline