Lihat ke Halaman Asli

Banyak Pendekar Turun Gunung Tanpa Menamatkan Pendidikannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Syahdan tersebutlah di sebuah kerajaan bernama Kerajaan Amplopura. Dikisahkan kerajaan itu merupakan kerajaan yang makmur. Hasil buminya melimpah-ruah karena tanahnya subur dan teknologi pertaniannya sangat maju. Wilayahnya yang luas bergunung-gunung dan berpulau-pulau. Dengan letak geografis yang beriklim hangat namun tak kekurangan hembusan angin semilir, penduduknya hidup nyaman.

Nama kerajaan ini sangat kesohor di seluruh penjuru angin. Selain terkenal karena sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan ini juga menyimpan harta tak ternilai: sumberdaya manusia yang sangat berbakat di berbagai bidang. Banyak perguruan yang mengajarkan cara bercocok tanam, ilmu filsafat, ilmu dagang, ilmu pelayaran, seni, pande besi, ilmu agama, dan ilmu-ilmu lain yang dikenal orang waktu itu. Tak ketinggalan adalah ilmu silat.

Di zaman kejayaan Kerajaan Amplopura, ilmu silat ibarat panglima kehidupan. Karena, untuk belajar jurus-jurus dahsyat, seseorang harus belajar jurus-jurus kehidupan terlebih dulu. Pada tahun-tahun pertama para murid di padepokan-padepokan silat ditempa dengan ilmu kamanungsan (ilmu kemanusiaan). Mungkin semacam sosiologi di zaman sekarang.

Pada tahap belajar ilmu kamanungsan ini para murid hidup layaknya hidup di kehidupan sehari-hari. Di bawah bimbingan pendekar sakti yang namanya sudah kawentar di mana-mana, para murid terlibat dalam kegiatan bercocok tanam serta mengatur irigasi. Bila malam menjelang padepokan silat memberikan wewarah (wejangan) kepada muridnya. Ritual-ritual magis, tak terlupakan, banyak dilakukan malam hari pula.

Pendekar sakti yang namanya sudah kondanglah yang biasanya berani membuka padepokan. Pendekar-pendekar yang ilmunya biasa-biasa saja tidak akan berani mengajarkan jurus-jurus yang dikuasainya kepada orang lain. Apalagi menerima murid, sedangkan mengajari anggota keluarga sendiri saja mereka sering tidak mau. Ilmu silat bersifat sakral dan dipraktikkan harus sesuai pakem.

Pada tahap kedua—sekitar 5 tahun setelah seorang murid berguru di padepokan—para murid mulai diajari ilmu kanuragan (olah tubuh). Murid-murid disibukkan dengan kegiatan mengusung air dari sungai yang agak jauh. Mereka juga mencari kayu bakar, menebang dan membelah kayu.

Kegiatan silih berganti antara pekerjaan yang satu dan pekerjaan yang lain dengan mengandalkan kekuatan tubuh. Tidak jarang mereka bergotong-royong membangun atau memperbaiki rumah penduduk. Tentu saja, ilmu kanuragan ini diberikan dengan latihan tangan, kaki, anggota tubuh lainnya.

Ilmu kanuragan diberikan selama tiga tahun. Tetapi karena kemampuan fisik masing-masing murid tidak sama, jangka waktu tersebut bisa tidak sama. Ada yang dapat mencapai 2,5 tahun. Ada pula yang melebihi 3 tahun. Guru silat yang melatih dan mendidik mereka tahu persis berapa lama waktu penggemblengan murid telah cukup.

Setelah murid selesai menjalani 3 tahun penggemblengan ilmu kanuragan, ia/mereka selanjutnya akan digembleng dengan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Jurus ini merupakan jurus ampuh yang dimiliki guru yang bersifat unik. Masing-masing guru, sang pendekar sakti, memiliki spesialisasi. Ada yang keahliannya tendangan, pukulan, sundulan, daya tahan terhadap serangan musuh, ilmu menghindar, kecepatan.

Murid akan menempuh pendidikan tahap akhir ini beberapa tahun. Tidak ditentukan berapa lama rentang waktu yang diperlukan untuk tahap ini. Pendekar saktilah yang menentukan apakah seorang murid telah menamatkan pendidikan di padepokannya atau masih perlu waktu lebih lama lagi.

Jika seorang murid dianggap telah menguasai ilmu-ilmu yang diberikan sang guru, maka pada malam terakhir sang guru memberikan wejangan tentang moralitas dan ilmu kehidupan. Di tahap akhir itu guru juga menyampaikan pesan-pesan atau wasiat yang akan dipegang teguh sang murid seumur hidupnya.

Pada semua tahap pendidikan di padepokan silat dilakukan dengan pola “ngenger” atau mengabdi sepenuh jiwa dan raga. Murid dianggap selaiknya anggota keluarga. Hidup seperti sebuah keluarga dengan membaur di satu padepokan. Hubungan sosial yang harmonis mesti dijalankan. Sopan-santun atau unggah-ungguh dipegang teguh.

Hal terpenting dalam kehidupan di padepokan adalah kemuliaan hidup. Orang tidak boleh sombong. Orang tidak boleh serakah. Orang harus selalu membantu kesulitan orang lain. Orang harus memberikan pengabdian tertinggi kepada Tuhan. Kejujuran adalah kata kunci. Bagaimana pun keadaannya, orang harus jujur. Sepahit apa pun.

Kini marilah kita menengok kondisi kehidupan masyarakat kerajaan Amplopura. Beberapa generasi Kerajaan Amplopura diperintah oleh raja-raja yang ketat menjaga kewibawaan dan kejayaan kerajaan. Akibatnya, kerajaan harus mampu mengontrol seluruh sendi kehidupan rakyatnya. Semua sendi kehidupan rakyat diatur oleh kerajaan, ekonomi, sosial, keagamaan, hubungan dengan kerajaan lain, keamanan.

Kehidupan sosial rakyat memang terasa sumpek bagi orang-orang yang menginginkan kebebasan. Para telik-sandi (intelijen) selalu mengawasi gerak-gerik rakyat hampir sepanjang hari. Kerumunan dan perkumpulan tak lepas dari perhatian kerajaan, termasuk padepokan-padepokan silat. Seluruh padepokan harus mengajarkan sikap dan perilaku yang dianggap baik oleh kerajaan. Unggah-ungguh, hidup rukun, dan taat kepada perintah kerajaan menjadi prioritas.

Kendatipun aturan hidup bermasyarakat ketat, Kerajaan Amplopura bersifat terbuka kepada para pendatang dari kerajaan-kerajaan lain. Ini dapat dimaklumi karena Kerajaan Amplopura adalah penghasil produk pertanian, rempah-rempah, dan kerajinan serta sumberdaya seni yang tinggi dan melimpah. Jurus-jurus sakti dari para pendekar di kerajaan ini juga kondang hingga jauh ke negeri seberang.

Maka, tidak mengherankan bila pendatang dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk berdagang, menimba ilmu, atau sekadar datang untuk mengagumi Kerajaan Amplopura. Seolah tamu-tamu tumplek-blek di kerajaan yang gemah ripah loh jinawi (adil makmur berkecukupan) ini.

Kondisi kerajaan yang makmur berkecukupan ini terus berlangsung sampai suatu hari di dua dekade yang lalu ketika terjadi perubahan drastis pada suksesi kerajaan. Ketika itu—entah kenapa—pada pergantian raja Kerajaan Amplopura mendapatkan pengganti raja yang berbeda sifatnya dengan raja-raja generasi sebelumnya.

Raja yang baru naik ke tampuk kekuasaan memiliki sifat angkara murka. Nafsu keduniawiannya begitu kuat. Sisi pengelolaan kerajaan menjadi berubah. Pajak-pajak seperti pajak tanam, pajak panen, pajak seni, pajak hiburan, pajak perdagangan, pajak kerajinan tangan, pajak padepokan silat dipungut. Rakyat seperti sesak nafas menapaki kehidupan dari hari ke hari. Anehnya, kaum pendatang dari kerajaan lain malah boleh dikatakan tidak dipungut pajak.

Sumber alam dan hasil-hasilnya memang tetap dikuasai kerjaan. Namun, pengelolaannya hampir seluruhnya diserahkan kepada orang asing. Para saudagar swasta juga dibolehkan memiliki usaha di sini. Mereka dibolehkan mengeruk sendiri galian-galian bumi. Mereka juga dibolehkan memelihara rojokoyo (ternak) dengan skala besar-besaran, mulai dari ternak ayam, kambing, sapi, kerbau, kuda, harimau, gajah, sampai babi.

Ada juga pembatasan bagi para penanam modal di semua komoditas di sini tetapi pembatasannya dalam bentuk jumlah upeti kepada raja dan menteri-menterinya. Barang siapa mampu memberikan upeti yang paling besar kepada kerajaan, maka merekalah yang berhak menanam modal di Kerajaan Amplopura. Barang siapa yang tidak mau memberikan upeti yang besar, mereka akan dibatasi menanamkan modalnya di sini. Itulah pembatasannya.

Di bidang pemerintahan kerajaan ada kemajuan yang cukup signifikan. Raja mulai merekrut para ahli berbagai bidang untuk duduk di singgasana pembantu raja. Ahli-ahli pelayaran, pertanian, perdagangan, filsafat, pendekar silat ditarik oleh raja sebagai pembantunya. Terjadi akses yang lebih luas ke dalam struktur pemerintahan kerajaan.

Untuk memberikan hiburan bagi masyarakat, kerakusan sang raja diimbangi dengan pemberian kebebasan kepada segenap rakyat untuk berpolitik. Maka, kemudian lahirlah partai-partai persilatan dengan pendekar dari aliran hitam maupun putih. Dari elite-elite partai yang mempunyai pendukung yang besar dan berani inilah kadang-kadang raja mengangkatnya sebagai punggawa kerajaan di lingkaran dalam kerajaan.

Imbas dari kebebasan yang diberikan kepada rakyat dan sifat keduniawian raja sangat luar biasa. Kehidupan rakyat dan padepokan silat mulai berbondong-bondong mengikuti gaya hidup hedonis dan pragmatis sang raja. Raja mendiamkan saja fenomena ini sejauh tidak mengganggu penyaluran hasrat akan kemewahan dan syahwat sang raja dan pembantu-pembantu dekatnya di istana.

Karena tradisi pendidikan di padepokan silat yang paling sistematis kala itu, wajar bila posisi-posisi kunci banyak dikuasai oleh pendekar-pendekar jebolan padepokan silat. Seperti sudah disebutkan, dunia persilatan adalah panglima kehidupan sehingga partai-partai persilatan memonopoli kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan.

Daya tarik kehidupan duniawi yang dibawa oleh para pendatang sangat kuat. Pengaruhnya sampai ke gunung-gunung yang terpencil, sekalipun. Akibatnya, pendekar-pendekar dari padepokan silat banyak yang turun gunung mengadu peruntungan untuk mendapatkan kemewahan, kenyamanan, dan gaya hidup kekinian.

Celakanya, tidak sedikit murid padepokan silat yang belum menamatkan pendidikannya di padepokan melarikan diri karena banyak mendengar tentang cerita hidup gaya baru yang nikmat dan nyaman itu. Para pendekar yang ilmunya tanggung ini bersaing satu-sama lain merebut kesempatan yang ada.

Dalam persaingan itu sering terjadi perkelahian dan tawuran antar-partai persilatan. Padepokan silat aliran hitam tumbuh pesat. Dalam menguasai jurus-jurus silat yang sakti mereka yang dari aliran hitam tak kalah digdaya dari para pendekar dari aliran putih. Bahkan belakangan aliran hitam mampu menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka duduk di kursi-kuris kerajaan, menjadi orang-orang dekat di lingkaran dalam istana.

Di masyarakat tingkat menengah dan bawah, para pendekar aliran hitam dan aliran putih yang ilmunya tanggung ini juga ikut bermain dalam perdagangan dan pertanian serta industri-industri baru yang mulai berdatangan.

Kondisi kehidupan masyarakat dilandasi dengan nilai-nilai transaksional. Tidak tersisa lagi wewarah-wewarah, unggah-ungguh, sopan-santun, etika, moralitas yang digunakan dalam berinteraksi satu sama lain di masyarakat di Kerjaan Amplopura ini.

Memang tidak semua aliran putih menjadi hitam. Masih banyak pendekar-pendekar sakti yang mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai kemuliaan hidup bermasyarakat. Tetapi peran mereka mengecil, sebagian dari mereka frustrasi, ada juga yang hidup berkontemplasi menghindari ingar-bingar kehidupan zaman baru.

Kerajaan Amplopura mengambil jalan baru dengan karakter baru dengan kegaduhan dunia politik yang kian hari kian gaduh di kerajaan yang dulu bernama Kerajaan Adiningrat. Entah mengapa Raja yang baru mengganti namanya menjadi Kerajaan Amplopura. Tidak diketahui persis apakah nama ini ada hubungannya dengan amplop yang mengalir deras ke kerajaan sehingga memakmurkan raja dan kroni-kroninya. Walallahu’alam.*****

Catatan:

Sejarah ini hanyalah karangan belaka (masak sejarah kok karangan yah?). Apabila ada nama dan peristiwa yang sama dengan kehidupan pembaca, itu hanya kebetulan saja. Dan, apabila nama dan peristiwanya tidak berkenan di hati pembaca mohon diganti sesuai dengan selera masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline