Konon, Prometheus—karena peduli pada manusia—mencuri api para dewa dan memberikannya pada manusia. Tapi, akibatnya, ia harus menanggung hukuman dari Zeus. Prometheus dirantai di sebuah batu dan seekor burung elang datang menyantap hatinya tiap pagi. Tapi tiap malam pula hatinya tumbuh lagi.
Dalam api itu, konon pula, terkandung cahaya pengetahuan. Dan pengetahuan sangatlah berharga bagi manusia. Barangkali seperti Minke-nya Pramoedya berkata, “Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku restu yang tiada terkira indahnya” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara, 2005). Ilmu pengetahuan telah mengilhami manusia membuat berbagai penemuan dan melakukan hal-hal yang tadinya hanya layak jadi impian. Teknologi, misalnya, telah menciptakan peradaban baru dalam kehidupan manusia. Perindustrian berkembang pesat. Media dan telekomunikasi mampu membuat manusia di seluruh dunia seperti tak berjarak.
Namun, ilmu pengetahuan juga punya sejarah hitam. Bagaimana Einstein menyesali senjata nuklir temuannya dan David Nichols menyesali obat psychedelic temuannya yang dibajak jadi narkoba adalah 2 dari daftar ilmuwan yang sedih karena skandal ilmu pengetahuan. Atau kartografi, misalnya, telah berhasil menggambarkan dunia dalam peta. Peta memberanikan para pelaut Eropa melakukan pelayaran besar-besaran ke seluruh dunia. Dari pelayaran itu, lahirlah kolonialisme. Lihat, bukankah kartografi adalah juga kisah tentang perbudakan?
Bacon dan Foucoult sudah memperingatkan kita bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Pemilik pengetahuan mudah tergoda untuk berkuasa—kerapkali—terhadap sesamanya. Namun demikian, sisi-sisi positif pengetahuan tetaplah berharga bagi kehidupan. Karena itu, pengetahuan terus dikaji ulang, dikembangkan dan diwariskan.
Dalam ranah formal, pewarisan pengetahuan menjadi tugas sekolah. Tapi bahkan sejak di sekolah, pengetahuan sudah mengidap paradoks. Saya kisahkah sebuah ingatan dari Jogja—hampir dua tahun silam—yakni ketika angka ketidaklulusan siswa SMA di Jogja sangat tinggi[1]. Kota Jogja memang (pernah) dikenal sebagai kota pendidikan. Bapak walikota serta pejabat dinas pendidikan setempat bersikeras bahwa label itu masih layak jadi milik Jogja. Tapi, ada yang menggemaskan dan mencemaskan dari berita pagi itu. Angka ketidaklulusan UN untuk tingkat SMA/MA/SMK di DIY untuk tahun 2010 mencapai 23 persen lebih. Hal ini berarti tingkat ketidaklulusan DIY paling tinggi se-jawa. Tingginya angka ketidaklulusan ini, dimungkinkan karena tingkat kejujuran pelajar DIY paling tinggi dibanding provinsi lainnya (BERNAS Jogja, 25 April 2010). Para pemerhati pendidikan boleh kecewa dan para pemuja Jogja boleh patah hati. Tapi yang sudah tertulis biarlah tetap tertulis.
Barangkali kejujuran berharga justru karena ia langka, atau malah tak ada. Tapi bisa jadi membicarakan kejujuran di Indonesia—juga di Jogja—seperti mengiklankan tembikar dan periuk tanah di Ambarukma Plaza: luhur, anggun dan memukau tapi serentak juga kuno. Kejujuran selamanya akan terawat di etalase, rapi dan tak pernah diminati. Lagipula, urusan meraih nilai ujian jangan-jangan bukan soal kejujuran atau kecurangan, melainkan soal siasat. Seperti sudah diketahui, ujian adalah bagai persoalan hidup mati bagi para siswa. Maka berbagai siasat ditempuh untuk bisa lolos dari ujian ini. Mulai dari siasat yang ksatria (belajar semalam suntuk sebelum ujian, program “karantina” di sekolah-sekolah, les privat, bimbingan belajar—Jogja menyediakan banyak tempat seperti Neutron, Kumon, Primagama yang selalu diminati para siswa yang ingin punya resep jitu lulus ujian dan masuk PTN—dsb) sampai siasat-siasat gerilya (mencari informasi tentang soal ujian, membeli kunci jawaban, menyontek atau sekedar bertanya jawaban pada teman) seraya percaya pepatah lama : dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Dan memang jalan itu ada, selalu ada. Setidaknya kunci jawaban itu beredar di “pasar” dan bisa dibeli. Sampai di sini, terasa sekali bagaimana pemegang “pengetahuan” (baca : kunci jawaban) bisa sangat berkuasa, setidaknya untuk menentukan harga
Soewardi Soerjaningrat—arsitek sistem pendidikan Indonesia yang kemudian terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara—mungkin kini terdengar kuno jika masih bicara tentang sistem Among (Ingarso Asung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani) di sekolah. Sistem yang diam-diam patriarki itu (Saya Sasakhi Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik, Jakarta : KPG, 2001) tak lagi yakin siapa yang ngemong dan siapa yang harus diemong. Sewaktu-waktu, pendidik bisa tampak sebagai makelar dan murid sebagai kerumunan konsumen di pasar. Mungkin karena ini, kunci jawaban dijual dan pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” terdengar sebagai karikatur yang menyedihkan. Maklum saja, Ki Hajar tak membeli kunci jawaban saat menggarap ujiannya di ELS dulu, apalagi menyonteknya lewat Short Message Service. Baginya, pendidikan sangatlah penting untuk kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia. Mungkin ia ingat, kebangkitan Nasional—yang menemukan ikon-nya dalam Boedi Oetomo—dicetuskan oleh orang-orang terpelajar (terutama pelajar STOVIA). Tapi zaman berubah. Di sekolah, pendidikan diwajibkan oleh program, berlangsung di ruang yang nyaman, jauh dari rasa prihatin, tanpa gairah patriotik dan penuh trik. Maka, yang bisa lolos dari medan perang ujian nasional tak harus pandai, tetapi bisa jadi hanya cerdik. Setelah itu, para pemenang bisa merayakannya “kemerdekaan” dengan konvoi di jalan-jalan, corat-coret baju seragam, mungkin sambil teriak—entah di jalan atau di hati—mengutip sebuah headline “Akhirnya lepas dari tekanan” (Kompas, 27 April 2010). Sungguh ironis. Pendidikan yang dahulu melahirkan semangat patriotik dan kemauan keras bangsa Indonesia untuk merdeka kini terdengar seperti “penjajah” itu sendiri, sehingga lulus sekolah berarti kemerdekaan bagi para siswa.
Setahun kemudian, 2011, kabar dari Jogja terdengar lebih ceria : angka kelulusan hampir 100%. Tapi lagi-lagi, persoalan contek menyontek lewat ponsel dan peredaran kunci jawaban muncul seolah muncul dari keabadian. Pendidikan—yang dijalankan dengan visi dan ide-ide luhur itu—telah melahirkan banyak skandal yang—sebagian besar—digerakkan oleh dorongan untuk menguasai dan mencari untung sendiri. Pengetahuan (dan lembaga yang bertanggungjawab mewariskannya) bisa membebaskan tapi juga bisa membelenggu.
Alkisah, Prometheus—setelah mencuri api untuk manusia—harus menjalani hukuman abadi dengan tubuh terantai pada batu dan hati yang selalu terasa ngilu. Tapi dikisahkan pula, kelak Herakles akan membunuh burung itu dan hukuman Prometheus berakhir. Yang tidak dikisahkan mitologi itu adalah akhir dari hukuman Zeus pada manusia. Alkisah, Zeus menghukum manusia dengan menciptakan seorang gadis cantik bernama Pandora dan sebuah kotak yang dibawanya dengan pesan “jangan pernah dibuka”. Tapi ketika kotak itu dibuka dan segala macam kejahatan serta penyakit keluar darinya, dongeng berakhir. Tapi sesungguhnya, hukuman bagi manusia baru dimulai. Satu-satunya “berkah” yang tersisa dari kotak itu adalah harapan. Masa depan bangsa manusia didasarkan pada harapan itu. Sekalipun Sartre percaya bahwa “manusia terkutuk untuk merdeka,” pandangan eksistensialisnya tidak serta merta membuat manusia lepas dari keterjajahan. Banyak hal masih misterius dan berada dalam wilayah buta dimana pengetahuan belum mampu menjamahnya. Mungkin karena itu keberanian untuk terus menerus belajar dan membebaskan diri dari ketidaktahuan menjadi penting, seperti Kant menyerukan kembali Horatius : “Sapere Aude.”
Catur Wibawa
[1] sebagian ingatan ini pernah saya tulis di http://www.realino.usd.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H