"Ayah dan Ibu seperti tidak punya beban dengan batalnya pernikahan Riyan?" tanya Riyan seakan menggugat kedua orang tuanya.
"Lho, bukannya pembatalan Lastri malah memuluskan hubunganmu dengan Fitri? Mengapa ayah dan ibu harus risau?" Bu Prapto malah balik bertanya.
"Ayah sebenarnya juga ragu Riyan, waktu memintamu untuk pulang. Tapi dulu kami sudah terlanjur saling berjanji untuk besanan, menjodohkan salah satu anak-anak kami. Sebenarnya kalaupun kamu tidak mau, kami juga tidak mengapa. Karena kami tahu, kamu sudah punya pilihan calon istri sendiri. Masih ada dua orang adikmu, mungkin ada yang nanti bisa berjodoh dengan adiknya Lastri. Tapi ternyata kamu mau, kami pun lega. Kami tidak tahu bagaimana kamu menyiasati masalahmu," Pak Prapto menimpali.
Riyan menghela nafas panjang.
"Begitu tahu Lastri membatalkan sepihak, kami juga lega. Menurut kami pembatalan itu malah menghilangkan beban perasaanmu untuk menikah dengan Fitri," lanjut Pak Prapto.
Riyan hanya bisa menghela nafas panjang. Saat seharusnya menjadi subyek seperti pendapat Fitri, Riyan malah memilih menjadi obyek. Parahnya obyek penderita pula.
Siang yang terik. Riyan memacu mobilnya keluar Solo. Tujuannya satu, ke Kebumen menemui Fitri. Sengaja berangkat siang, biar sampai Kebumen sudah waktunya pulang kerja.
"Sore ini aku mau ke rumahmu."
Riyan mengirim pesan whats app kepada Fitri, berharap mendapat sambutan antusias. Ternyata tidak. Setelah muncul tanda centang dua warna abu-abu, pertanda pesan sudah masuk, tak kunjung segera berubah menjadi centang biru, tanda pesan dibaca. Padahal terlihat akun Fitri sedang online.
Beruntung, saat dirinya memasuki Kebumen. Pesannya dibaca Fitri, bahkan langsung dibalas.
"Ya kutunggu di rumah. Ada yang ingin kuberikan juga buat Mas Riyan," balas Fitri.