Lihat ke Halaman Asli

Pembalasan Setimpal

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kang, saya diperkosa majikan saya."

Bagai disambar petir rasanya, Karta menerima sms dari istrinya, Surti. Ingin segera menelpon, pulsanya tak cukup. Akhirnya hanya bisa membalas dengan sms juga.

"Kok bisa? Bukankah di rumah majikanmu ada istri dan anak-anaknya?" Karta mencoba membayangkan bagaimana kejadiannya. Rumah majikan istrinya tidak terlalu besar. Tak sepatutnya ada aktivitas yang tak diketahui penghuni rumah lainnya.

"Diperkosa atau selingkuh?" Rasa cemburu melintas dalam benak Karta, terhadap Surti yang dinikahinya, dua tahun lalu.

Tuntutan ekonomi, memaksa keduanya hidup berpisah, meski sama-sama tinggal di Jakarta. Karta bekerja sebagai pesuruh dan penjaga kantor, sebuah perusahaan swasta. Istilah kerennya office boy, alias OB. Sementara Surti menjadi pembantu rumah tangga. Istilah kerennya asisten penatalaksana rumah tangga. Kehidupan yang berat bagi pasangan suami istri muda. Apalagi bagi Karta, untuk bisa mendapatkan Surti sebelumnya harus melalui proses perjuangan yang tidak ringan. Banyak pemuda yang berlomba mendekati Surti. Maklum, di kampungnya, di daerah Indramayu, Surti begitu terkenal. Cantik, meski sederhana karena keluarganya memang tergolong tak berpunya. Pemuda-pemuda anak orang kaya, acapkali menggoda Surti. Tentu saja dengan tawaran kemewahan milik orang tuanya. Tapi, tak ada yang membuat Surti tertarik. Begitu yang mendekati Karta, entah mengapa Surti langsung terpesona. Mungkin kesederhanaan Karta juga yang menjadi daya tariknya.

"Malam Minggu yang lalu majikanku pulang membawa tiga gelas plastik jus alpukat. Aku disuruh menuangkannya ke dalam gelas. Buat dia dan istrinya. Yang segelas lagi buatku. Usai minum jus alpukat, tak lama kemudian istrinya tertidur. Aku sebaliknya, malah tak bisa tidur.
Gelisah di kamar. Ingin sekali rasanya saat itu, aku bersama Kang Karta." Smsnya terputus.

Mendidih darah Karta karena amarah. Sudah mulai terbayang dalam pikirannya, bagaimana rangkaian kejadiannya. Meski dengan ungkapan kiasan, Karta paham apa yang dimaksud Surti. Pastilah dalam jus alpokat yang diminum Surti, sudah dibubuhi obat perangsang. Sementara jus alpokat untuk majikan perempuan Surti, justru dicampur obat tidur.

"Tiba-tiba majikanku masuk ke dalam kamarku. Sepertinya dia menyimpan kunci cadangan kamarku, sehingga bisa membukanya dari luar. Aku langsung didekapnya. Tak berdaya." Meluaplah amarah Karta. Dadanya bergemuruh. "Aku harus memberi balasan setimpal! Aku harus bisa mengendalikan diri untuk membalaskan sakit hatiku. Aku harus merencanakannya dengan matang."

Masih ada sebersit keraguan dalam diri Karta. Diperhatikannya pintu gudang yang sekaligus menjadi kamar tidurnya. Diambilnya kunci cadangan dari gantungan. Dicobanya memasukkan ke lubang kunci dari arah luar, tanpa melepas kunci di bagian dalam. "Tidak bisa! Tidak mungkin lubang kunci dimasuki dua kunci dari arah yang berlawanan." Bermacam dugaan masih berkecamuk dalam pikiran Karta. Mungkinkah Surti membukakan sendiri pintu kamarnya agar majikannya bisa masuk?

"Mungkin Kang Karta ragu dengan penjelasanku. Pintu kamarku hanya memerlukan kunci dari luar untuk membuka dan menguncinya. Jika dari dalam kamar, dengan menutup otomatis sudah menguncinya, dari luar hanya bisa dibuka dengan kunci. Seperti pintu kamar hotel, kata tetanggaku yang pernah menginap di hotel."

Karta masih penasaran. Diam-diam Rudi, pegawai perusahaan yang sudah datang dari tadi, memperhatikan gerak-gerik Karta. "Ada apa, Pak? Mencoba-coba kunci pintu? Apa ada yang mencoba masuk?" Karta terkejut, sekaligus jadi cerah wajahnya, karena mendapatkan
tempat bertanya.

"Apa kalau pintu kamar hotel tak perlu dikunci dari dalam Pak, seperti pintu gudang ini?"

Rudi mengernyitkan kening, agak heran dengan pertanyaan Karta. Tapi akhirnya menjawab juga, "Ya. Tidak seperti pintu gudang itu. Cukup sewaktu membuka dari luar saja menggunakan kunci, atau kadang ada yang pakai kartu. Setelah di dalam, begitu pintu kita tutup otomatis terkunci. Memang ada apa, Pak?"

Karta tak kuasa bercerita. Hanya mengulurkan hp kepada Rudi agar bisa membaca sms dari Surti, istrinya. "Kurang ajar majikan istrimu, Pak. Laporkan saja ke polisi." Rudi langsung bereaksi setelah membaca sms Surti.

"Saya tidak punya uang, Pak. Melaporkan kasus ke polisi katanya memerlukan uang, untuk biaya penyelidikan. Saya mau mengatasi sendiri saja." Ada emosi yang tertahan dalam ucapan Karta.

"Tapi jangan sampai Pak Karta bertindak main hakim sendiri. Nanti bisa-bisa malah Pak Karta yang dilaporkan polisi." Rudi agak khawatir dengan emosi Karta.

"Tidak Pak. Sabtu lusa saya ijin, menjenguk istri saya, sekalian meminjam handycam."

"Boleh, Pak. Kami ikut bersedih dengan musibah yang dialami Surti, Pak. Kalau ada yang perlu dibantu terkait usul saya tadi, kami akan meminta perusahaan untuk membantu."

"Terima kasih, Pak. Saya kira, saya mau melakukan dengan cara saya sendiri."

*****

Sabtu pagi, Karta meninggalkan kantornya di kawasan Semper, Jakarta Utara. Harus berganti-ganti angkot dan ojek untuk sampai ke rumah majikan Surti di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Empat jam lebih waktu yang diperlukan Karta untuk melakukan perjalanan. Surti langsung menangis menyambut kedatangan Karta. Tak ada kata yang bisa diucapkannya. Karta langsung minta diajak ke kamar Surti. Setelah melihat sendiri bagaimana pintu kamar Surti, baru Karta percaya.

"Ke mana majikanmu sekarang?"

"Majikan perempuan sedang belanja ke supermarket bersama kedua anaknya, biasanya sore pulangnya. Majikan laki-laki sedang ke lokasi proyek yang sedang dikerjakannya. Malam baru pulang."

"Aku mau lihat-lihat isi rumah dulu." Karta melihat-lihat ruangan di rumah majikan Surti. Termasuk kamar tidur utama dan anak-anak. Kebetulan tak ada yang dikunci.

"Ada apa melihat-lihat semua, Kang? Kang Karta tak bermaksud mencuri di sini, kan?" Surti ketakutan suaminya akan melakukan tindakan yang bisa berakibat fatal.

"Tidak. Saya tak mau mencuri. Saya hanya mau lihat suasana rumah saja." Karta menenangkan Surti. Dilihatnya foto keluarga majikan Surti.

"Anaknya dua orang masih kecil-kecil."

"Ya. Yang sulung berumur tujuh tahun. Adiknya baru tiga tahun."

"Siapa nama majikanmu?"

"Yang laki-laki Andri, yang perempuan Astuti."

"Hmm..." Karta tak melanjutkan ucapan yang sudah hampir keluar dari mulutnya, hendak memuji kecantikan majikan perempuan Surti.

"Sudah punya istri cantik, masih memperkosa pembantunya." Karta mengutuk dalam hati.

Surti terus ke dapur menyiapkan masakan. Karta duduk-duduk di teras rumah. Berkhayal seandainya rumah ini menjadi rumahnya sendiri. Seusai masak, Surti menyusul Karta duduk-duduk di teras. Keduanya membisu. Seperti tengah mengenang masa-masa awal perkawinan mereka. Bulan madu di desa, di pinggir-pinggir sawah, menyaksikan padi yang mulai menguning. Sayang sawah-sawah itu milik orang lain. Karta dan Surti hanya bisa menjadi buruh tani. Terlalu minim penghasilannya, akhirnya ke Jakarta mencari kerja. Meski harus hidup terpisah, karena tuntutan kerja.

Sekitar pukul 16.00, sebuah mobil masuk halaman rumah. Astuti bersama kedua anaknya datang. Sedikit terkejut melihat Karta. Surti langung mengenalkan, "Ini Kang Karta suami saya, Bu. Yang tinggal di Semper, Jakarta Utara."

"Oh, sudah lama?"

"Baru siang tadi, Bu." Karta agak gemetar menjawab. Terkagum-kagum dengan kecantikan Astuti yang jauh melebihi Surti. Selain cantik, tentu saja Astuti lebih punya waktu dan kesempatan merawat kecantikannya daripada Surti. Tapi Karta juga terheran-heran, mengapa Andri masih tergoda dengan Surti.

*****

Malam sekitar pukul 21.00, Surti sudah agak mengantuk, ketika sebuah mobil kembali masuk halaman. Andri datang."Ingat kalau, majikanmu kembali membawa jus alpukat. Tukar. Yang seharusnya untukmu buat majikanmu perempuan, yang untuk majikanmu perempuan berikan untuk majikan laki-laki. Yang buat majikan laki-laki bawa ke sini."

"Ya, Kang."

"Surti, Bapak bawa jus alpukat, nih." Panggil Andri. Surti melihat wajah Karta, yang dilihat hanya tersenyum. Surti keluar kamar. Menerima oleh-oleh dari majikannya,  memindahkan ke dalam gelas lalu menyajikannya di meja makan. Anak-anak semua sudah tidur. Andri dan Astuti menikmati jus alpukat yang disajikan Surti. Tak lama kemudian Surti kembali ke dalam kamar.

"Ngantuk sekali, Kang. Surti tidur dulu ya. Ini jus alpokatnya. Sudah saya ganti sesuai rencana, Akang." Karta tersenyum, lalu meminum jus alpokat yang diberikan Surti. Demikian mengantuknya, Surti sudah tertidur sebelum Karta menghabiskan jusnya. Karta keluar memeriksa pintu pagar lalu menguncinya. Di ruang tamu bertemu Astuti dengan gaun tidurnya yang tipis dan tampak gelisah. Karta mengunci pintu rumah dan hendak berjalan menuju kamar Surti.

"Kang Karta." Astuti memanggil pelan.

"Ada apa, Bu?"

"Suami saya kenapa ya, kok terus tidur demikian pulas, tanpa bergerak-gerak." Khawatir sekaligus ragu Astuti menceritakan keadaan Andri.

"Boleh saya lihat, Bu?"

"Silahkan."

Karta masuk diikuti Astuti. Andri tertidur dengan nyenyaknya. Karta meraba tubuh Andri dan berusaha menggesernya agak ke tepi.

"Tidak apa-apa, Bu. Bapak hanya kecapaian, besok juga akan segar lagi setelah bangun tidur. Ibu sendiri kenapa?" Karta mendekati Astuti, memandang tak berkedip. Astuti diam menunduk. Tapi tak lama kemudian, malah memandang Karta dengan tatapan sayu.

Akhirnya timbul keberanian Karta memegang kedua bahu Astuti. "Kenapa, Bu?"

Astuti kembali menunduk. Karta menyentuh dagunya. Mengangkat wajah Astuti dan setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya dikecupnya bibir Astuti, yang terkejut tapi tak kuasa menolak.

"Seminggu lalu, Ibu meminum jus alpukat seperti yang diminum Bapak tadi. Dan Surti, istriku, meminum jus alpukat seperti yang baru saja Ibu minum. Tanpa kesulitan Bapak memperkosa istriku." Dengan tenang Karta menjelaskan. Astuti terkejut.

"Tadi saya menyuruh Surti agar minumannya ditukar. Makanya Bapak cepat tertidur pulas. Sekarang giliran saya dengan Ibu." Karta langsung memeluk Astuti yang semula hendak memberontak, tapi akhirnya tak kuasa melawan. Pengaruh obat perangsang demikian hebat. Karta masih sempat menyalakan handycam yang sudah ditaruh di salah satu sudut kamar siang tadi. Tepat di sebelah Andri, Karta bercinta dengan Astuti.

*****

Hingga pagi buta Karta menuntaskan pembalasannya. Astuti tampak kelelahan, tapi sepertinya juga puas. Entah nanti saat kesadarannya pulih.

"Saya dan Surti mau pamit pulang ya, Bu." Karta masih sempat mendaratkan ciuman ke bibir Astuti yang hanya mengangguk. Astuti bangun mengambil dompetnya, mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan mengulurkannya kepada Karta.

"Untuk ongkos pulang."

"Terima kasih." Karta menerima dengan suka cita sambil meremas tangan Astuti. Tak dinyana, giliran Astuti yang memeluk dan mencium Karta.

Tak mau terlena, Karta segera melepas pelukan Astuti lalu mengambil handycam-nya. Keluar dari kamar, Karta mengeluarkan DVD dari handycam, kemudian dimasukkan ke dalam DVD player di ruang tengah. Coba dinyalakan, mengecek gambarnya, bagus. Karta bergegas ke kamar Surti. Membangunkannya dan memintanya berkemas.

"Kita pulang saja." Surti tak banyak membantah.

*****

Pukul  08.00 Andri bangun, terkejut. Pakaiannya masih seperti saat pulang semalam. Lebih terkejut lagi melihat di sebelahnya, istrinya tertidur pulas dengan pakaian tidur acak-acakan. Kedua anaknya belum bangun. Andri langsung menuju kamar Surti.

"Tidak ada. Kemana Surti?" Andri hanya bisa bertanya dalam hati. Ada secarik kertas di atas tempat tidur Surti.

"Yth. Bapak Andri, kalau Bapak menyalakan DVD Player di ruang tengah, Bapak akan bisa merasakan sakitnya perasaan saya dengan apa yang Bapak lakukan terhadap Surti, istri saya. Mudah-mudahan Bapak masih bisa menerima Astuti, sebagai istri Bapak. Karta, suami Surti."

Andri langsung menuju ruang tengah dan menyalakan DVD Player. Di layar TV tampak bagaimana Karta, suami Surti tengah menggumuli Astuti, istrinya. Mendidih emosi Andri, tanpa sadar diraihnya gelas di atas meja makan dan dilemparkannya ke layar TV. "Byyaaaarrrr..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline