Lihat ke Halaman Asli

Jaja Zarkasyi

Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Mimpi Independensi ASN, Benarkah Utopis Semata?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada yang menganggap menjadi Aparatur Sipil negara (ASN),  dahulu disebutnya PNS, tidak mengenakan, mungkin ada benarnya. Sebaliknya, jika ada ribuan orang mengantri ingin menjadi ASN dengan iming-iming kepastian gaji dan dana pensiun yang besar, tidak salah pula. Kedua-duanya sah dan benar, tergantung dari perspektif mana melihatnya. Namun, benarkah menjadi ASN itu menyenangkan?.

Dari perspektif sosial-politik, menjadi ASN ada banyak tidak mengenakan. Sebut saja stigma bahwa ASN tidak boleh kaya, tidak boleh memiliki usaha di luar kantor, mau membeli mobil tapi takut disebut hasil korupsi. Memang, stigma negatif ini lahir dari kasus beberapa ASN yang memang terbukti memperkaya diri dari hasil korupsi. Belum lagi sanksi dari atasan, pada beberapa kasus, disebabkan ketidakloyalan atas keinginannya. Di situ kadang saya merasa sedih.

Stigma tersebut sebenarnya adalah motivasi untuk melakukan perubahan. Setidaknya, masih banyak ASN yang baik, walau ada pula yang tidak baik.

PNS ke ASN, apa yang berubah?

Perubahan nomenklatur PNS menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bagian integral dari reformasi birokrasi. Ada banyak ketentuan yang berubah, diantaranya standar kompetensi, pelayanan hingga tunjangan kinerja. Intinya, nomenklatur ASN menempatkan para abdi negara sebagai pelayanan prima kepada masyarakat.

Reformasi birokrasi bercita-cita melahirkan iklim birokrasi yang berorientasi pada pelayanan prima dan out put. Tidak ada lagi istilah “bekerja apa adanya”, kerja nggak kerja tetap digaji. Setiap ASN dituntut menentukan sasaran kinerjanya dalam setahun dan sistem penilaian akan diukur sejauhmana ia dapat mewujudkan rencana kinerjanya tersebut. Di titik ini saya optimis bahwa ASN akan mengalami seleksi alam; mereka yang kompeten akan siap berkompetisi mewujudkan birokrais yang profesional, transparan dan akuntabel. Sebaliknya, tanpa kompetensi, maka ia akan tersisih dengan sendirinya.

Pada saat yang bersamaan, sistem penganggaran kita telah menujukan progres yang baik. Penganggaran harus berpedoman pada Rencana Strategis 5 (lima ) Tahunan dengan sasaran out put yang terukur. Inilah yang akan menjadi pegangan kerja lima tahun ke depan. Atinya, kinerja ASN dalam lima tahun terukur melalui apa yang tertuang dalam Renstra tersebut. Siapapun tidak bisa memauskan program yang tidak tercantum dalam Renstra.

Perubahan ini terlihat dalam perubahan Bantuan Sosial misalnya, yang tak lagi menggunakan akun 57 (bantuan sosial), namun menggunakan akun 52. Dengan akun 57, penerima bantuan menerima uang secara gelondongan dan pelaporannya tidak memenuhi standar pelaporan Kemenkeu, sedangkan dengan akun 52 maka kini penerima harus mengajukan rencana program dengan anggarannya sesuai dengan standar biaya yang ditetapkan Kemenkeu. Walhasil, hanya anggaran yang sesuai angka dan penruntukannyalah yang akan diberikan bantuannya, itu pun dengan kualifikasi yang sangat ketat dari sisi adminsitrasi, kwitansi dan pelaporannya.

Pada titik ini saya optimis, birokrasi sedang berubah menuju era pelayanan prima, berorientasi pada kepuasan masyarakat dan kualitas kinerja.

Lagi-Lagi Soal Independensi

Tantangan sesungguhnya terletak pada proses independensi yang “masih” belum clear dari pengaruh kekuatan politik atau lainnya. Belajar dari kasus yang kini tengah ramai diperbincangkan media Ibu Kota antara eksekutif vs legislatif, terlepas siapa yang salah dan benar, sepertinya mewakili keresahan kalangan ASN yang sejak lama terdiam, atau mungkin merasa inferior di hadapan kekuatan politik. Bagaimana bisa? Lihat saja, beberapa hasil persidangan kasus korupsi menegaskan betapa rongrongan dan intervensi kekuatan kepada eksekutif begitu kuat, mengatur dan bahkan mengarahkan, dari mulai penganggaran, pelaksanaan hingga pemenang tender, pengadilan menelanjangi bagaimana kekuatan di luar eksekutif begitu massif menentukan. Akibatnya, ada banyak pegawai dan pejabat di pemerintahan yang akhirnya terjerat korupsi karena tidak kuasa menolak intervensi dan memilih tunduk.

Di titik ini kita melihat betapa ASN berada dalam situasi yang lemah, tak bisa melawan kekuatan politik. Sistem penganggaran kita “terkadang” masih digoda oleh kekuatan politik tertentu yang dapat mengancam independensi ASN dalam menciptakan birokrasi yang transparan dan akuntable. Selama intervensi yang mengarah pada wilayah praksis tetap terjadi, selama itu pula independensi ASN sulit terwujud, karena perlawanan pada akhirnya akan menempatkan ASN pada posisi yang kalah. Itulah fakta yang tidak bisa terbantahkan. Mutasi adalah ancaman yang sering diterima oleh siapa yang tidak sejalan dengan misi intervensi tersebut.

Independensi ASN bukanlah utopia. Mewujudkan independensi ASN dimulai dengan pembenahan paradigma, yaitu dari paradigma “melayani” ambisi politik dan kekuasaan menuju pelayanan masyarakat secara prima. ASN tidak perlu ragu untuk bermitra dengan seluruh unsur pemerintahan dan legislatif, seperti halnya tidak ragu menolak intervensi yang melanggar ketentuan perundang-undangan.

Harus diakui bahwa masih terdapat budaya politik yang sepertinya tidak sejalan dengan cita-cita reformasi birokrasi, salah satunya menempatkan ASN seperti “pesuruh” dan “komoditas politik. Akibatnya, berbagai event politik seperti Pilkada, ASN seperti berada dalam persimpangan dan merasa harus berada di salah satu kubu demi keamanan posisinya.

Independensi juga dibangun melalui komunikasi yang sehat antara eksekutif dan legislatif di satu sisi, dan eksekutif dan masyarakat di sisi yang lain. Komunikasi sehat mengandaikan terjalinya komunikasi dua arah yang berjalan di atas visi dan misi yang sama, komunikasi yang bertujuan memperlebar persamaan dan mempersempit konflik dan perbedaan, komunikasi yang menempatkan masing-masing pihak dalam kapasitas dan tugasnya masing-masing.

Pada akhirnya, independensi ASN dalam upaya mewujudkan birokrasi yang melayani masyarakat secara prima dan profesional dapat diwujudkan melalui partisipasi yang luas dari unsur politik, masyarakat dan ASN itu sendiri. Ketiganya saling berkaitan, tidak bisa dinegasikan. Wallahu a’lam. (ASN pada Kementerian Agama)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline