.........
Dulu sekitar tahun 1980an, bila ditanya acara telepisi apa yang sangat dinanti penayangannya ?. Jawabannya pasti Dunia Dalam Berita (DDB), yang dipancarluaskan oleh stasiun TeleVisi Republik Indonesia (TVRI) DDB adalah nama program berita di stasiun TVRI. Idenya dicetuskan oleh Drs. H.Subrata, M.H yang memulai karir sebagai reporter sekaligus kameramen sejak tahun 1966 hingga beliau diangkat menjadi Direktur Televisi pada tahun1980-1983. Acara tersebut ditayangkan sejak tahun 1970 setiap hari pukul 21.00 - 21.30 WIB. Berisi berita umum, berita olah raga maupun berbagai berita konflik dan bencana kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada episode tertentu kadang ditambah laporan khusus. Paska kehadiran stasiun telepisi swasta, sejak tanggal, 24 Agustus 1989, DDB wajib direlay oleh stasiun telepisi swasta yang ada di Indonesia ketika itu seperti RCTI, SCTV, TPI ANtv dan Indosiar. Pada masanya DDB mampu menyihir para pemirsa untuk duduk terpaku dihadapan telepisi menyimak berbagai informasi yang disajikan. Padahal dalam penampilan dan penyajiannya sungguh sangat sederhana sekali Dengan latar belakang gambar bola dunia, sang pembawa acara tampak begitu fokus dalam menyampaikan informasinya. Sehingga selesai menyaksikan acara tersebut pemirsa tak hanya sekedar mendapat informasi saja, tetapi juga mendapat wawasan serta pengetahuan yang sangat bermanfaat. Sayang walau masih eksis di TVRI sekarang ini DDB sudah kehilangan daya sihirnya Terlebih paska reformasi, terhitung tanggal 20 Mei 1998 ketika aturan untuk merelay acara tersebut dihapuskan, DDB semakin terlupakan oleh pemirsanya. Memang saat ini banyak sekali program acara serupa yang lebih wah dan terkelola secara sangat profesional. Namun tetap saja tidak sebagaimana acara DDB pada jaman dahulu yang begitu sangat dinantikan penayangannya Sebabnya jelas, karena begitu banyak program acara pemberitaan yang dibuat oleh berbagai stasiun pemancar televisi.Yang pada akhirnya membuat pemirsa kebingungan untuk menentukan pilihan tontonan. Selain itu juga berita dijaman sekarang ini, rasanya sudah tidak murni lagi sebagai suatu informasi. Terperangkap dalam ranah industri, dijadikan komoditi. Sehingga program acara pemberitaan yang ada terlihat sangat berlebihan dalam berimprovisasi, entah menyangkut setting atau gaya penyampaiannya. Malah terkadang materi pemberitaannya itu sendiri pun sudah terkontaminasi opini. Baik yang disampaikan oleh pembawa acaranya, nara sumber atau pemirsa melalui tanggapan secara live broadcast Para penyiar TVRI yang masih saya ingat sebelum mereka hijrah keberbagai stasiun telepisi lain diantaranya adalah Yasir Denhas, Anita Rachman, Yan Partawidjaja, Inke Maris, Poppy E.J.Tiendas, Max Sopacua, Usi Karundeng, Dana Iswara, Adolf Posumah, Ria Prihatini Moerdani, dll. Menurut pendapat pencurhat, keunggulan DDB dijaman dahulu justru terletak pada kesederhanaan dalam penyajian dan penyampaian informasi yang apa adanya. Hal itulah yang membuat para pemirsa terpikat dan berharap selalu dapat terus menyaksikan acara tersebut di episode-episode selanjutnya Dalam program acara DDB keutuhan berita yang disampaikan, diterima oleh pemirsa sebagai suatu pengetahuan. Bahkan beragam informasi peristiwa aktual dunia pada masa itu turut memberi inspirasi bagi para seniman musik untuk menciptakan lagu yang bertemakan kemanusiaan. Dari berbagai genre musik, aliran musik Rock tercatat yang paling banyak mengangkat isu perang dan kemanusiaan. Namun grup musik kasidah "Nasyida Ria" dari Semarang juga pernah menciptakan sebuah lagu yang terinspirasi oleh DDB dengan judul "Perdamaian" yang kemudian dipopulerkan kembali oleh grup musik "GIGI". Bahkan Oetje F Tekol khusus menciptakan lagu dengan judul Dunia Dalam Berita yang dilantukan oleh Alm Bangun Soegito bersama The Rollies berikut ini .......... .............
Disaat lonceng berdentang sembilan kali Kunyalakan telepisi, kuikuti berita dunia Sepanjang program acara, kujadi terlena
Kekejaman membuka berita pertama Disusul lomba senjata, yang timbulkan banyak bencana Seakan di negeri sana, nyawa tak berharga
Malangnya nasib saudaraku disana Yang selalu dicekam gelisah Malangnya nasib saudaraku disana Jadi korban nafsu dan tahta
Ketika lonceng berdentang sepuluh kali Kupadamkan telepisi, ku kembali didalam sepi Tinggalah sejuta tanya, terpendam di dada
Mengapakah tragedi tak ada habisnya Membayangi hidup mereka, yang terhimpit oleh bencana Seakan di negeri sana, jiwa tak berharga
Malangnya nasib saudaraku disana Yang selalu dicekam derita Malangnya nasib saudaraku disana Jadi korban nafsu dan tahta
Inikah pertanda dunia sudah tua Atau manusia yang lupa Malangnya nasib saudaraku disana Yang slalu dicekam gelisah ......... Dahulu dengan mudah kita dapat memperoleh informasi/berita yang utuh sehingga Pencita lagu Oetje F Tekol dan Almarhum Gito Rollies bisa mengapresiasi apa yang terjadi dibelahan dunia lain melalui lagunya. Di era keterbukaan informasi, ditengah hiruk pikuknya berita sekarang ini mengapa justru kita rasanya sulit mendapat informasi/berita yang utuh ? Beragam argument mungkin dapat menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tapi bila kita simak syair lagu tsb diatas rasanya juga dapat menggambarkan realitas bahwa sekarang ini justru KITA YANG MENJADI BERITA Terngiang rasanya Almarhum Gito Rollies dari alam sana melantunkn kembali syair lagu yang telah dia gubah Malangnya nasib bangsaku disana Yang selalu dicekam derita Malangnya nasib bangsaku disana Jadi korban nafsu dan tahta Inikah pertanda dunia sudah tua Atau manusia yang lupa ........... Aahhhhhhhhhhhhhhhh ........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H