Lihat ke Halaman Asli

Kang Hermanto

Pemulung Pengetahuan

Kita Harus Jadi Pemenang!

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Timnas Sepakbola Indonesia tiba-tiba menyedot atensi luar biasa dari rakyat di tanah air. Mulai yang menamakan dirinya “gibol” sampai ke mereka yang sekedar tahu bahwa sepakbola adalah salah satu cabang olahraga. Tak cuma di arena, di tempat-tempat pengajian sekalipun para ustadz juga tak luput membincangkan persepakbolaan kita.

Maklum saja, dalam rangkaian penyisihan Piala AFF Timnas kita memang menorehkan kemenangan telak. Sebuah hasil yang seumur hidup tak pernah diraih. Kalaupun pernah lolos hingga ke semifinal seperti sekarang, itu harus dilalui secara berdarah-darah. Sama sekali belum mencatatkan sejarah kemenangan sempurna disertai pesta gol seperti saat ini.

Wajah Timnas kita rupanya memang sudah berubah. Terlebih dengan hadirnya dua pemain naturalisasi, Irfan Bachdim dan Christian Gonzales. Keduanya seolah menjadi pemecah es yang selama ini membekukan prestasi sepakbola negeri gemah ripah loh jinawi ini. Sengaja saya buat tulisan ini untuk mengabadikan heroisme persebakbolaan tanah air yang sedang tinggi-tingginya. Saya pun berkeyakinan Timnas akan mampu memboyong Piala AFF ke bumi pertiwi. Lihat saja. Lebih dari itu, ajang Piala Dunia pun tampaknya tak lama lagi kita ikuti lagi.

Ya, sejatinya kita ternyata pernah mengikuti even sepak bola sejagat itu. Tepatnya di Tahun 1938 saat masih dijajah Belanda. Kala itu kita masih bernama Hindia Belanda, belum Indonesia. Meskipun akhirnya tumbang oleh Hungaria dengan skor 6-0, namun prestasi itu tentu luar biasa. Jika dibandingkan dengan prestasi sepakbola saat zaman kemerdekaan, kalah jauh. Prestasi kita terus melorot. Jangankan penyisihan Piala Dunia, di ajang PraPiala Dunia saja kita tak kebagian tempat.

Sengaja saya ulas tentang sepakbola karena hal inilah yang saat ini sedang jadi buah bibir. Lebih dari itu, kita sesungguhnya dapat belajar banyak dari sepakbola. Jujur saja, sebagian besar dari kita (para pria) dulunya adalah para pemain sepakbola kampung. Meskipun tak sempat menjadi bintang lapangan, minimal sepakbola pernah menjadi rutinitas hari-hari kita. Utamanya saat sore hari.

Persaingan prestasi dalam sepakbola memang amat ketat. Persis seperti hidup ini. Makin lama zaman bukannya makin mudah, tapi sebaliknya. Segala urusan tambah rumit saja. Coba lihat kurikulum pendidikan sekarang. Pelajaran Bahasa Inggris Kelas 1 SD saja selevel dengan Kelas 4 SD zaman saya dulu. Ini indikasi sederhana yang nyata. Dalam banyak hal kita dihadapkan pada kompetisi dan tidak membiarkan diri ini berleha-leha. Contoh kecil, untuk urusan BBM berupa minyak tanah atau bensin, kita harus berlomba. Siapa cepat, dia dapat!

Sepakbola juga mengajarkan kita tentang kerjasama. Ya, persoalan yang rupanya sudah meluntur di masyarakat kita. Jiwa kekeluargaan dan semangat gotong royong rasanya tinggal jargon belaka. Semangat saling membantu satu sama lain tanpa pamrih, hari ini sulit dijumpai. Coba saksikan acara “Minta Tolong” di RCTI, alamak… kebanyakan dari kita hari ini cuek bebek. “Sok” sibuk dengan urusan masing-masing hingga tidak peduli dengan sesamanya.

Perihal kejujuran juga diajarkan oleh sepakbola. Kalau kita pura-pura terjatuh padahal tidak dilanggar oleh lawan, maka kita dianggap diving. Kena kartu-lah kita. Soal yang satu ini, negeri kita masih payah. Banyak kasus tak kunjung tuntas gara-gara semua pihak yang disangka terlibat saling melancarkan keterangan palsu. Kasus video mesum Ariel contohnya. Masih saja Ariel mengelak, padahal pasangan main dalam video itu_Cut Tari_sudah blak-blakan mengakui. Bahkan ketika videonya diputar di layar LCD sekalipun, Ariel masih menggeleng. Ah, dia baiknya suruh main bola saja.

Ada juga pelajaran tentang daya tahan atau stamina. Dengan atmosfer ekonomi seperti sekarang, manusia Indonesia memang dituntut memiliki stamina yang kuat. Kenaikan harga-harga yang tidak koefisien dengan penghasilan, tentu menyedot energi dan pikiran yang lebih. Krisis energi yang memicu hadirnya krisis-krisis lainnya tentu membutuhkan manusia yang tahan banting. Terlebih bagi saudara-saudara kita yang kerap tertimpa bencana, stamina hidup mereka harus benar-benar prima. Secara umum, kita jangan sampai ngos-ngosan menghadapi beraneka fenomena hidup yang kian tak tertebak ini.

Terakhir, semangat jadi pemenang. Saya kira ini pelajaran inti dari sepakbola. Melompat dari satu kompetisi ke kompetisi yang lain, tujuannya hanya satu… menjadi pemenang! Semangat ini pula yang harus kita bawa di setiap arena. Arena keluarga, politik, kerja, sosial kemasyarakatan, agama dan sebagainya. Kita harus jadi yang terpandai, terbaik, terkaya, terhormat dan banyak lagi. Jangan sekali-kali kita memimpikan diri menjadi pecundang. Jangan! Dalam dimensi ilahiyah, kita harus jadi pemenang saat kehidupan di Hari Akhir kelak. Harus itu! [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline